Bab 3
Azzam mengatakan bahwa seminggu ini dia kepikiran tentang gadis desa itu, hingga kejadian-kejadian yang mereka alami saat di desa dulu muncul kembali dalam alam bawah sadarnya.
"Shanum, kan, namanya?" tanya Kak Zahra dan dia duduk di kursi kerja yang ada di kamar Azzam.
"Kakak masih ingat, ya?" Azzam berhenti sejenak. Dia mengambil nafas padahal siklus udara di kamar itu cukup baik. "Bagaimana, ya, wajahnya sekarang?"
"Mana kakak tau," nyeletuk Kak Zahra dan dia melempar bantal kursi yang ada di dekatnya ke kepala Azzam dan mereka pun tertawa bersama.
"Gi, cari dia!" suruh Kak Zahra.
"Nggak, deh. Ntar dia udah nikah. Bisa-bisa aku digorok sama suaminya." Azzam melanjutkan makannya. Menghabiskan nasi tanpa sisa.
"Bersih amat kamu makan," celetuk Kak Zahra saat melihat piring Azzam benar-benar bersih.
"Cari uang untuk beli beras, susah."
Kak Zahra kembali tertawa mendengar jawaban spontan Azzam. Azzam semakin membuat Kak Zahra tertawa. Azzam bercerita saat dia dilirik sinis dan dipandang aneh oleh beberapa pengunjung cafe karena dia tidak pernah menyisakan makanan di piringnya saat makan.
"Aku paling nggak suka cewek model begitu, sok kaya padahal harta orang tua," upat Azzam.
"Kamu gitu juga, dong. Pakai mobil kamu yang Kakak belikan itu!"
Kak Zahra pernah menghadiahkan Azzam sebuah mobil saat dia berusia 25 tahun.
"Ingat, Zam. Nggak ada cewek matre!"
"Aku bukan anti dengan cewek matre. Aku cuma nggak suka dengan cewek yang gayanya dibuat-buat. Aku suka cewek apa adanya. Bukan ada apanya."
"Terserah kamu aja! Yang penting hati kamu senang." Kak Zahra berdiri dan mengambil piring kosong yang ada di tangan Azzam.
Sebelum pergi dia menyempatkan untuk mengacak rambut Azzam dengan tangan kirinya. Bagi Kak Zahra, Azzam masih adik kecilnya yang menggemaskan dan selalu membela dia saat diganggu saat mereka kuliah.
"Kalau masih penasaran, cari aja ke kampungnya!" bisik Kak Zahra sebelum pintu kamar ditutup.
Azzam tersenyum lalu menjatuhkan badannya di atas ranjang dengan kedua tangan sebagai bantal. Pandangannya lurus ke depan seakan dapat menembus langit-langit kamar. Pikirannya jauh berkelana di mana dia menghabiskan beberapa bulan di desa yang masih asri, desa yang sangat indah dengan pantai sebagai daya magnet desa tersebut.
Mereka pernah mencari umang-umang di pinggir pantai sampai lupa waktu. Tanpa sadar ibu Shanum berteriak menjemputnya dengan membawa sebatang lidi.
***
Suara alarm dari salah satu ponsel berbunyi, Azmi yang sedang tidur sambil dipeluk wanita tanpa busana terkejut dan langsung saja mendorong wanita tersebut.
"Sialan. Aku ketiduran," upat Azmi dan dia bergegas turun dari tempat tidur setelah melirik angka di layar ponsel.
Dia segera mengutip pakaian-pakaiannya yang berserakan di lantai. Begitu juga dengan Belinda--kekasih Azmi, dengan tubuh polos dia memungut pakaian yang bisa berterbangan entah kemana, tidak pada tempatnya. Mungkin karena mereka tadi malam mabuk berat.
Azmi langsung berpakaian rapi, memasang dasi bermotif garis di kemeja putihnya. Jas hitam tidak ketinggalan dia kenakan. Tanpa mandi dia akan langsung meninggalkan kamar hotel.
"Sayang, kamu mau ke mana?" rengek Belinda dan berusaha menahan Azmi dengan pelukkan.
"Aku harus pulang, bisa-bisa papa curiga kalau aku nggak ikut sarapan." Azmi melepaskan pelukkan Belinda.
Dengan memberi sebuah kecupan di bibir, Belinda pun luluh dan membiarkan Azmi pergi. Sedangkan dia kembali naik ke atas tempat tidur dan kembali bergulung dalam selimut putih. Melanjutkan mimpi yang terjeda.
Langit masih gelap, alarm berbunyi dari ponsel Azmi yang menunjukkan pukul lima pagi. Dia harus segera tiba di rumah tanpa sepengetahuan orang tuanya. Jalan raya yang tidak ada sepinya, ramai tetapi, tidak macet membuat Azmi dapat dengan cepat tiba di rumah.
Dari jauh, Azmi menelepon penjaga rumah mereka agar segera membukakan pintu sehingga dia tidak perlu menekan klakson. Suara mesin kendaraan akan dianggap Azzam yang pulang dari mengamen. Karena Azzam selalu pulang subuh.
Mendengar suara mobil masuk, Azzam berdiri di depan jendela kamarnya, dia menatap kepulangan Azmi tanpa ekspresi. Ternyata perkiraan Azmi salah. Malam ini, Azzam pulang lebih awal.
"Lihat drama nanti pagi," gumam Azzam sambil menutup gorden jendela perlahan.
Tidak lama Azmi masuk, Adzan Subuh berkumandang.
Azzam segera mengambil wudhu dan keluar kamar. Pagi ini dia ingin melaksanakan Salat Subuh di masjid kampung belakang komplek. Anak-anak bilang, lingkungan mereka bernama kampung konglomelarat. Azzam pernah tertawa mendengar jawaban dari anak-anak tersebut. Mereka bilang karena konglomeratnya sudah diambil oleh komplek depan, sisalah kolongmelarat-nya.
Azzam keluar rumah melalui pintu belakang yang pagarnya langssung ke jalan setapak menuju kampung kolongmelarat. Tegur sapa dan bincang ringan terjadi antara Azzam dan bapak-bapak yang bertemu di jalan hendak melaksanakan Salat Subuh juga. Obrolan mengalir begitu saja karena Azzam sangat dikenal di kampung itu.
"Loh, rumah itu sudah ada yang nempati?" Tunjuk Azzam pada sebuah rumah yang dulunya dibiarkan kosong bertahun-tahun.
"Baru satu bulan ini," jawab Pak RT di kampung tersebut.
"Ternyata saya yang sudah lama tidak berjamaah," sahut Azzam dan tidak mempermasalahkan lagi perihal rumah tersebut.
Sesampainya di masjid yang dituju, Azzam diminta untuk Ikamah oleh para jamaah. Dengan senang hati Azzam melakukannya. Lantunan lafal Ikamah begitu merdu.
Di dalam rumah yang ditunjuk Azzam sebelum ke mesjid tadi. Shanum keluar dari kamar lalu meraba-raba jalan ke kamar mandi. Sebelum masuk ke kamar mandi, didengarkannya suara Ikamah tersebut, suara yang menyejukkan hati.
Lantunan setiap ayat membuat hati semakin nyaman, Shanum memejamkan mata meresapi hingga ke dalam hatinya.
"Seandainya aku mempunyai jodoh seperti itu," gumam Shanum dengan suara yang cukup didengar oleh dia sendiri.
Suara yang sama saat mengimami Salat Subuh di mesjid.
Selesai melaksanakan dua rakaatnya, Shanum membuka jendela kamar, menghirup udara yang tidak lagi segar. Tidak ada lagi burung-burung berkicau menyambut pagi. Tidak ada lagi wangi embun di pagi hari.
Hanya deru mesin dari kendaraan bermotor yang menyambut pagi, tanda hari akan dimulai.
Keluar kamar dengan cara meraba, dia sudah hafal dengan posisi semua benda di rumah ini, rumah yang sangat minim perabotan. Shanum menuju dapur untuk memasak air. Membuatkan teh hangat untuk Bi Tanti sudah menjadi rutinitas pagi.
Awal-awal tidak bisa melihat dan melakukan pekerjaan ini, tak jarang tangan shanum terkena air panas. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, memasak sederhana bisa dia lakukan sendiri.
Namun, di mata Bi Tanti, Shanum selalu saja salah. Tidak jarang dia mengatakan bahwa Shanum adalah beban yang ditinggalkan kakaknya untuk dia.
Berapa banyak luka hati yang Bi Tanti berikan kepada Shanum, tetapi semua dia pendam. Tidak ada teman untuk dia berbagi cerita, hanya kasur dan bantal tempat dia mencurahkan rasa.
Selain ibunya, dia merindukan sosok seseorang yang pernah dia kenal dulu sewaktu di kampung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments