...BAB 2 - ASAL MULA SEBUAH KEMAMPUAN...
...◇◇◇...
Mengangkat tangan kananku ke depan, aku mengarahkannya ke hamparan padang rumput.
Aku mulai merapalkan sihir yang kukuasai.
Sihir Api.
Bwooosshh!
Bola api melesat ke depan dengan megah dan setelah beberapa saat menguap di udara.
"Woohoo~" Aku kagum dengan daya sihirku itu.
Lalu aku mengangkat tangan kananku lagi, tapi berbeda dengan yang pertama. Aku hanya ingin memeriksa saja.
"Sihir api memang bagus," ucapku melihat nyala api di tanganku.
Nyala api yang sebesar bola basket muncul di telapak tanganku. Api di tanganku memercik dengan panas dan mematikan. Warna merahnya menyala dengan terik.
Walaupun sihir yang aku gunakan ini termasuk sihir paling dasar. Hasilnya lumayan bagus untuk digunakan bertarung dari bagaimana tembakan pertama yang sebelumnya kulakukan.
"Aku memang terampil dengan sihir Api. Tapi, kurasa aku harus belajar mengontrolnya lebih baik lagi," ucapku mengingat bagaimana aku ceroboh dalam mengendalikan sihir.
Lalu Api di tanganku langsung padam seketika setelah aku menghentikan aliran mana di telapak tanganku.
"Baiklah, aku hanya perlu berlatih seperti biasanya," ucapku mengambil pedang kayu yang tergelatak di sampingku.
Karena saat aku dewasa, aku adalah seorang petualang dan pendekar pedang, aku menguasai keterampilan pedang lamaku dan sekarang aku dapat dengan mudah menguasainya lagi di usia mudaku.
Saat aku menggembala, aku tak jarang berlatih mengayunkan pedang dan memperagakan teknik-teknik pedangku agar keahlianku tidak tumpul.
[ Kemampuan Swordsmanship naik 1 tingkat! ]
Bagus. Sekarang aku merasa lebih mudah untuk mengayunkan pedang.
"Ini yang terbaik!"
Aku menjadi sangat bersemangat dan terus mengulangi mengayunkan pedang di padang rumput selagi menjaga ternak.
Kemudian suara yang sering kudengar muncul.
"Ren, kau tidak bosan hanya mengayunkan pedang setiap hari?" ucap seorang gadis yang membawa keranjang makanan.
Gadis muda yang cantik itu datang mendekat dan langsung duduk di atas sebuah batu besar yang tidak jauh dari tempatku, dia tampak jutek dan dingin.
Dia memiliki rambut berwarna oranye kemerahan yang kontras dengan padang rumput, lalu dia melirikku dengan bosan sambil menepuk keranjang itu.
Mata birunya sayu melihatku.
"Ini Makanan yang kubawa, Ibumu bilang habiskan."
"Iya, iya aku tahu," ucapku tetap mengayungkan pedang.
Dia menghela nafas dan memperhatikanku dengan agak malas.
Gadis itu bernama Amelia urona, dia adalah teman semasa kecilku dan seseorang yang akan bergabung dengan gereja suci saat dewasa nanti.
"Ren, apa menyenangkan berlatih pedang seperti itu setiap hari?" ucapnya dengan wajah bosan.
"Hahaha!" Aku tertawa dengan geli.
"Kenapa kau tertawa?" ucapnya heran.
Aku berhenti tertawa dan menatapnya.
Amelia berusia satu tahun lebih muda dariku dan paling sering mengunjungi ku selagi membawakan bekal makanan yang Ibu ku buat.
Alasan dia sering mengunjungiku dan membawa keranjang makanan adalah karena ibuku.
Dia pernah dimintai bantuannya untuk membawakan bekal buatan ibu ke padang rumput tempat di mana aku menggembala.
Akan tetapi, entah sejak kapan dia menjadi lebih sering melakukannya. Meskipun ibu hanya memintanya sekali saja, dia dengan sukarela mau membawakannya setiap hari.
Bahkan hingga hari ini saja, dia sering membawakan bekal makanan untukku.
Whoosh!
Aku masih mengayunkan pedangku dan berbicara dengannya.
"Ya, jujur awalnya memang membosankan. Tapi!"
Aku menarik kedua tanganku dan mengayunkan pedang secara horizontal ke sebelah kananku di mana terdapat beberapa pohon dan salah satu pohon paling besar, tinggi dan kokoh terlihat.
Ayunan pedangku lurus kearah pohon itu.
BRAAK!!
Pedang kayu tertancap ke pohon dan aku mendorongnya lebih dengan tenang.
Cahaya biru mengelilingi pedang, tampak Amelia menatapku dengan bingung.
BRAAAKK! BAAAAM!
"Aku juga menyukainya," ucapku berbalik kearahnya.
Pohon itu jatuh dengan megah dan terbelah menjadi dua dengan mulus.
Amelia menatapku terdiam dan memalingkan wajah saat membalasku.
"Bodoh, kau tidak harus pamer," ucapnya dengan pipi merona.
"Begitukah? Hahaha.. sepertinya aku agak berlebihan."
Amelia cemberut tapi dia masih duduk dengan bosan, tanpa ingin pergi.
"Huup!"
Walaupun begitu, aku tetap berlatih..
Whoosh!
Sejak latihan merupakan kesenangan ku itu sendiri.
"..." Amelia menatapku terus menerus, seakan tidak memiliki kerjaan.
.........
"Hei, Ren.." ucapnya sesaat aku mengistirahatkan diri.
"Apa?" ucapku mengambil Roti isi daging dari Keranjang makanan.
Amelia yang duduk di sampingku menatap langit sejenak, dan lalu menatap lurus ke mataku, wajahnya masih terlihat bosan.
"Besok akan ada Festival Berburu. Kau akan ikut?"
"Berburu?"
Ah.. Festival itu.. Aku baru ingat.
Seharusnya besok akan diadakan "Hunting Festival" di mana para peserta berlomba-lomba membawakan buruan hewan liar terbanyak untuk mendapatkan juara pertama.
Lalu hadiah Juara pertama tahun ini..
Yah, kuyakin banyak yang akan ikut serta.
"Hmm.."
Kurasa aku akan mengikutinya.
"Kau tidak ikut?" Amelia mencoba mengkonfirmasi.
"Tidak, aku akan ikut. Karena dengan ikut acara, aku bisa menunjukkan betapa berkembangnya skill pedangku di sana," ucapku memakan Roti dengan santai.
"Ya, mungkin. Tapi kupikir memburu dengan memanah lebih baik, kan?" ucapnya mengambil Roti isi sayuran.
Memanah? Hmm.. Seharusnya itu lebih mudah dalam berburu hewan liar, tapi aku tidak begitu cocok menggunakannya.
Mungkin, karena aku lebih menyukai pertarungan jarak dekat..
Hm.. Jika aku tidak salah ingat, bukankah Amelia ahli memanah sebelum dia mendapat Job Pendeta Suci nanti, ketika Berkah Kedewasaan di dapatkannya.
"Tetap, aku akan menggunakan pedang," ucapku dengan yakin.
"Hmm.. Yah, aku sering melihat gaya berpedangmu. Jadi seharusnya kau tidak punya masalah di festival," ucapnya memakan Rotinya.
"Tentunya." Aku juga memakan Rotiku.
Uwaah.. Memang, makanan buatan Ibuku yang terbaik!!
"Benar juga.."
"Mm?"
Melihat Amelia yang banyak bicara, membuatku sedikit penasaran akan niatnya. Mungkinkah..
"Lia, Apa kau berencana ikut acaranya?"
"Aku? Tidak, tidak. Aku tidak mau." Dia dengan serius menolak.
Bahkan Amelia sampai menyilangkan tangannya untuk menolak.
"Begitukah, sayang sekali. Kupikir aku akan mendapat rival saat berburu," ucapku sedikit memprovokasinya.
"Hmph, itu tidak akan mempan. Aku tetap tidak mau!" ucapnya dengan cemberut.
"Bukannya, Lia ahli dalam memanah?"
"Tetap tidak mau!" ucapnya menggembungkan pipinya dan menelan habis rotinya.
"Uhuk."
Aku tersedak dan mengambil minuman. Melihatnya begitu lucu saat mengembungkan pipi, aku ingin sekali mencubit pipinya itu.
Setelah meminum air, sekali lagi aku bertanya.
"Apa benar, kau tidak mau?"
"Hmph, aku tidak mau! Bodoh!"
Amelia berdiri dan menjulurkan lidah padaku yang kemudian langsung lari setelah mengatakannya, meninggalkan aku seorang diri dengan beberapa Roti.
"Haha.. Sepertinya dia masih trauma.." ucapku yang kemudian melanjutkan menggembala ternak.
.........
Besoknya, Aku berada di alun-alun desa.
Hari ini adalah Hari acara Festival Berburu akan diadakan dan acara utama akan dimulai di tengah desa sebagai titik start dan tempat pengumpulan buruannya berlangsung.
Aku mengikuti acara utama, karena Ayah mendesakku untuk ikut andil dalam berburu. Walaupun memang niatku sejak awal mengikuti acaranya.
Lalu, ada dua temanku yang juga hadir dalam Acara Berburu.
Mereka adalah Doglass Jera, Pria keriting dengan rambut berwarna Coklat dan satunya lagi bernama Rico Dio, Pria Pendek berambut Coklat sebahu dengan potongan rambut Bob.
"Yo, Ren. Kau ikut juga?" ucap Doglass melihatku mendekatinya.
"Bukannya sudah jelas, aku ingin sekali mencoba skill pedangku setelah sekian lama berlatih mandiri," ucapku menepuk pedang besi di pinggangku.
"Hahaha, umurmu sekarang sudah bisa ikut Festival. Tapi kau harus melebihi buruanku nanti jika ingin menang!" ucap Doglass dengan percaya diri.
Aku ingin menyanggahnya karena usianya sama denganku, tapi kurasa aku biarkan saja.
Doglass menepuk punggungku dengan keras saat mengatakannya, itu menyakitkan.
Lalu dia pergi bersama Rico yang tidak banyak bicara seperti biasanya.
"Haa.." Aku menghela nafas melihat mereka tidak berubah.
Yah, aku ingat sejak dulu kalau Doglass memang berkepribadian keras dan memiliki gengsi tinggi. Tidak seperti Rico yang lebih sering diam dan hanya mendengarkan, dia lebih penurut dari yang terlihat.
Sudahlah, lalu di mana Ayah?
Jadi aku berjalan dan mengitari jalanan desa, banyak stan kios dibuat di samping jalan.
Karena aku memiliki beberapa koin tembaga, aku membeli satu sate kelinci dan memakannya di jalan.
"Hm?" Aku menelan habis Sate kelincinya dan melihat orang yang kucari.
Di tempat di mana Kepala desa berada, terlihat Ayah bersama Kepala desa sedang berbincang dengan begitu keras.
Seakan-akan memberitahu kalau mereka ada di sana.
Kemudian aku menghampiri mereka berdua.
"Ah, Nak. Kau sudah menyiapkan semuanya?"
"Tentu saja, Ayah."
Ayahku, Daken Maulana. Berperawakan besar dan dua kali lebih tinggi dariku. Wajahnya berewok dan memiliki bekas luka di pipinya yang berbentuk silang.
Dia tampak sangar dan liar, tapi tetap saja dia pria yang perhatian dan mudah khawatir.
Dia membawa sebuah Pedang besar di punggungnya dan terlihat seperti ingin sekali Berburu.
"Bagus, lalu Kepala desa. Kapan acara akan dimulai?"
"Sebentar lagi. Kalian bisa mulai bersiap-siap terlebih dahulu. Jadi tunggu saja."
Kalau begitu, aku akan bersiap sekali lagi sebelum berangkat.
"Ayah, aku akan pergi dulu."
"Ya, sana pergi."
Jadi aku beranjak pergi dari mereka yang masih berbicara dengan lantang.
Lalu aku pergi ke tempat acara akan dimulai.
"Oh?" Aku menemukan Amelia tidak jauh dari sana bersama temannya.
kemudian aku menuju ke tempat Amelia yang berbincang-bincang dengan temannya itu.
"Hei, Lia," ucapku menyapanya.
"Oh, Ren? Ada apa?"
Saat aku datang menyapa Amelia, Temannya itu bersembunyi di belakangnya.
Dia seingatku bernama Fiona Asfa. Mereka berdua memiliki kemiripan berambut berwarna Oranye kemerahan. Terlihat seperti mereka berdua kembar, akan tetapi mereka sebetulnya adalah kerabat sepupuan dan memiliki garis keturunan yang sama dengan nenek buyutnya.
"Apa kau tidak ikut saja?" ucapku mengajaknya.
"Bukannya, aku sudah menolaknya.." Amelia berbicara dengan agak kesal.
Wajahnya tidak senang, tapi bukannya aku tidak tahu. Tapi cepat atau lambat dia akan menghadapinya, karena di masa depan dia akan menjadi Pendeta Suci (Holy Maidens.)
"Yah, tapi kau mungkin suatu hari perlu melakukannya.."
"Apa maksudmu?"
"Tidak ada maksud lain.."
Saat aku mengatakannya, aku sudah mulai pergi meninggalkan Amelia yang cemberut.
Fiona di sampingnya masih bersembunyi walaupun dia terlihat sudah lebih tenang setelah aku pergi.
Jadi sambil menunggu acara dimulai, aku berkeliling sebentar di sekitaran kios makanan yang dibuka oleh para pedagang keliling.
"Beli satenya satu Pak."
"Aigo, Ini dia."
"Tenkyu."
Aku duduk di kursi yang tersedia dan menunggu dimulainya acara.
Sesekali aku melihat sekitarku yang ramai akan orang-orang yang berlalu lalang dalam kesenangan akan Festival Berburu.
Acara Festival Berburu desa Konora memanglah yang terbaik. Jadi sudah pasti banyak pedagang dan pelancong yang datang untuk berbisnis dan melihat acara ini.
Kemudian, seseorang yang berpenampilan bagus naik ke atas panggung dan membawa artefak suara; Mic.
"Tes, tes.." ucapnya saat naik ke panggung.
"Baiklah, Acara Festival akan dimulai!"
Suara Pembawa Acara terdengar mengelegar di atas panggung.
Festival Berburu sebentar lagi dimulai.
.........
...[ Continued ]...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
made kusuma
perfect
2023-01-13
1