Emily akhirnya sampai di kelas alam. Dia kebetulan bertemu dengan ibu Celine Kim yang lalu mengantarnya ke kelas alam. Setelah ibu Kim memberikan alasan kenapa Emily terlambat, Emily lalu duduk di sebuah bangku kosong. Semua bangku dan meja terbuat dari kayu. Satu meja berisikan dua orang. Emily duduk bersama dengan gadis dari bangsa Slein. Dia mengetahui itu dari bola matanya yang berwarna hijau. Semalam Syra sudah mengajarinya cara membedakan para kaum. Di dalam kelas terdapat banyak pepohonan kecil. Warna hijau mendominasi ruang kelas itu. Emily melihat satu wanita paruh baya bertubuh gemuk berdiri di depan mereka. Rambut wanita itu berwana merah dan keriting. Wanita itu mengenakan long dress berwana hijau lumut. Sepertinya wanita itu memang menggemari warna hijau.
"Oke, mari kita lanjutkan. Bagi kalian yang baru, aku bisa melihat tiga siswa baru disini, perkenalkan namaku Dolores Higruf. Aku kaum slein tentu, kalian bisa melihatnya sendiri. Aku mengajar kelas alam. Kalian tahu aku mengajar tentang apa?"
"Sihir alam." sahut beberapa siswa.
"Betul. Jadi siswa baru, tolong perhatikan baik-baik."
Selama dua jam Emily mendengarkan ibu Dolores itu berbicara. Dia hampir saja tertidur. Baginya kelas tadi membosankan. Ibu Dolores mengatakan tentang menyatu dengan alam dan entahlah... Emily bahkan tidak mengingatnya. Begitu pula dengan kelas lainnya. Semua pelajaran tidak masuk ke otaknya. Sepertinya otaknya buntu.
Emily berusaha mengikuti kelas sebisanya setelah itu Syra akan membantunya berlatih sihir di hutan. Peningkatannya? Sangat lambat. Emily hanya bisa merubah yang dulunya angin kecil menjadi angin besar. Dia bahkan tidak bisa melakukan sihir rubahnya. Setiap wujud binatang kaum Nemuen selalu memiliki sihir sendiri yang sudah mereka bawa sejak lahir. Tapi Emily sama sekali tidak bisa melakukannya. Memunculkan api rubahnya saja tidak bisa. Dia menjadi menyesal terus-menerus melarikan diri saat ibunya akan mengajarinya sihir. Emily bertekad akan terus berlatih sepulang latihan. Syra juga setuju tetap mengajarinya.
...*********...
Emily bersenandung riang. Hari ini tiba saatnya mengenakan celana. Yeay! Dia sudah bosan mengenakan long dress. Benar-benar membuatnya susah bergerak.
"Kamu riang sekali hari ini." tegur Syra melihat Emily yang sedari tadi tersenyum.
"Tentu saja. Hari ini aku mengenakan celana!" senyum Emily semakin lebar.
"Dasar kamu ini."
Brakk!!
Tiba-tiba terdengar bunyi keras. Syra dan Emily menoleh. Seseorang sudah terjatuh di lantai dan makanan yang dia bawa berhamburan di lantai. Tidak ada yang menolong. Semua orang justru tertawa melihatnya. Emily berdiri ingin membantu tapi Syra mencegahnya.
"Sebaiknya kamu tidak ikut campur jika tidak mau seperti dia."
"Tapi--"
"Aku mengerti Em, tapi kalau kamu membantunya bisa-bisa kamu menjadi terget mereka juga. Kamu sendiri yang mengatakan padaku jika kamu beruntung dengan roommatemu. Mereka tidak perduli padamu dan itu pertanda kamu akan baik-baik saja. Jika sekarang kamu membantu, semua akan berubah."
Emily duduk kembali dan mendengus kesal. Dia ingin sekali membantu. Sorakan terdengar kembali terdengar. Aera menumpahkan sup ke kepala gadis itu. Lalu berbagai makanan yang lain. Tubuh gadis itu sudah penuh makanan.
"Mereka keterlaluan sekali."
"Ya, aku tahu itu. Ayo cepat makan."
Tak lama datang satu guru bernama Shivam Manohra. Guru pendisiplin. Guru itu membantu gadis tadi berdiri. Gadis itu langsung berlari keluar dari ruang makan dengan menangis. Semua orang menertawainya kecuali Emily dan Syra. Mereka mulai di bubarkan. Aera terlihat kesal karena kesenangannya di ganggu. Emily dan Syra kembali segera menyelesaikan sarapan mereka lalu pergi ke kelas masing-masing. Mereka hanya sekelas saat latihan pertahanan. Emily tetap masuk kelas alam. Bedanya dia akan mempraktekkan langsung sihirnya.
Semua orang sudah berkumpul di jalan masuk hutan di belakang sekolah mereka. Satu kelas berisikan dua puluh orang. Sebenarnya banyak guru yang melatih di sihir alam dan latihan yang lain. Tapi mereka akan di latih oleh guru yang sama sampai mereka keluar dari akademi. Semua orang berdiri dan memperhatikan ibu Dolores menjelaskan.
"Baiklah.. Sekarang siapa yang akan mencoba dan mempraktekkan sihir dasarnya?"
Semua orang terdiam. Tidak ada yang menjawab.
"Tuan Carlos, tunjukan keahlianmu."
Carlos maju ke depan. Dia membuka lebar kedua tangannya dan menatap ke atas. Tiba-tiba awan mulai gelap muncul dan berkumpul di atas mereka. Tidak lama kemudian petir menyambar. Semua orang terkejut. Calros menyeringai.
"Well done, Carlos. Sedikit berlebihan, tapi kerja bagus. Sekarang, siapa lagi? Bagaimana dengan siswa baru? Nona Boirden?"
Emily terkejut namanya di panggil. Sedari tadi dia mencoba untuk menyembunyikan dirinya agar tidak dipilih tapi justru dia yang terpilih.
"Nona Boirden, mari maju kedepan, tunjukkan kemampuanmu."
Emily menghela nafas lalu maju ke depan.
"Nona Boirden dari kaum Nemuen. Apa wujud binatangmu?"
Emily ragu mengatakannya.
"Kenapa kamu diam saja? Semua kaum Nuemen memiliki sihir masing-masing binatangnya, bahkan sihir alam. Mereka sangat menakjubkan. Apa binatangmu?"
"Ru-rubah."
"Rubah? Sangat bagus. Rubah sudah sangat jarang ada. Apa yang mau kamu tunjukkan nona Boirden?"
Emily tidak menjawab. Dia benar-benar gugup. Semua orang menatap dan menunggunya berbicara, termasuk ibu Dolores.
"Oke baiklah. Sepertinya nona Boirden tidak suka berbagi pada kita. Tunjukkan saja kalau begitu."
Emily mengangguk meski dia ragu. Emily bersiap. Dia membuka tutup telapak tanganya dan menghela nafas panjang.
'Emily, kau pasti bisa!'
Emily menyemangati dirinya sendiri. Emily merentangkan kedua tangannya lalu menggoyangkan tangannya dari kiri ke kanan. Angin berhembus kencang seperti yang dia latih bersama Syra. Semua orang bengong menatapnya.
"Baiklah.... Lelucon yang sangat bagus nona Boirden. Kembali ketempatmu." sahut ibu Dolores.
"Lo… uhuk… ser.." kata salah satu siswa laki-laki.
"Bahkan anjingku pun bisa melakukannya!" kata salah satu siswa di sambut tawa dari siswa lain.
"Hentikan! Jangan ribut dan kita lanjut lagi."
Selama pelatihan, benar-benar sangat menyiksa bagi Emily. Saat yang lain bisa melakukan hal yang di inginkan ibu Dolores, Emily tidak bisa sama sekali. Di catat, tidak bisa sama sekali. Membuat akar keluar dari pohon, mengikat akar, membuat daun terlepas dari pohon lalu membuatnya kembali lagi. Hal-hal mudah di mata siswa lain, Emily tidak bisa melakukannya. Semua orang mengejeknya.
Berhari-hari Emily terus gagal di semua kelas pelatihannya. Saat berlatih fisik, dia terus terjatuh dan terkena pukul oleh siswa lain. Bahkan kelas ramuan juga begitu. Yang lebih parah pada kelas pertahanan. Dia tidak bisa menangkis serangan yang pelan dan kecil! Sekarang semua orang sudah mengetahui siapa Emily. Pecundang Nuemen!
"Kau baik-baik saja?" tanya Syra saat mereka makan siang. Emily menghela nafas.
"Tentu saja aku tidak baik."
"Kamu sudah berusah keras, Em."
"Tetapi itu tidak cukup. Mereka bahkan membuat julukan untukku. Pecundang Nemuen." Emily meletakkan kepalanya di meja makan.
"Baiklah, baiklah kita akan berlatih lagi nanti sore. Makanlah."
"Tidak berselera."
"Aku dengar kau pecundang disini." sahut satu orang. Emily mengangkat kepalanya. Aera berdiri disampingnya bersama kedua temannya. Dia mengenakan pakaian latihannya berwarna biru muda dan melipat tanganya di dada. Dia tersenyum mengejek pada Emily.
"Aku bukan pecundang." sahut Emily pelan tanpa melihat pada Aera.
"Orang yang tidak bisa melakukan sihir itu di sebut..." Aera mendekatkan diri pada Emily. ".... Pe-cun-dang. PECUNDANG!!" Aera berteriak lalu semua siswa bersorak. "Jadi bagaimana... Pe-cun-dang. Mau menjadi budakku? Aku sudah bosan padanya, tidak menyenangkan!" Aera menunjuk satu gadis yang kelihatan lusuh di dekat mereka. Itu gadis yang di tumpahkan sup oleh Aera waktu itu. "Mempunyai budak pecundang, itu luar biasa. Pasti akan menyenangkan."
Emily berdiri. "Aku bukan pecundang." tegas Emily.
Aera dan kedua temannya saling menatap lalu mereka tertawa keras.
"Bukan pecundang? Honey, kau bahkan tidak bisa melakukan sihir! Aku menyaksikannya sendiri." Aera kembali tertawa. Emily beranjak pergi dari sana. "Hei! Aku belum selesai berbicara denganmu pecundang!"
Emily tidak mendengarkannya. Dia masih terus berjalan menuju kelasnya. Dia berhenti saat di tengah jalan. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding. Apa sudah di mulai perbudakanku?
******
Emily berada di barisan paling belakang dalam kelas sihir fisik dan alat. Kelas ini Emily sekelas dengan Aera. Aera adalah gadis bangsawan dari kaum Hein. Banyak kabar mengatakan, dia masih saudara jauh keluarga kerajaan kaum Hein. Aera memiliki rambut panjang berwarna pirang keemasan. Dia memiliki nilai sempurna di pelatihan sihir. Dia bahkan bisa memainkan pedang dan panah. Dia terlihat sangat anggun tapi tidak dengan sikapnya. Semua orang di akademi tahu dia benar-benar bersikap buruk pada semua orang yang tidak dia sukainya. Dia menyiksanya, menyumpah serapah, bahkan dia membuat mereka mengurus segala kebutuhannya. Semua orang di akademi enggan berurusan dengan Aera. Dia selalu lolos dari hukuman salah satunya karena Alden, pangeran ke tiga kerajaan Hein. Alden yang selalu sempurna dan memiliki Royal Blood tentu sangat di perhitungkan.
"Nona Hyren, tunjuk lawanmu." kata guru Peter Clearstone. Aera menyeringai senang.
"Emily Boirden." sahut Aera dengan nada lembut. Semua orang menoleh, mencari keberadaan Emily. "Emily.... Come out, come out wherever you are..."
Emily menutup matanya sejenak lalu menghela nafas.
"Emily! Aku tahu kamu pecundang tapi aku tidak tahu kamu juga pengecut!"
"Nona Hyren, jangan berkata seperti itu." tegur pak Peter.
"Ups.. Sorry sir." Aera tersenyum mengejek sambil menggoyangkan tubuhnya manja.
"Nona Boirden, kamu telah di tunjuk. Naiklah ke podium. Kamu dimana nona Boirden? Apa dia hadir hari ini?" kata pak Peter. Emily mau tidak mau harus naik dan menjadi lawan Aera. Pak Peter juga masih mencari keberadaan Emily di antara siswa.
"Disini pak!" sahut salah satu siswa. Semua orang membuka jalan untuk Emily.
"Emily, ayo naik." kata pak Peter.
Emily perlahan berjalan menuju podium. Beberapa orang berbisik mengenainya. Yup! Emily menjadi incaran Aera. Satu akademi sudah mengetahui itu. Bahkan Shawn yang diam-diam mengawasi Emily. Dia tidak menegur Emily sama sekali. Bahkan saat Emily mencoba mencarinya di asrama laki-laki. Shawn terus bersembunyi dari Emily.
"Kamu ingin menggunakan alat apa Emily? Atau hanya sihir?"
"Pe-pedang saja." sahut Emily. Dia berpikir pedang tidaklah merepotkan. Hanya di pegang gagangnya lalu di ayunkan, mudah. Minggu-minggu sebelumnya dia sudah mencoba semua alat dan bisa kalian tebak, dia gagal menggunakan semuanya.
"Whoahh... Kamu benar-benar mengejutkan." kata Aera lalu tertawa.
Pak Peter menyerahkan sebuah pedang berukuran besar pada Emily. Emily bersusah payah memegang pedang itu. Jangankan mengayunkan pedang itu, mengangkatnya saja butuh tenaga besar! Pedang itu sangat berat. Dia seperti mengangkat besi berton-ton beratnya. Emily memegang gagangnya dengan kedua tangannya. Aera menatapnya mengejek.
"Kau yakin bisa menggunakannya? Bahkan memegangnya dengan benar saja kau tidak bisa!" Aera memainkan pedang kecilnya. Aera mengunakan pedang berukuran lebih kecil dari Emily dan jumlahnya ada dua. Aera memegang pedangnya di tangan kanan dan kiri. Terkadang dia memutar pedang-pedang itu, bahkan melempar dan menangkapnya. Dia terlihat ahli dengan itu.
"Hmm... Nona Boirden, apa kamu butuh bantuan? Tidak, butuh pedang yang lebih kecil?"
"Sa-saya baik-baik saja pak."
"Kamu tidak terlihat baik-baik saja."
"Akhhh ayolah... Kenapa lama sekali?"
"Ahh.. Baiklah, baiklah.. Pakai yang itu saja oke, nona Boirden? Nanti kita ganti dengan yang lebih kecil jika kamu masih tidak bisa. Silahkan di mulai."
Emily waspada menatap Aera dengan menyeret pedang beratnya. Dia memegang pedang itu dengan kedua tangannya. Aera tersenyum sesekali mengibaskan rambut pirangnya. Rambut yang bagian atas di ikat sementara dia menggerai rambutnya yang bagian bawah. Aera membungkukkan sedikit tubuhnya lalu berkata
"Kau kalah, kau secara resmi menjadi budakku." Aera menyeringai senang. Aera berteriak dan menyerang Emily. Emily yang panik menghindar. Dia bahkan tidak mengangkat pedang itu sama sekali, hanya menyeretnya. Aera menyerang lagi. Bahkan dia bisa melakuan putaran dengan memainkan pedang itu. Dia menjegal pedang Emily. Emily yang bertumpu pada pedang jatuh dengan indahnya. Dia terjerembab keras. Semua orang mulai tertawa riuh. Emily terus menerus di serang. Dia terus saja terjatuh. Aera tiba-tiba melukai lengan Emily. Emily terduduk lalu memegangi lengannya yang terluka. Aera tertawa.
"Nona Hyren, tidak melukai." tegur pak Peter. Aera berdecak kesal.
"Sungguh membosankan!"
"Ayo berdiri Emily. Apa kamu baik-baik saja? Aku akan mengantarmu ke infirmary."
"Tidak pak, saya baik-baik saja."
"Tapi lukamu--"
"Oh ayolah pak Clearstone. Dia berkata dia baik-baik saja! Dia pecundang dan pengecut tapi setidaknya dia tidak cengeng." sahut Aera. Semua orang tertawa mendengarnya.
"Baiklah, tapi aku peringatkan--"
"Ya, ya, ya.. Aku tahu." kata Aera malas.
Emily dan Aera kembali berjalan membentuk lingkaran. Mereka saling mengawasi dengan tatapan berbeda. Emily dengan tatapan waspadanya sementara Aera dengan tatapan liciknya.
"Emily, serang nona Hyren. Jangan hanya bertahan saja."
"Dia tidak akan bisa menyerang pak, dia--"
Brakk!
"Aww!!" pekik Aera. Emily telah mendorongnya dengan keras. Tapi Aera berhasil mempertahankan keseimbangannya. "Kurang ajar sekali."
"Nona Hyren, tidak melukai."
"Tenang saja pak. Akan aku selesaikan sampai disini."
Aera dengan kuat menendang pedang Emily. Pedang itu terlepas dari tangan Emily. Emily hampir saja terjatuh. Dengan cepat Aera memegangi tubuh dan mendekatkan wajah Emily dengan wajahnya.
"Kau tahu pecundang? kau akan selamanya menjadi pecundang. Tidak akan pernah menang. Jadi jangan berani-beraninya melawanku."
Aera mengarahkan pedang kecilnya di perut Emily. Emily bisa merasakan ujung tajam pedang itu. Dia terkejut dan menatap Aera.
"Jal*ng."
Srekk!!
Aera merobek baju latihan Emily. Baju itu terbelah dua. Tubuh bagian atas Emily terlihat. Emily yang panik menutupinya dengan tangannya lalu mengambil potongan bajunya di lantai dan menutupi dadanya dengan potongan baju itu. Emily terduduk dan menatap tidak percaya pada Aera.
"I win." Aera tersenyum lalu turun dari podium. Pak Peter panik dan segera melepas jas kebesaran yang di kenakannya lalu memberikannya pada Emily.
"Wohooo....!!! Aku melihatnya!!"
"Aku juga!!"
Semua siswa laki-laki histeris dan tertawa. Emily menangis, dia merasa sangat malu dan terhina. Dia berdiri lalu belari menjauh. Pak Peter ingin menghentikannya tapi Emily sudah berlari menjauh. Emily sampai di dalam kastil lalu segera mengenakan jas milik pak Peter. Emily berjongkok dan menangis, lebih keras dari sebelumnya.
"Bisakah kamu berhenti menangis? Kamu sangat menggangguku!" kata satu orang dihadapannya. Emily mendongakkan kepalanya. Sudah ada Alden di sana.
"Kenapa aku tidak boleh nangis?"
"Kalau kamu ingin menangis, yang jauh sana! Apa kamu tidak lihat ini di mana?!" Alden mulai kesal pada Emily. Emily berdiri dan memperhatikan sekitar. Dia berada di lorong pembatas asrama laki-laki dan perempuan.
"Kenapa... Aku tidak boleh--"
"Ini tempat umum nona dan pakaian apa yang kamu kenakan?" Alden menatap jas kebesaran yang di kenakan Emily. Jas itu tidak terkancing. Emily hanya menyatukan ujungnya saja. "Apa kamu pelacur? Disini akademi bukan untukmu menjual tubuhmu!"
"Apa katamu?! Pelacur?!"
"Ya, pelacur." Alden mendekati Emily dan menatapnya atas bawah secara bergantian. "Sama sekali tidak menarik. Setidaknya jika mau jadi pelacur, harus yang menarik." Alden tertawa mengejek lalu pergi meninggalkan Emily.
"Tadi pecundang, pengecut dan sekarang pelacur. Hari yang hebat." gumam Emily dalam tangisnya. Emily berlari menuju kamarnya.
*******
Salvator berjalan bolak balik di kamar Lycrus. Dia melakukan kesalahan, dia melakukan kecerobohan. Dia terus merutuki dirinya karena itu. Tak lama pintu kamar terbuka. Salvator terdiam di tempatnya dan menatap orang yang masuk sampai akhirnya dia menghela nafas panjang.
"Kamu mengagetkanku saja. Aku kira yang mulia." kata Salvator. Pria itu masuk dan mendekati Salvator. "Bagaimana? sudah mencari tahu?"
"Sudah tuan. Ada yang melihat yaang mulia pergi ke batas dunia. Tapi tidak ada yang tahu pada dia melewati batas dunia." kata pria itu. Kaki Salvator melemas. Dia menjatuhkan dirinya di kasur.
"Aku bisa gila."
"Apa tidak memberitahukan raja saja? Atau pangeran Valdark? Mereka pasti akan membawa pasukan untuk--"
"Tidak, jangan beritahukan siapapun!" Salvator berdiri mendatangi pria itu dan memegang kedua pundak pria itu. "Demian, jangan katakan pada siapapun, raja, pangeran, siapapun! Kamu mengerti?"
"Tapi tuan, jika yang mulia di biarkan sendiri--"
"Aku akan mencari cara! Tapi sementara jangan katakan dulu. Yang mulia bisa terkena masalah besar!"
"Baiklah, saya berjanji."
Salvator melepaskan tangannya dari pundak Demian. Lalu berdiri membelakanginya.
"Bagus, bagus." Salvator kembali duduk di kasur lalu tiba-tiba dia berteriak dan mengacak rambutnya. "Aaarrrgghhh!!! Aku bisa gilaaa!!!"
********
Keesokan harinya setelah sarapan, Emily berpisah dengan Syra lalu pergi ke kelasnya. Sebenarnya dia tidak ingin turun latihan setelah semua yang terjadi, tapi dia memutuskan untuk berlatih. Dia bukan anak kecil atau remaja lagi. Dia sudah dewasa, sudah seharusnya dia menghadapi masalah, bukan menghindarinya. Itu yang dipikirkan Emily. Meski begitu kadang dia menyesali keputusannya. Saat di perjalanan menuju ke kelasnya, dia berpapasan dengan Aera. Tiba-tiba Aera menyerahkan barang yang di bawanya pada Emily, secara kasar tentu. Kedua temannya juga mengikutinya. Emily terkejut dengan perlakuan Aera.
"Mulai hari ini kamu yang bawa." Aera yang tidak perduli mulai berbalik dan berjalan.
"Kamu punya tangan, kamu bisa membawanya sendiri." sahut Emily yang masih diam di tempatnya. Aera dan kedua temannya berhenti melangkah lalu berbalik.
"Tapi sayangnya, tanganku yang mulus dan halus ini, tidak bisa membawanya. Kamu budakku, jadi bawakan saja." Aera berbalik lagi.
"Tanganku juga tidak bisa membawanya dan aku bukan budakmu." sahut Emily lalu melepaskan barang bawaan Aera di tanah dan segera pergi. Aera tertawa tidak percaya dan segera mendatangi Emily lalu menjambaknya dari belakang. Emily berteriak kesakitan.
"Dasar ******! Berani sekali kamu!" Aera masih menarik rambut belakang Emily sampai Emily terjatuh. Jambakan Aera sempat lepas saat Emily terjatuh tapi dia segera menjambaknya lagi. Kali ini Aera menjambaknya sambil menyeretnya.
"Lepaskan! Lepaskan aku!"
Aera tidak perduli teriakan Emily. Beberapa siswa yang melihatpun tidak ada yang membantunya. Aera melepas jambakannya. Dengan segera Emily berdiri.
"Pegang dia!" Kedua teman Aera dengan cepat memegangi tangan Emily. "Bawa dia. Dia harus di kasih pelajaran."
Mereka menyumbat mulut Emily agar tidak berteriak lalu berjalan dengan diam-diam keluar kastil. Mereka menghindari para guru tentu. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di belakang kandang kuda. Aera melepaskan sumbatan mulut Emily.
"Lepaskan aku! Apa yang kamu lakukan?!" pekik Emily.
"Memberi pelajaran pada pecundang, dari kaum rendahan yang berani menolak perintahku."
"Tapi aku bukan budakmu!"
"Ahhh... Benarkah? Lalu siapa? Semua kaum Nemuen memiliki tuan disini. Ahh... Benar. Teman sekamarmu yang bernama.. Siapa namanya?" Aera bertanya pada kedua temannya.
"Syra. Syra Adeira."
"Benar, dia. Kamu pikir dia berani melawanku? Ayolah, ibuku sepupu dengan ratu! Sementara dia hanya bangsawan dengan gelar rendah. Dia tidak akan melawanku hanya untuk kaum rendahan sepertimu."
"Aku tidak akan pernah menjadi budakmu atau menurutimu." tegas Emily.
"Benarkah? Baiklah, kita lihat saja nanti."
Aera membuka kedua tangannya. Tak lama awan mendung muncul tepat di atas Emily. Hanya di atas Emily. Tiba-tiba petir menyambar di sebelah Emily. Emily berteriak ketakutan. Petir itu terus menyambar. Emily berusaha menjauh tapi petir itu mengikutinya.
"Oh jangan takut, sweetheart. Hanya sakit sedikit."
"Hentikan..."
Aera tersenyum. "Tidak"
Aera terus menyerang Emily dengan petir. Bosan bermain petir, Aera menggerakkan ranting pohon dan membuatnya tajam dengan sihir. Ranting pohon itu satu persatu mengenai Emily. Emily menutup wajahnya dengan tangannya. Tubuhnya kini penuh luka. Aera mengangguk pada satu temannya. Temannya itu pergi lalu kembali dengan ember yang terisi penuh dengan kotoran kuda. Teman Aera meletakkan ember itu di sebelah Aera.
"Ughh..." keluh Aera. Aera mengangkat ember itu dengan sihirnya lalu menggerakkan ember itu tepat di atas kepala Emily yang masih meringis kesakitan.
"Bye bye Emily..." Aera menjentikkan jarinya lalu ember itu tumpah di atas kepala Emily.
"Peww.... Dia bau dan jorok." kedua teman Aera mengejeknya.
"Ayo kita pergi." Aera tertawa penuh kemenangan lalu pergi meninggalkan Emily. Emily masih terduduk dan menangis.
*********
"Sepertinya kekasihmu itu memiliki mainan baru." sahut Edmun, teman Alden. Dia baru saja duduk untuk beristirahat setelah latihan sihir dan fisik.
"Kekasihku?" tanya Alden.
"Aera."
"Dia selalu bosan dengan mainannya." kali ini Mark ikut berbicara.
"Aku tidak perduli, biarkan saja dia." sahut Alden.
"Kalau kamu tidak perduli padanya, kenapa kamu membiarkannya mengikutimu terus? Dia bisa sehari semalam mengikutimu jika tidak di hentikan." kata Daf.
"Daf benar. Aku sudah muak melihatnya setiap hari. Tidak bebas."
"Hei! yang di ikutinya itu Alden, bukan kamu! Kenapa kamu yang muak?" protes Mark.
"Maksudku aku saja muak, bagaimana Alden?"
"Sepertinya Alden baik-baik saja tentang itu." kata Daf membuat Mark dan Edmun menatap Alden yang masih mengasah pedangnya.
"Aku hanya tidak perduli padanya. Bagiku dia tidak ada, tidak terlihat." sahut Alden tanpa menoleh pada teman-temannya.
"Bagaimana bisa dia benar-benar tidak terganggu?" Mark menatap heran.
"Aku juga heran. Dia tidak perduli dengan semua wanita. Atau jangan-jangan dia mulai melenceng." ejek Edmun.
"Apa kau ingin mati?" Aleden menghunuskan pedangnya pada Edmun. "Aku dengan senang hati membunuhmu."
"Aku hanya bercanda! Lagipula aku benar. Semua orang disini lebih mementingkan tertarik pada lawan jenis. Kau, sudah satu tahun disini bahkan tidak perduli."
"Tidak ada yang menarik untukku. Aku juga tidak ingin terlibat asmara dengan siapapun."
"Kudengar kamu akan menikah dengan Aera. Apa itu benar?" tanya Daf.
"Benarkah?" tanya Mark dan Edmun bersamaan. Mereka sangat terkejut.
"Mungkin, aku tidak tahu." jawab Alden santai.
"Jadi kamu bersedia jika dinikahkan dengan Aera?"
"Tentu saja." sahut Alden tanpa menoleh pada teman-temannya.
"Kukira kamu tidak perduli padanya."
"Memang tidak. Tapi aku juga tidak perduli pada wanita manapun. Aera bukan pilihan yang buruk. Dia cantik dan kaum bangsawan."
"Tapi kamu tidak mencintainya!"
"Aku tidak perduli pada itu semua. Aku tidak pernah merasakannya dan kurasa tidak akan pernah."
"Dasar gila!"
"Kau tahu dia memang gila."
Ketiga temannya menggelengkan kepalanya. Alden berhenti mencari wanita saat kekasih pertamanya pergi meninggalkannya untuk keluar Ecaunthya. Kekasih pertamanya sangat suka tantangan. Tentu, dia juga lebih tua dari Alden. Alden menyukainya sedari kecil. Mereka sempat menjadi sepasang kekasih. Hanya sebentar lalu gadis itu ikut pasukan pemerintah Ecaunthya untuk keluar Ecaunthya. Tentu Alden sudah melarangnya. Tapi gadis itu bersemangat dan dia jauh lebih memilih ambisinya dari pada Alden. Setelah kepergian gadis itu dan tidak terdengar kabar apapun, Alden mulai berhenti perduli pada wanita. Karena itu dia tidak perduli orang tuanya menjodohnya dengan siapapun pilihan mereka. Dia hanya akan menjalankan tugasnya menjadi pangeran.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments