Tiga hari sudah Doni tidak pulang ke rumah, bahkan pada hari kelulusan Amel saja Doni tidak datang.
Hari ini Lisa mendatangi kantor suaminya, sambil membawakan pakan ganti untuk suaminya.
"Dimana Bapak?" tanya Lisa kepada sekretaris suaminya.
"Sedang ada tamu, Bu. Maaf Ibu harus menunggu terlebih dahulu."
Lisa kesal, "Tamu penting?" tanyanya pelan tapi ketus.
Lisa sebenarnya sedikit takut saat empat orang laki-laki dengan ekspresi wajah datar berdiri di depan pintu ruangan suaminya.
"Betul, Bu. Dari perusahaan yang akan memberikan suntikan dana kepada perusahaan," balas laki-laki dewasa berusia sekitar 35 tahunan itu.
Lisa menganggukan kepalanya, kemudian berjalan menuju sofa yang diperuntukan untuk tamu yang harus menunggu.
"Separah apa masalahnya sampai ayah gak pulang berhari-hari gini?" Lisa gelisah beberapa hari ini, tidak tenang kalau hanya menunggu saja di rumah.
Apalagi Doni yang sulit sekali dihubungi. Akhirnya Lisa memutuskan untuk mendatangi suaminya ke kantornya.
Sesekali bola matanya mencuri pandang pada ke empat orang dengan setelan rapi serba hitam itu.
"Bodyguard siapa mereka?"
***
Doni mematung di tempatnya tidak menyangka dengan syarat yang diberikan laki-laki muda di hadapannya ini.
"Bagaimana Pak Doni? Apakah anda setuju? Anggap saja ini pernikahan bisnis," balas Laki-laki itu dengan kaki yang saling bertumpu. Sikap arogan jelas saja ditujukan kepada lawannya.
Doni kehilangan kata-katanya, bagaimana mungkin dia mengorbankan putrinya demi perusahaan, tapi kalau tidak, dana dari mana untuk menutupi kerugian perusahaan yang tidak tanggung-tanggung itu.
"Saya tidak akan memberikan syarat apapun untuk anda, tidak ada batas waktu, tidak ada bunga pinjaman. Saya hanya butuh seorang pendamping, perempuan baik-baik."
"Tapi bukankah anda bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari putri saya?"
"Saya tidak suka berbasa-basi, jadi bagaimana anda menyetujuinya atau tidak? Jika tidak silahkan anda cari investor lain."
"Baiklah saya menyetujuinya," balas Doni dengan terpaksa, setelah beberapa saat menimbang-nimbang.
Untuk saat ini tidak ada waktu lagi untuk mencari perusahaan yang mau menyuntikan dana dalam jumlah besar kepada perusahaannya yang tengah berada di ambang kehancuran.
"Saya ingin putri pertama anda yang saya nikahi," balasnya lagi.
Deg!
'Bia, tau dari mana dia kalau Bia juga putri ku?' batin Doni yang tentu saja terkejut bukan main.
"Saya tidak bisa menikahi seorang anak kecil yang baru lulus sekolah. Saya butuh perempuan tangguh untuk menjadi pendamping saya," lanjutnya lagi.
Susah payah Doni menelan ludahnya sendiri, rasanya seperti menelan sebongkah batu besar.
Doni hanya mampu menganggukan kepalanya dengan berat hati. Bagaimana mungkin seorang ayah bisa menjual putrinya demi perusahaan, tapi mau bagaimana lagi kelangsungan hidup ratusan karyawan yang bekerja di perusahaan juga harus dipikirkannya.
Mungkin Doni akan egois kali ini, mengorbankan satu orang demi ratusan orang lainnya.
'Ayah pecundang!' maki Doni pada dirinya sendiri.
"Saya minta pernikahannya dilaksanakan dalam dua minggu lagi, saya yang akan mengurus semuanya."
Doni kembali kesusahan menelan ludahnya lagi. Ucapan lawannya bagaikan petir yang menyambar dirinya di panasnya terik matahari.
"Cepat sekali?" lirihnya.
"Lebih cepat lebih baik bukan? Hal yang baik tidak boleh di nanti-nanti," balasnya dengan sedikit senyuman di bibirnya. Hanya sedikit, bahkan senyuman itu lebih kepada sebuah seringai.
"Saya akan segera membicarakannya dengan putri saya." Doni pasrah.
"Besok malam saya akan datang ke rumah anda, membawa orang tua saya."
Doni merasa ini bagaikan mimpi buruk yang menghiasi tidur siangnya.
"Baiklah kalau begitu saya anggap anda setuju, urusan saya sudah selesai disini. Besok perusahaan anda sudah akan kembali seperti semula," ucapnya lagi saat tidak ada balasan dari Doni.
"Terima kasih." Hanya itu yang bisa dia ucapkan, Doni mengulurkan tangannya yang langsung disambut dengan jabatan yakin dari lawannya.
"Saya permisi," pamitnya angkuh dengan kacamata hitam yang kembali menghiasi hidung bangirnya.
"Hati-hati di jalan, Tuan," balas Doni yang tidak dihiraukan oleh laki-laki yang sudah berlalu dari tempatnya.
Doni menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa yang tadi dia duduki, merutuki kebodohannya yang harus mengorbankan putrinya.
Doni melonggarkan dasi yang dia kenakan, mengacak rambutnya dengan kasar berulang-ulang.
"Maafkan aku, Bi." Doni memejamkan matanya dengan tubuh yang menyandar.
Otaknya tengah berpikir keras bagaimana caranya agar Bia menerima permintaan orang yang akan menyuntikan dana yang sangat besar ke perusahaannya.
"Ayah!" sapa suara yang mengagetkan Doni.
"Mamah."
"Ya, ampun Ayah. Apa yang terjadi?" Lisa menghampiri Doni dengam raut wajah kaget bercampur panik.
Penampilan Doni sedikit berantakan.
"Ngapain Mamah ke sini?" tanya Doni sedikit ketus.
"Mamah khawatir sama Ayah." Lisa ikut mendudukan tubuhnya di samping suaminya. "Ayah susah sekali dihubungi, Mamah juga bawain Ayah makan siang sama pakaian ganti." Lisa menunjuk paper bag yang dibawanya.
"Ayah sibuk." Doni berkata singkat.
"Tadi siapa, Yah?" tanya Lisa.
"Orang yang akan menyuntikan dana untuk perusahaan," balas Doni yang sudah memejamkan matanya lagi.
Tiga hari ini Doni hanya tidur 2-3jam setiap malamnya.
"Amel ngambek, Yah, Ayah gak datang ke acara kelulusannya." Lisa sedikit merajuk, tidak tahu waktu sekali memang.
"Aku sibuk, Mah. Urusan perusahaan lebih penting daripada kelulusan Amel."
Lisa kaget mendengar balasan suaminya, yang tidak seperti biasanya.
"Ayah!" Lisa sedikit meninggikan suaranya.
"Sudahlah, Mah. Kamu tidak tahu bagaimana pusingnya aku tiga hari ini. Boro-boro kepikiran datang ke acara Amel, saham perusahaan saja anjlok total."
Lisa sekuat hati menahan emosinya agar tidak meluap. Apalagi saat mendengar saham perusahaan yang anjlok.
"Mending, kamu pulang saja. Aku banyak kerjaan."
Lisa hendak protes, tetapi ucapan Doni selanjutnya lebih mengejutkan baginya.
"Besok malam akan ada yang datang ke rumah, melamar Bia untuk dijadikan istrinya."
"Siapa?" tanya Lisa yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Laki-laki yang akan menyuntikan dana untuk perusahaan, yang barusan datang ke sini."
Lisa semakin membulatkan matanya.
'Itu artinya Bia akan dinikahi orang kaya,' batin Lisa.
"Kalau Bia menolak bagaimana, Yah?" Lisa berharap Bia akan menolak lamaran itu.
"Nanti aku yang akan bicara padanya, Bia pasti mengerti, dia tidak akan membiarkan perusahaan kita bangkrut."
"Bangkrut, Yah?"
"Iya, perusahaan lagi berada di ujung tanduk. Kamu jangan buat aku pusing, aku disini kerja bukan main gila." balas Doni sedikit sengit. "Kamu jangan foya-foya terus, kalau gak mau jadi orang miskin."
Mendengar kata bangkrut dan miskin, Lisa semakin membulatkan matanya. Tentu saja dia tidak ingin jatuh miskin.
Miskin sebuah kondisi yang tidak ingin Lisa alami lagi, apalagi dengan adanya Amel. Lisa yang tidak memiliki pengalaman bekerja, Lisa hanya tau cara menghabiskan uang saja.
"Amel mungkin bisa menggantikan Bia, Yah, kalau Bia menolak lamaran itu." Lisa mengusap lutut suaminya berusaha mengambil hati suaminya.
"Dia tidak ingin menikahi Amel yang baru lulus sekolah."
Lisa mendelikkan matanya, untung saja Doni masih memejamkan matanya. Sebelah tangannya mengepal di atas pangkuannya.
"Tapi Amel sudah cukup usia untuk menikah, Yah."
"Cukup usia tidak cukup untuk dijadikan modal menjadi seorang istri. Apalagi menjadi seorang istri dari miliarder muda, mau ditaruh dimana muka ayah kalau sampai Amel bertindak bodoh? Ayah yakin dia tidak tau bagaimana cara menyeduh kopi dengan baik dan benar."
"Kan bisa dikasih tau pelan-pelan, Yah. Diajari dari sekarang." Lisa belum menyerah.
"Ya, sudah ajari bagaimana jadi perempuan dari sekarang. Jangan hanya tau ngabisin duit orang tua saja! Jangan sampai gara-gara kamu yang tidak becus mendidiknya, Amel buat malu keluargaku." Doni berkata dengan sangat sarkas dan sinis.
Sebuah kalimat panjang lebar yang tentunya begitu menghancurkan harga diri Lisa sebagai seorang ibu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments