“Bi,” panggil laki-laki yang memegang tangan Bintang.
Bintang menarik tangannya dari genggaman laki-laki itu itu. Ia menatap laki-laki yang memanggilnya tanpa menghilangkan raut wajah cemasnya. Lantas berkata, “Maaf Harry, aku sedang terburu-buru.”
“Mau kemana, Bi?” tanya laki-laki yang bernama Harry seraya mengamati wajah khawatir Bintang.
“Aku mau ke Mansion Mas Langit. Aku pergi du—” ucap Bintang cepat tapi segera dipotong Harry.
“Kalau begitu, biar aku antar. Lagian, aku juga mau ke sana.” tawar Harry tersenyum. “Calon istri Tuan Langit pasti mau menemui calon suaminya ‘kan?” tambah Harry menggoda.
“Apaan sih. Aku mau naik mobil sendiri. Lagi pula aku bawa mobil ke sini kok,” tolak Bintang secara halus.
“Tapi—”
“Bye, Harry.” Bintang melambaikan tangannya dan melangkah menjauh dari Harry.
"Ck," decak Harry yang melihat punggung Bintang sambil menarik sudut bibirnya—tersenyum miring. Melihat sudah tidak ada bayangan dari Bintang, ia pun pergi meninggalkan tempat itu dengan seringai yang tidak lepas dari bibirnya.
Sedangkan bintang, setelah sampai di parkiran, ia segera masuk ke dalam mobilnya. Mengendarai mobil dengan kecepatan 100 km/jam. Hati dan pikirannya sekarang sedang kalut. Kekhawatiran menggerayangi relung hatinya. Pikirannya selalu tertuju pada pernikahan dan calon suaminya—Langit.
Membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai ke mansion utama keluarga Abivandya, dari tempat Bintang dan Bunga melakukan perawatan spa.
“Sial, kenapa perawatannya jauh banget sih.” geram Bintang memukul setir mobilnya.
Bintang sudah melajukan mobilnya sekitar tiga puluh menit. Dan mungkin, ia akan sampai di mansion utama sekitar tiga puluh menit lagi. Ia Mencoba fokus mengendarai mobilnya meski pikirannya kalut.
KRING... KRING.
Tiba-tiba ponsel Bintang berdering. Bintang yang mendengarnya, segera mengambil ponselnya di dalam sling bagnya.
Tanpa melihat nama yang tertera di panggilan teleponnya, Bintang langsung menyambar, “Aku akan ke sana sekarang, Nga. Jelasin apa yang terjadi sebenarnya. Jangan buat aku khawatir. Aku sekarang, sedang di jalan. Tung—” suara tegas di seberang telfon menghentikan ucapan Bintang.
“Mau ke mana kamu?” sahut pria di seberang telfon dengan menekan pertanyaannya.
Bintang menginjak rem secara mendadak hingga berbunyi decitan ban yang beradu dengan aspal. Lalu melihat nama panggilan di ponselnya dan bergumam lirih, “Papa....”
Untungnya jalanan sedang sepi, jadi tidak ada kendaraan di belakang mobil Bintang yang melaju.
“Iya, ini Papa! Pulang ke rumah sekarang! Jangan ke mana-mana selain rumah!” perintah Papa Zidan—alias Ayahnya Bintang.
“Ada apa, Pa?” tanya Bintang dengan kerutan di dahinya.
“Jangan banyak tanya! Pulang sekarang! Dan jangan bawa mobil dengan kecepatan penuh!” tukas Papi Zidan.
“Tapi—”
“Pulang!” seru Papa Zidan memotong ucapan putrinya seraya mematikan sambungan teleponnya.
“Kenapa Papa terdengar sangat emosi?" batin Bintang bertanya-tanya dengan wajah bingung. Bintang sangat mengenal Papa Zidan jika sedang dilanda masalah berat. Papanya itu pasti akan bersikap keras padanya, seperti nada suara yang terdengar di seberang telepon tadi.
Bintang segera membalikkan arah kendaraannya menuju rumahnya. Meski pikirannya masih berlabuh pada kekhawatirannya terhadap sang kekasih, tetapi ia juga tidak bisa menampik kegelisahan yang merundung hatinya setelah mendengar ucapan sang Papa.
“Kenapa aku begitu gelisah setelah mendengar panggilan telepon dari Papa? Dan kenapa juga, Papa melarang ku ke mana-mana selain rumah?” batinnya kalut dengan pikiran bercabang.
Bintang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, ia melihat kembali ponsel yang digenggamnya—di sana sudah tertera pukul 17:00.
“Seharusnya jam segini, Papa masih di mansion Daddy Alam. Papa ‘kan biasanya pulang jam setengah tujuh malam. Lalu kenapa tiba-tiba, jam lima sore sudah pulang yah?” Bintang bermonolog sendiri dengan pikirannya dan mulai sadar ada yang ganjal di sini.
Zidan Azhar adalah Asisten Pribadi Tuan Alam Abhivandya—Ayah dari Langit. Setiap hari, Papa Zidan selalu berada di mansion utama keluarga Abhivandya dari jam delapan sampai jam setengah tujuh malam.
“Apa marahnya Papa, berhubungan dengan kemarahan Mas Langit?” batin Bintang seraya menambah kecepatan mobilnya menjadi 80 km/jam. Hingga dalam 15 menit, Bintang sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Ia menekan klakson dan memasukkan mobilnya setelah satpam membuka gerbang.
Bintang keluar dari mobilnya, lalu memberi kunci mobil kepada Security untuk diparkir.
Saat memasuki pintu utama, Bintang sedikit terkejut dengan pemandangan di depannya. Terlihat di ruang keluarga, Papanya sedang memukul beberapa pengawal.
“Papa... ada apa ini, Pa?” teriak Bintang segera mendekat pada Papa Zidan.
Papa Zidan menoleh setelah mendengar teriakan putri kesayangannya. Lantas menepuk kedua tangannya dan mendudukkan dirinya di sofa, mengayunkan salah satu tangannya ke udara sebagai kode untuk beberapa pengawal di depannya agar pergi.
Papa Zidan menatap wajah Bintang yang menatapnya penuh tanda tanya. Ia dengan kaki yang bertumpu satu sama lain dan melipat kedua tangannya di depan dada, menghembuskan nafas kasar. Rahang pria paru baya yang sudah berusia 50 tahun ini nampak mengeras karena menahan emosi.
“Papa hanya sedang bermain-main. Kamu tau maksud, Papa ‘kan?” Papa Zidan berkata dengan penuh penekanan seraya menaikkan salah satu alisnya.
Bintang yang mendengarnya meringis ngeri dan bertanya dalam pikirannya, “Apa yang membuat Papi begitu marah seperti ini?” sebab ia sangat tau watak Papanya yang lembut, baik, dan ramah, namun akan berubah sangat kejam saat marah.
“Hey, malah melamun. Sini kamu!” perintah Papa Zidan mengejutkan Bintang. Ia menepuk sofa di sampingnya.
Bintang segera duduk di sofa—samping Papa Zidan. Ia memeluk lengan Papa Zidan dengan manja agar tidak terkena amukan sekaligus cara untuk menenangkan hati Papa Zidan yang dilanda emosi.
”Papa kenapa sih?” tanya Bintang dengan lembut sambil mengusap lengan Papanya guna menenangkan emosi Papa Zidan.
“Ini semua karena Laki-laki baji*gan itu!” desis Papa Zidan merangkul pundak Bintang sebagai membalas pelukan anak sematawayangnya.
Bintang yang mendengar jawaban Papi Zidan mengerutkan keningnya di dalam dekapan sang Ayah. Dalam hati bertanya tentang siapa laki-laki yang dimaksud baji*gan oleh Papanya. Tapi ia tidak ingin menanyakan langsung tentang siapa laki-laki itu. Ia ingin Papanya sendiri yang akan mengatakan semua padanya.
“Papa tenang dong. Terus, ceritain sama Bia. Kok bisa emosi banget kayak gini sih,” rengek Bintang menyebut dirinya Bia—panggilan akrabnya.
“Papa enggak sanggup cerita sama kamu, Nak. Papa enggak sanggup lihat Bia sedih,” lirih Zidan memeluk erat putrinya dengan mata yang perlahan berubah menjadi sendu dan mulai berkaca-kaca.
Bintang kaget mendengar suara lirih Papa Zidan. Ia mencoba melepaskan pelukannya, melihat mata Papi Zidan dengan pikiran penuh tanya. Karena yang ia lihat adalah sebuah kesedihan yang sangat dalam di sana. Ia tidak bisa melihat tatapan mata itu, hingga ia menangkup pipi Papa Zidan dan berkata, “Bia lebih enggak sanggup, lihat Papi kayak gini.” Bintang melepas tangannya dari pipi Papa Zidan dan beralih menggenggam tangannya. "Maafin Bia, Pa. Kalau Bia buat Papa jadi sedih begini,” imbuh Bintang kembali memeluk Papa Zidan yang langsung membalas pelukannya.
Sesaat hanya keheningan yang tercipta dari pelukan itu, hingga suara Papa Zidan memecahkan keheningan.
“Maaf..., Papi gagal menepati janji Papi sama Almarhumah Mama kamu.” Papa Zidan mengusap surai kecoklatan milik Bintang. Sedangkan bintang tetap diam dalam pelukan hangat Papanya meski ia sangat bingung dengan ucapan Papa Zidan.
.
.
.
.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Putri Minwa
cerita yang menarik thor
2022-11-09
0
Sri Wahyuni
jngn trllu bnyk berblit kta2 y bkin pusing baru bca bab k 2 dah mulai jenuh
2022-10-21
1
Sarah
Bagus ceritanya Thor. Semangatttt nulisnya💪💪💪💪
2022-10-14
3