Narator:
Bumi, tahun 2101. Tanggal 1 Januari, pukul 08.00 pagi.
Di lantai satu ruang utama bunker bawah tanah, pasukan khusus pencari telah berkumpul, berdiri tegak dalam diam yang menegangkan. Udara terasa dingin dan lembap, menggantung di antara dinding logam yang kusam. Tatapan mereka tertuju ke arah lift—tempat yang mereka tahu akan menjadi pintu masuk sang komandan.
Tiba-tiba, suara terompet militer menggema memecah keheningan—nyaring dan menggelegar, menandakan kedatangan Komandan Zenaida Raizen.
Dalam sekejap, pasukan serempak memperkuat barisan. Sepatu bot menghentak lantai logam saat mereka merapikan posisi, dada ditegakkan, dagu terangkat. Tak ada yang berani bicara. Ketegangan terasa seperti tali yang ditarik kencang.
Denting lift berbunyi.
Pintu logam terbuka perlahan, mengungkap sosok pria muda berpostur tegap, mengenakan seragam militer hitam dengan lambang komando di dadanya. Tatapan matanya tajam, membakar semangat sekaligus menekan nyali.
Zenaida Raizen melangkah keluar dari lift. Suara langkahnya bergema keras di seluruh ruangan.
Serentak, seluruh pasukan memberi hormat militer. Tangan kanan mereka terangkat tegas ke pelipis.
Zenaida Raizen berhenti di hadapan mereka, menatap tajam satu per satu wajah pasukannya. Lalu, dengan suara lantang dan penuh wibawa, ia membuka suara:
“Selamat pagi, semuanya!”
Suara Komandan Zenaida Raizen menggema lantang di ruangan bunker yang dingin. Nada suaranya tegas, menggetarkan dinding logam di sekitarnya. Tatapannya menyapu seluruh barisan pasukan dengan penuh keyakinan.
“Pagi! Pagi! Pagi, Pak Komandan!”
Jawaban para pasukan khusus pencari terdengar serempak, penuh semangat dan antusiasme. Suara mereka mengguncang udara, seperti guntur yang meledak dari dada-dada penuh tekad.
Zenaida Raizen mengangguk, senyuman tipis terukir di wajahnya."
“Bagus. Pagi ini kalian tampak sangat bersemangat. Saya bangga dengan kalian semua,” ujarnya dengan nada hangat dan penuh kebanggaan. Wajahnya memancarkan rasa hormat kepada setiap prajurit di depannya."
“SIAP! Terima kasih, Pak Komandan!, kami semua mengucapkan selamat atas kenaikan pangkat Anda menjadi Komandan Pasukan ini secara resmi, Pak Komandan!”
Teriakan para prajurit menggema sekali lagi, kali ini lebih lantang, lebih penuh rasa hormat dan sukacita. Tatapan mereka berbinar, bangga atas pencapaian pemimpin mereka."
Zenaida terdiam sejenak, tersenyum lebar.
“Malah aku yang harus berterima kasih kepada kalian. Tanpa kalian, saya hanyalah seorang prajurit biasa. Saya bukan siapa-siapa di bunker Ahool ini,” ucapnya dengan nada haru. Matanya sedikit berkaca-kaca, ekspresinya tulus, mencerminkan betapa ia menghargai pengorbanan anak buahnya."
“SIAP, PAK KOMANDAN!!!”
Seruan serempak itu membahana kembali, lebih kuat, lebih penuh semangat dan loyalitas.
Tiba-tiba, Wajah Zenaida kini berubah serius. Suaranya kembali tajam dan tegas saat ia melangkah ke depan.
“Dengar baik-baik. Kita telah menerima perintah dari pimpinan tertinggi. Fokus utama kita hari ini adalah mencari makanan dan obat-obatan. Dan satu hal yang paling penting—”
Ia berhenti sejenak, menatap mereka satu per satu.
“Jangan ada yang kehilangan nyawa. Kalian semua sangat penting untuk memulihkan peradaban manusia. Jangan lengah sedikit pun. Dunia luar penuh dengan bandit dan pasukan musuh. Ini bukan misi biasa. Ini untuk masa depan bunker kita dan umat manusia.”
“Siap, Pak Komandaaaaan!!!”
Teriakan itu kini bukan hanya jawaban, tetapi juga sumpah—janji untuk kembali hidup-hidup.
"Kalau begitu, segera kembali ke barak. Ambil perlengkapan pelindung dan persenjataan kalian. Kalian harus sudah kembali ke sini tepat pukul 08.20. Tidak ada toleransi," ucap Zenaida Raizen dengan nada suara keras dan tak terbantahkan. Tatapannya dingin dan penuh kewaspadaan, mencerminkan beratnya misi yang akan mereka jalankan.
“SIAP!!! PAK KOMANDAN!!!”
Begitu perintah diberikan, para prajurit langsung bergerak. Langkah-langkah tergesa menggema keras di lantai bunker saat mereka berlari menuju barak. Suasana mendadak menjadi riuh dan padat, tubuh-tubuh saling berdesakan di lorong sempit.
“Minggir!” seru Pasukan 1 dengan suara lantang, berusaha membuka jalan agar barisan di belakangnya bisa bergerak lebih cepat.
“Tubuh saya terjepit...!” teriak Pasukan 2 dengan nada panik, wajahnya meringis saat terimpit di antara rekan-rekannya.
“Tolong, jangan saling dorong! Kalau ada yang jatuh atau terinjak, kita bisa terluka sebelum misi dimulai!” seru Pasukan 3 dengan suara penuh perhatian, mencoba menenangkan situasi.
Namun di tengah hiruk-pikuk itu, terdengar suara tegas dari salah satu prajurit.
“Berisik kalian! Kita semua tidak ingin mendapat teguran atau hukuman karena terlambat!” tegur Pasukan 4 dengan tajam. Suaranya membuat sebagian pasukan menoleh dan mulai menata ulang barisan mereka dengan cepat.
Ketegangan, semangat, dan rasa hormat bercampur jadi satu di dalam bunker itu—tempat di mana setiap kata perintah berarti hidup dan mati."
Narator:
Pukul 08.20. Komandan Pasukan Khusus Pencari, Zenaida Raizen, berdiri tegak di lantai satu bunker, menanti pasukannya yang tengah bersiap. Cahaya lampu neon memantul di permukaan logam dinding bunker, menciptakan bayangan samar di sekelilingnya. Suasana tegang menyelimuti udara, namun langkah-langkah berat mulai terdengar mendekat.
Tak lama kemudian, seluruh pasukan kembali dan membentuk barisan yang rapi. Mereka telah mengenakan perlengkapan tempur lengkap—rompi pelindung, helm taktis, senjata serbu, dan tas logistik menggantung di punggung masing-masing. Deru napas berat terdengar di balik masker, tapi tidak ada satu pun yang terlihat ragu.
“Ayo kita berangkat. Dan ingat—jangan sampai lengah!”
Suara Zenaida Raizen terdengar tajam, penuh tekanan. Kalimat itu bukan hanya perintah, tapi juga peringatan yang menembus ke dalam benak setiap prajuritnya.
“SIAP!!! PAK KOMANDAN!!!”
Teriakan serempak itu bergema di seluruh ruang utama, mengguncang udara seperti ledakan semangat yang tak terbendung.
Zenaida Raizen dan seluruh pasukannya mulai memasuki truk-truk tempur yang telah disiapkan. Mesin-mesin kendaraan itu bergemuruh, memanaskan diri untuk perjalanan keluar dari bunker Ahool—tempat terakhir yang aman dari kekacauan dunia luar.
Zenaida Raizen duduk di kursi komando dalam truk utama. Tatapannya mengarah ke depan, ke arah pintu gerbang bunker yang tertutup rapat. Di sana, seorang penjaga gerbang berdiri tegak. Ia mengangkat tangan dan memberi isyarat dalam bahasa militer: "Siap membuka gerbang."
Zenaida Raizen membalas dengan anggukan mantap. Sang penjaga, tanpa ragu, segera mengaktifkan tuas pembuka gerbang baja. Roda gigi logam berderak berat, dan perlahan—pintu yang memisahkan dunia bunker dari dunia luar mulai terbuka.
Sebelum truk melaju, penjaga gerbang maju satu langkah dan memberi hormat. Suaranya dalam dan tulus saat berkata:
“Komandan Zenaida Raizen, semoga Anda dan para prajurit dilindungi oleh Sang Maha Penguasa... dan diberikan keselamatan yang tiada tara dalam misi ini.”
Wajahnya penuh penghormatan, matanya bersinar—bukan karena harapan kosong, tetapi karena keyakinan yang tumbuh dari pengalaman dan doa yang tulus."
Truk utama berhenti sejenak. Tanpa berkata apa-apa, Zenaida membuka pintu dan melangkah turun. Ia berjalan menuju penjaga gerbang, lalu menundukkan kepala sedikit—tanda penghormatan yang tulus.
“Terima kasih atas doa yang engkau panjatkan untukku dan anak buahku,” ucap Zenaida dengan nada rendah, tulus, dan penuh rasa hormat. Matanya bersinar, menyiratkan rasa terharu dan penghargaan yang dalam.
Sang penjaga tersenyum samar, lalu menggeleng pelan.
“Saya tidak pantas menerima terima kasih, Komandan. Bagi kami sesama prajurit, mendoakan keselamatan satu sama lain adalah hal lumrah... terlebih ketika kita tahu bahwa kalian akan melangkah ke dunia luar yang penuh bahaya.”
Suaranya lirih, namun penuh makna. Wajahnya mencerminkan solidaritas dan rasa tanggung jawab—sesuatu yang tak bisa diajarkan, hanya bisa dilahirkan dari pengalaman bertahan bersama di bawah tanah selama bertahun-tahun.
Zenaida tersenyum tipis. Ia tak berkata apa-apa lagi. Hanya kembali ke truk dan naik perlahan.
Mesin meraung. Ban baja mulai berputar. Debu dari lantai bunker mengepul saat konvoi truk meluncur keluar melewati gerbang. Cahaya dari dunia luar menembus masuk, menyambut mereka dengan silau putih—sebuah dunia yang tak lagi ramah, tapi harus dihadapi."
------
Narator:
Pukul 12.00 siang. Dunia luar kota itu sunyi, mati, dan hancur—seolah waktu telah berhenti sejak ledakan nuklir mengguncang bumi bertahun-tahun silam.
Bangunan-bangunan berdiri rapuh, dindingnya retak dan hangus. Gedung-gedung toko menjulang seperti kerangka mayat, sunyi di tengah puing-puing. Mobil-mobil tua berkarat terparkir sembarangan, sebagian penyok parah, jendelanya pecah, dan ban-ban meleleh membusuk bersama aspal yang menghitam. Bau logam, debu, dan sisa radioaktif masih menggantung samar di udara.
Di antara reruntuhan itu, berdiri sebuah toko tua yang setengah hancur. Tak ada papan nama, hanya dinding yang disanggah balok kayu agar tidak roboh. Dari luar tampak tak bernyawa, namun di bawah tanahnya—kehidupan lain sedang berlangsung.
Toko itu telah menjadi markas sebuah geng bandit, tempat berkumpulnya sekitar seratus orang liar—tujuh puluh pria dan tiga puluh wanita. Suasana di ruang bawah tanah yang lembap dan gelap itu sangat ramai, seperti sarang semut yang gaduh.
Sebagian dari mereka duduk di lantai atau meja reyot sambil bermain kartu remi, tertawa keras dan saling melempar ejekan. Di sudut lain, dua orang bertarung gulat, tubuh mereka berkeringat dan penuh luka lebam. Beberapa pria dan wanita bercumbu tanpa malu di atas meja rusak atau sofa dekil, disaksikan oleh yang lain tanpa keberatan. Botol-botol minuman keras berserakan, dan asap rokok tebal menggantung di udara.
Teriakan, tawa, dan suara benda pecah mewarnai ruang sempit itu. Tak jarang, konflik pecah di antara mereka—baik karena rebutan wanita, makanan, maupun masalah sepele yang dibesar-besarkan oleh hasrat hidup liar mereka.
Namun suasana itu berubah seketika.
Ceklek. Pintu masuk berderit terbuka. Seseorang berdiri di ambangnya, napasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat. Sorot matanya panik. Ia adalah Azek.
"Ada apa, Azek? Mengapa kau berkeringat begitu banyak? Wajahmu pucat."
Azek tidak segera menjawab. Ia menatap sekeliling, lalu melangkah maju beberapa langkah.
"Di mana bos kita? Segera beri tahu aku. Ini penting, sangat penting! Jangan buang waktuku!"
Nada suaranya tegas, hampir mendesak. Jelas ia sedang dalam tekanan besar.
Bandit itu mengangkat alis, berusaha tetap tenang.
"Hey, tenang dulu. Santai saja. Bos sedang berada di ruang tidurnya di bawah. Tapi kalau kau mau masuk, pastikan untuk mengetuk pintu dulu."
Azek mengerutkan dahi.
"Mengapa?"
"Yah... dia sedang sibuk dengan para wanita. Jangan sampai kau mengganggunya begitu saja. Bisa-bisa dia mengamuk. Tapi ngomong-ngomong... berita apa yang kau bawa sampai segenting ini?"
Nada bandit itu berubah menjadi lebih penasaran.
Azek menarik napas cepat, lalu menjawab.
"Pasukan dari salah satu bunker besar sedang menuju ke kota. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang. Mereka membawa bendera merah dengan simbol kelelawar. Tujuan mereka jelas: reruntuhan supermarket."
Ia berhenti sejenak mengambil nafas.
"Aku akan turun ke ruang tidur bos. Tapi aku akan menunggu sampai dia selesai."
Mata bandit itu melebar. Ia bangkit dari duduknya, mendekati Azek.
"Apa katamu?! Ini serius! Aku harus memberitahu yang lain sekarang juga!"
Nada suaranya berubah drastis—dari malas menjadi panik. Ia berlari ke arah kelompok lain, dan kegaduhan baru mulai menyelimuti markas bandit yang sebelumnya hanya riuh oleh hura-hura."
----
Narator:
Di sebuah ruangan tidur yang remang-remang, cahaya lampu menyala samar-samar. Terlihat tiga orang di dalamnya, satu pria dan dua wanita cantik, semuanya telanjang bulat di atas kasur. Suara desahan wanita terdengar cukup keras di dalam ruangan tersebut."
"Ah, mmn, ah, mmn,"
desah wanita dengan suara yang terengah-engah, ekspresinya dipenuhi dengan campuran kenikmatan dan keinginan.
" Teruslah, sodok sampai ujung rahimku, bos," lanjutnya dengan suara yang penuh gairah."
Pria itu mempercepat gerakannya sampai wanita itu mencapai puncak kenikmatan, membuat tubuh wanita itu lemas. Setelah itu, pria itu melirik ke arah wanita cantik lainnya. Wanita itu memahami, lalu dengan sigap membuka selangkangannya. Pria itu bergegas menuju ke arah wanita cantik yang lain dan mulai bercinta dengannya. Dengan gerakan yang penuh gairah, Sang pria memulai menggoyangkan pinggangnya lagi. wanita cantik yang lain mulai meraung-raung dalam kenikmatan yang memuncak."
"Bos, lebih keras lagi. Lebih keras lagi. Lebih keras lagi. Yes. Mmn. Yes. Mmn," ucap wanita nomor 2 dengan suara yang penuh kenikmatan, sementara ekspresinya memancarkan kepuasan dan kenikmatan yang dalam, menandakan bahwa dia sedang mencapai orgasme."
"Ah, Aku mau keluar. Di mana aku harus melepaskan benihku ini?." Ucap bos besar, ekspresinya mencerminkan puncak orgasme yang sangat tinggi, dengan nada suara yang tak tertahankan dan mata yang melotot, mencari tempat untuk melepaskan benihnya."
"Keluarkan sperma itu di dalam rahimku saja bos," ucap wanita nomor 2 dengan suara yang penuh gairah dan ekspresi yang memancarkan keinginan yang mendalam, mengisyaratkan kepuasan dan antusiasme yang tak tertahankan."
"Ahhhhh, aku keluar sekarang," ucap bos besar dengan suara yang tengah-tengah, sementara spermanya melepaskan diri dan memenuhi rahim wanita nomor 2. Ekspresinya memancarkan kepuasan dan kenikmatan yang mendalam, mengisyaratkan momen puncak dari pengalaman seksual yang intens."
Bos Besar duduk di sisi ranjang, tubuhnya bersandar lelah pada sandaran kayu tua yang sudah usang. Nafasnya berat, matanya sedikit terpejam, dan keringat membasahi pelipisnya. Di sekelilingnya, aroma alkohol, parfum murahan, dan tubuh manusia bercampur jadi satu—menyesakkan dan panas. Di atas ranjang, dua wanita terbaring lemah, rambut mereka kusut, dada naik-turun perlahan, tenggelam dalam kelelahan setelah memuaskan sang pemimpin.
Tiba-tiba—
Tok... tok...
Suara ketukan pintu terdengar dari balik ruangan yang sunyi itu.
“Bos, saya membawa kabar penting yang perlu segera Anda dengar,” ujar Azek dari balik pintu. Suaranya terdengar serius dan mendesak.
Bos Besar membuka matanya perlahan, lalu menghela napas dalam-dalam.
“Silakan masuk. Urusanku sudah selesai,” sahutnya, nadanya datar namun berwibawa.
“Dengan senang hati,” jawab Azek sambil membuka pintu dan melangkah masuk.
Begitu Azek memasuki kamar, matanya segera menyapu ruangan. Pandangannya langsung tertuju pada dua wanita telanjang yang masih terbaring di ranjang besar yang berantakan, selimut terbuka separuh mengekspos payudara besar dengan puting berwarna merah muda. Rambut hitam mereka berantakan, kulit putih mereka lembap, napas belum stabil. Pandangan Azek kemudian beralih pada sosok Bos Besar yang duduk di sisi ranjang, masih telanjang dada, namun terlihat santai dan sedikit tersenyum.
“Mau mencoba salah satu dari mereka?” tanya Bos Besar santai, mengangguk ke arah wanita yang masih terlelap.
Kemudian bos besar berhenti berbicara untuk mengambil nafas karena kelelahan habis berhubungan badan. Lalu ia melanjutkan bicaranya.
“Yang itu belum disentuh sepenuhnya. di sampingku sudah... Rahimnya sudah terisi benih aku.”
Nada bicaranya seperti menawarkan rokok, santai dan tak berperasaan.
Azek terkejut sejenak, lalu segera menegaskan maksud kedatangannya.
“Nanti saja, Bos. Eh—maksud saya, bukan itu tujuan saya datang. Saya membawa laporan penting,” ujar Azek sambil mengatur kembali fokus dan nadanya.
"Laporan apa?" tanya Bos Besar sambil meneguk minuman keras dari botol kaca di dekat tempat tidur.
"Saya menyaksikan pasukan bergerak dari arah timur menuju kota. Jumlah mereka sekitar lima puluh orang, lengkap dengan persenjataan, dan membawa bendera merah yang dihiasi simbol kelelawar."
Bos Besar menyipitkan mata.
"Itu adalah bunker Ahool. Biasanya mereka mengirimkan seratus atau lebih. Apakah kau yakin hitunganmu tepat?"
Azek mengangguk mantap.
"Sangat yakin, Bos. Saya curiga jumlah mereka sedikit. Mungkin mereka kekurangan personel, atau bisa jadi karena wabah, konflik internal, atau kematian misterius di bunker mereka."
Bos Besar menatap Azek cukup lama, lalu mengangguk pelan.
“Pemikiranmu masuk akal,” ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih serius. Wajahnya mengeras, menandakan bahwa ia mulai mempertimbangkan langkah-langkah taktis.
"Jadi, apa rencana kita, Bos? Apakah kita akan menggunakan strategi lama—menyerang langsung dengan senjata rahasia—atau kita siapkan strategi lain?" tanya Azek, wajahnya penuh antusiasme dan siap menerima perintah.
Bos Besar bangkit dari ranjang, mengenakan pakaian sambil berjalan perlahan ke meja tua dipenuhi peta lusuh, peluru berserakan, dan sisa minuman keras. Aroma asap rokok menggantung di udara, menambah kesan tegang dalam ruangan bawah tanah yang pengap itu.
“Kita gunakan strategi lain.”
Suara Bos Besar terdengar dalam dan mantap, bergema di ruangan yang remang-remang.
“Lawan kita adalah Ahool. Mereka punya teknologi militer yang canggih dan disiplin tinggi. Kita tidak boleh gegabah.”
Tatapan matanya tajam, seperti sedang menembus medan perang yang belum terjadi. Ia meraih salah satu penanda kecil di meja dan mulai menggesernya ke atas peta kota yang terbentang lebar di hadapannya.
“Kita tunggu sampai mereka selesai mengambil suplai makanan dan obat-obatan. Setelah itu... kita sergap dari segala arah.”
Suaranya kini lebih dalam, seperti petir yang menandai dimulainya badai.
Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia menunjuk satu per satu titik di peta kota dengan jari telunjuknya, lalu memutar arah tubuh ke Azek.
“Ini posisi untuk regu nomor 1 kamu, Tempatkan mereka di titik-titik ini: jalur reruntuhan barat, gedung bertingkat 10 di selatan, dan lorong bawah tanah di timur. Kita buat mereka terkurung.
Ia menunjuk peta kota dengan jari telunjuknya untuk menaruh posisi regu nomor 1 kepada Azek.
“Setelah itu, kita semua lempar granat asap bersamaan. Dalam kekacauan, kita tembak mereka dari dua arah. Kamu targetkan Komandan utama mereka. Kalau dia tumbang, sisanya akan mudah dibantai. Setelah itu, kita ambil semua barang mereka dan mundur cepat sebelum bandit lain datang.
Ia menatap tajam ke arah Azek, seolah ingin memastikan rencana itu benar-benar meresap ke dalam otaknya.
Paham, Azek?”
Azek mengangguk tegas
“Siap, Bos!”
Suaranya mantap, nyaring, dan penuh tekad. Aura semangat bercampur dengan kewaspadaan menyelimuti dirinya—ia tahu rencana ini akan menjadi titik balik.
“Sebelum kau berangkat, nikmati dulu waktu bersama yang tertidur di sana. Anggap saja itu bonus sebelum kita mulai berburu. Aku akan bersiap.”
Azek mengangguk.
“Saya mengerti. Terima kasih, Bos.”
Azek melepas bajunya hingga ia telanjang bulat. Dengan semangat membara, dia naik ke atas kasur yang penuh dengan nafsu seksual, mendekati sang wanita yang sedang tertidur karena lelah habis berhubungan badan dengan bos besar. Ketika sang wanita bangun dan merasakan kehadiran seseorang, dia langsung membuka selangkangannya. Azek memasukkan burungnya ke sangkar penuh nikmat duniawi dengan posisi Misionaris, lalu Azek dan Sang wanita mulai melakukan hubungan intim dengan semangat."
-----
Narator:
Tepat pukul 12.30 siang, langit di atas kota itu tampak mendung, seolah memantulkan suasana muram dari tanah yang hancur di bawahnya. Angin membawa aroma besi, debu, dan sisa kehancuran yang tak pernah benar-benar hilang sejak perang nuklir menghapus wajah peradaban.
Di antara reruntuhan gedung-gedung tua, Pasukan Khusus Pencari dari Bunker Ahool tiba di lokasi target—supermarket yang telah runtuh sebagian. Bangunannya menjulang seperti kerangka binatang mati, temboknya penuh retakan dan bekas kobaran api. Namun, tempat itu masih menyimpan sesuatu yang berharga: makanan dan obat-obatan.
Begitu kendaraan berhenti, pasukan langsung membentuk formasi siaga penuh. Tak ada waktu untuk bersantai. Semua bergerak cepat, dengan gerakan disiplin hasil latihan keras selama bertahun-tahun.
Komandan Zenaida Raizen melangkah maju ke depan pasukannya. Seragamnya bersih, tubuh tegak, dan sorot matanya penuh tekad. Suara langkahnya di atas aspal yang retak menggema pelan.
“Dalam situasi seperti ini, kalian tak boleh kecolongan sedikit pun! Ingat! Kita berada di zona berisiko tinggi. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan hidup atau jiwa kalian di sini. Sudahkah semuanya memahami?!” serunya, lantang.
“Siap dan paham, Pak Komandan!” jawab seluruh pasukan serempak, suara mereka membelah udara seperti gemuruh perang.
Zenaida mengangguk puas.
“Bagus. Sekarang dengarkan baik-baik.”
Dia menoleh ke arah regu pengintai.
“Kalian, segera luncurkan drone pengintai. Awasi setiap sudut, atap, dan celah reruntuhan. Kita tak boleh lengah—siapa tahu ada bandit atau pasukan dari bunker lain yang mengincar hal yang sama. Paham?!”
“Siap, Pak Komandan!” balas regu pengintai dengan cepat.
Zenaida lalu beralih ke barisan lain.
“Regu pertahanan! Fokus pada penjagaan dari segala arah. Aktifkan drone pertahanan. Tidak boleh ada yang berkedip! Setiap suara, setiap bayangan harus dicurigai. Sudah paham?!”
“Siap, Pak Komandan!” Regu pertahanan menjawab penuh keyakinan. Nafas mereka teratur, jari mereka sudah bersiaga di pelatuk senjata.
“Regu pencarian! Tugas kalian hanya satu: temukan makanan dan obat-obatan. Masukkan ke dalam truk dengan cepat dan sistematis. Ingat, walau terjadi serangan mendadak, kalian tetap fokus pada tugas ini. Jangan ikut bertempur. Mengerti?!”
“Baik, Pak Komandan!” jawab regu pencarian dengan semangat tinggi.
“Regu penyerang! Bersiaplah! Aktifkan semua drone penyerang yang kita punya. Bila terjadi kontak senjata, kalian adalah tombak kita.”
“Siap, Pak Komandan!” teriak regu penyerang, wajah mereka penuh semangat juang.
Zenaida mengambil napas sejenak, lalu memandang ke regu medis.
“Regu medis! Tetap di barisan belakang. Jangan pernah berada di garis depan. Kalian adalah harapan kita dalam keadaan darurat. Kehadiran kalian sangat vital.”
“Baik, Pak Komandan. Terima kasih atas perhatiannya!” jawab mereka dengan tulus.
Zenaida lalu berbalik ke arah sisa pasukan.
“Kalian ikut denganku. Siapkan satu truk untuk membawa barang-barang yang ditemukan. Kita akan bergerak ke lokasi terpisah.”
Salah seorang dari mereka mengangkat tangan.
“Pak Komandan, apakah kami boleh bertanya sesuatu?”
Zenaida mengangguk.
“Silakan.”
“Ke mana kita akan pergi? Apakah kita akan meninggalkan regu lain di sini?”
Wajah Zenaida Raizen tetap tenang, suaranya tetap tegas namun tidak mengintimidasi.
“Aku tidak akan meninggalkan siapa pun. Kita hanya akan menyusuri reruntuhan toko senjata yang terletak tidak jauh dari sini. Bila masih ada senjata yang tersisa, itu akan sangat membantu bunker kita.”
Seorang anggota pasukan tampak ragu dan berkata.
“Tapi... bukankah tindakan ini bisa dianggap melanggar perintah pimpinan tertinggi?”
Zenaida mengangguk pelan.
“Ya, aku tahu. Tapi ini bukan sekadar tindakan impulsif. Ini demi keselamatan semua orang yang hidup di dalam bunker Ahool. Kadang kita harus mengambil risiko demi masa depan. Kalian paham maksudku?”
“Paham, Pak Komandan,” jawab mereka serempak, kali ini dengan nada yang lebih hangat dan penuh pengertian.
Zenaida Raizen mengacungkan tangannya ke udara.
“Kalau begitu, jangan ada yang mengeluh. Kita jalankan misi ini bersama. Ikuti aku!” Suaranya mantap, memotong keraguan seperti pedang tajam. Langkah pertamanya memimpin barisan adalah penanda bahwa mereka semua telah siap memasuki bahaya—bersama."
Langkah kaki berat terdengar saat Zenaida Raizen dan sisa pasukannya mulai meninggalkan reruntuhan supermarket. Aroma besi berkarat dan debu memenuhi udara. Langit mendung menggantung muram di atas mereka, seolah menyaksikan kehancuran tanpa kata. Mereka melangkah menuju reruntuhan toko senjata, harapan mereka sederhana—bertahan hidup sehari lagi.
Setelah menempuh perjalanan melewati puing dan bangkai kendaraan yang berkarat, akhirnya mereka tiba. Dinding-dinding toko yang hangus dan lantai yang retak menyambut mereka dalam keheningan yang menegangkan. Zenaida Raizen mengangkat tangannya memberi aba-aba.
“Pencarian mulai sekarang. Hati-hati. Musuh bisa saja mengintai di balik puing.”
Semua bergerak cepat. Suara gesekan besi, desahan napas berat, dan langkah yang tergesa-gesa mengisi kekosongan tempat itu. Waktu berlalu."
25 menit kemudian...
“Pak Komandan,” lapor seorang prajurit, napasnya tersengal. “Kami telah menemukan hampir seratus senjata dan sekitar seribu butir amunisi!”
Zenaida Raizen mengangguk, wajahnya tetap dingin meski matanya menyiratkan kepuasan.
“Bagus. Lanjutkan pencarian. Kita belum selesai.”
Namun tiba-tiba, suara berat lainnya terdengar dari belakangnya.
“Izin bicara, Pak...”
Zenaida Raizen menoleh. Seorang prajurit berdiri dengan wajah lelah, peluh membasahi dahinya. Tatapannya memohon.
“Kami sudah sangat kelelahan... Bolehkah kami istirahat sebentar?”
Zenaida Raizen mengamati satu per satu wajah anak buahnya—mata sayu, tubuh gemetar, nafas berat. Ia menarik napas perlahan lalu menjawab dengan tegas namun bijak.
“Baiklah. Lima menit. Tapi jangan sampai lengah sedikit pun. Di tempat seperti ini, satu kesalahan bisa mengantar kalian ke liang kubur. Paham?”
“Siap, Pak Komandan!”
Mereka segera duduk atau bersandar di mana pun yang bisa menopang tubuh mereka. Suasana terasa tenang, namun ketegangan tetap menggantung seperti kabut tak kasatmata. Lima menit berlalu cepat, dan mereka kembali bergerak.
“Pak Komandan!”
seru prajurit yang berjaga di truk. Lalu ia memeberikan laporan.
“Muatan penuh! Sudah tak bisa menambah lagi!”
Zenaida Raizen mengangguk mantap.
“Kalau begitu, kita kembali ke supermarket.”
---
Narator:
Reruntuhan Supermarket – Pukul 13.00
Terik matahari menyorot dari sela-sela awan. Di antara puing-puing dan sisa bangunan, prajurit-prajurit yang tinggal tampak sibuk mengangkut makanan dan obat-obatan. Peluh mengalir deras, napas berat keluar dari bibir kering mereka. Beberapa dari mereka mulai mengeluh.
“Komandan ke mana, sih?” gumam seorang prajurit sambil menyeka keringat.
“Entahlah,” sahut yang lain. “Tapi pasti mereka enak, cuma keliling. Kita yang ngos-ngosan di sini.”
“Benar. Sepertinya mereka jalan-jalan, bukan misi.”
“Diam! Hentikan omongan kalian!” bentak prajurit lain dengan nada tegang. “Kalau sampai terdengar, kita semua bisa kena hukum.”
Tiba-tiba, suara sorak terdengar dari arah luar.
“Hei! Komandan kembali! Dan mereka bawa banyak senjata!”
Mereka semua menoleh. Tatapan tak percaya tergambar di wajah mereka saat melihat truk penuh dengan senjata.
“Pak Komandan... dari mana semua ini?” tanya salah satu dengan mata membelalak.
Zenaida Raizen turun dari truk, langkahnya mantap, wajahnya keras tapi tersenyum puas.
“Dari reruntuhan toko senjata. Seribu senjata dan dua ribu amunisi. Cukup untuk perang kecil-kecilan.”
“Luar biasa...” gumam seorang prajurit dengan nada kagum. “Dalam keadaan begini pun, Anda masih bisa menemukan sebanyak itu...”
Zenaida Raizen tersenyum singkat.
“Bagaimana dengan makanan dan obat?”
“Sebagian besar sudah terkumpul, Pak. Hanya tinggal sedikit.”
“Cepat selesaikan. Cek semua yang masih layak pakai, singkirkan yang kadaluarsa. Kita tak punya waktu.”
“Siap, Pak Komandan!”
Tiba-Tiba…
BOOM!!!
Ledakan mengguncang tanah. Gelombang kejut membuat puing beterbangan dan para prajurit terjatuh.
muncul Asap putih tebal menyelimuti area. Suara batuk dan teriakan panik menggema.
“SERANGAN MUSUH! SEMUA SIAP TEMPUR!” teriak Zenaida Raizen, suaranya menggelegar menembus kekacauan.
“SIAP, PAK KOMANDAN!” jawab pasukan serempak, meski beberapa gemetar.
Dentuman ledakan dan rentetan peluru menyusul tanpa ampun. Jeritan prajurit terluka bergema di mana-mana.
“Aaaghhh!! Kakiku! Tolong!!” teriak seorang prajurit sambil menyeret tubuhnya setengah hancur yang penuh darah.
“Medis! Tolong! Aku tak bisa melihat!” jerit yang lain, wajahnya berlumuran darah.
“Komandan... sampaikan pada kekasihku... aku... aku cinta padanya... aku... maaf...” ucap seorang prajurit yang tubuhnya sudah tak utuh.
Zenaida Raizen terpaku sejenak. Matanya membelalak menyaksikan anak buahnya bergelimpangan. Darah membanjiri tanah. Tangannya mengepal kuat.
"Kita benar-benar... terkepung... Kita kalah jumlah! Bagi yang masih berdiri... aku mohon... bertahanlah hidup!" bisiknya dengan lirih.
Seorang prajurit memaksa berdiri, wajahnya penuh luka.
“Pak Komandan! Kenapa kita tidak melarikan diri saja?!”
“Lari ke mana?! Lihat sekelilingmu! Kita dikepung dari segala arah!” bentaknya, suaranya penuh emosi dan frustrasi.
“Kalau begitu... bagaimana kalau kita mencoba bernegosiasi? Mungkin mereka mau bicara...”
Zenaida Raizen menoleh tajam.
“Kau tidak lihat?! Teman-temanmu dibantai! Mereka bukan datang untuk bicara. Mereka datang untuk membunuh!”
Seorang prajurit maju dan berteriak lantang.
“Hei! Siapa kalian sebenarnya?! Kenapa menyerang kami tanpa peringatan?! Kami hanya ingin negosiasi!”
Dari balik asap, suara pria muda muncul. Prajurit itu merasakan, sebuah tatapan mata yang ingin mengarah kepadanya.
“Apakah kau komandan di sini?” tanya pria itu.
“Bukan. Aku prajurit biasa.”
“Kalau begitu, panggil komandannya. Kami hanya ingin bicara dengan pemimpinmu.”
Prajurit itu menoleh ke Zenaida dengan mata memohon.
“Pak Komandan... tolong...”
Zenaida menarik napas panjang, lalu maju. Wajahnya tegas meski matanya penuh tekanan.
“Aku Zenaida Raizen. Komandan pasukan ini. Kami dari Bunker Ahool. Kami hanya mencari makanan dan obat. Kami tidak berniat berperang. Tolong... beri kami kesempatan bicara.”
Dari balik reruntuhan, suara pria muda terdengar lagi untuk menjawab lawan bicara, sambil tersenyum tipis.
“Aku Azek. Wakil dari bos besar. Kami—Tikus Merah—hanya punya dua tujuan: ambil barang kalian, dan habisi kalian semua.”
Zenaida melangkah maju dengan marah.
“Kalau begitu... kenapa pura-pura mau bicara?!”
Azek tertawa kecil.
“Hanya ingin melihat kalian berharap. Lalu kami hancurkan harapan itu. Menyenangkan sekali melihat ketakutan kalian.”
“Bangsat... Kau monster!.” desis Zenaida Raizen
Ledakan granat, senjata api, granat asap kembali meletus. Tembakan kembali bersahutan. Medan perang berubah menjadi neraka.
Di Tengah Kekacauan.
“Pak Komandan!” Seorang tim medis datang, darah membasahi seragamnya. “Banyak yang tak bisa diselamatkan! Kami kehabisan tenaga dan peralatan! Luka-luka parah...”
Zenaida Raizen menunduk. Napasnya gemetar.
“Kita... sudah terpojok... Mereka ingin membantai kita semua...”
“Jangan... jangan menyerah, Pak... Kita masih bisa—”
DORR!!
Kepala medis itu hancur ditembak. Otaknya berhamburan. Tubuhnya jatuh dengan suara berat.
Zenaida Raizen membeku. Nafasnya tercekat. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar.
“...Semuanya... tim medis... sudah mati...” bisiknya, lirih dan putus asa.
Suara langkah berat mendekat dari belakangnya.
“Selamat siang, Komandan. Bagaimana kabarmu? Masih sehat?”
Zenaida Raizen membalikkan tubuh perlahan. Wajahnya datar, matanya penuh kebencian.
“Azek...”
“Oh! Senang kau masih ingat. Tadi kita sempat ngobrol, bukan?”
“Kau ingin membunuhku?”
Azek tersenyum, senapannya menempel di kepala Zenaida Raizen.
“Tentu. Pesan terakhir?”
Zenaida Raizen menatapnya tajam penuh kebencian.
“Ya. Mati lah kalian semua. Masuk neraka, bangsat!”
DORR!!!
Tubuh Zenaida Raizen ambruk. Darah segar mengalir deras dari kepalanya.
Komandan Zenaida Raizen... tidak berhasil melaksanakan tugas dari pimpinan tertinggi bunker Ahool dan gugur bersama anak buahnya di medan perang melawan bandit Tikus Merah.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments