Teng!
Suara uang koin yang terjatuh ke celengan terdengar. Wanita berambut pendek yang tersenyum, menatap ke arah cermin. Sebentar lagi dirinya dapat mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. Ingin bersanding dengan pria yang dicintainya, Jovan pegawai bank nasional.
Bingkai foto berukuran kecil terlihat menampakan foto dirinya bersama Meira, sahabatnya dan Jovan, kekasihnya. Perlahan gadis itu mengenakan topinya, membawa dua box yang dipenuhi dengan jajanan pasar.
Sebenarnya bukan hanya jajanan pasar, namun juga buah-buahan segar. Itulah profesinya, berjualan keliling, mulai menyalakan motor tuanya.
Benar-benar motor bebek warisan almarhum ayahnya. Suara mesin yang halus, menembus semua medan, termasuk jalanan pedesaan.
Angin menerpa rambutnya menampakan wajah rupawannya.
"Dora!" Suara panggilan terdengar, dirinya menghentikan laju motornya yang lumayan pelan. Menurunkan box-nya di teras rumah seorang ibu rumah tangga.
Bersamaan dengan itu, ibu-ibu lainnya mendekat. Membeli berbagai dagangan yang dibawanya. Profesi rendah? Tidak, dirinya berbeda dengan penjaja jajanan pasar lainnya.
Tidak membuatnya sendiri, dirinya bagi hasil dengan beberapa nenek yang tinggal di dekat rumahnya. Dua box? Mungkin delapan box dapat dihabiskannya dalam satu hari. Lima box buah kiloan dan tiga box jajanan pasar.
Dengan moto utamanya, buatan tangan seorang nenek memang lebih enak.
"Dora kamu cantik, sudah punya pacar belum? Anak ibu juga masih bujang, siapa tau—" kata-kata Bu RT disela.
"Hus! Dora sudah punya pacar, namanya Jovan. Dibantu Dora biaya kuliahnya, sampai jadi pegawai bank sekarang," ucap Bu Ratmi.
Dora, tersenyum menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Keberhasilan pacarnya, keberhasilannya juga, ‘kan?
"Aku memang keren, punya pacar pegawai bank nasional," batinnya ingin rasanya dipuji lebih banyak.
"Iya, sudah cantik, rajin, pintar lagi." Bertambah lagi pujian Bu RT.
"Tapi sayangnya lulusan SMU." Ibu dari sahabatnya Meira datang menyela, membuat semua pujian bagaikan menghilang.
"Anak saya Meira, lulusan S2 sekarang kerja jadi manager di perusahaan semen," lanjutnya.
Kata-kata pujian terus berlanjut, hanya menjatuhkan mental Dora. Wanita yang menghela napas kasar, memberi kembalian pada ibu-ibu yang membayar.
Selalu seperti ini, namun dirinya bersyukur. Memiliki kekasih setia seperti Jovan dan sahabat yang cantik serta pintar seperti Meira.
*
Motor kembali dilajukannya melewati jalanan menuju bangunan terbesar di kampungnya. Security dan para pelayan menjadi langganan tetapnya.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, dagangannya benar-benar diserbu, bahkan hampir tanpa sisa. Hingga dirinya hendak menaikan satu box kosong. Memasukan satu buah jeruk kecil ke sakunya untuk dimakan nanti.
Suara itu mulai terdengar.
Suara piano klasik. Suara yang sering didengarnya dari dalam villa, namun entah siapa yang memainkannya. Wajah Dora tersenyum, selalu terhibur mendengar setiap melodi indah yang terasa.
*
Yoka terdiam, masih tidak bicara. Memainkan pianonya, nada-nada indah perlahan terdengar, mengantar kerinduannya pada Anggeline. Air matanya menetes.
Mengapa dirinya tidak dapat bicara? Ini terlalu sulit baginya, memilih terdiam dalam kebisuan. Dirinya yang kala itu berusia 11 tahun menyaksikan ibunya dilecehkan dan dibunuh. Trauma psikologis yang seharusnya berjalan sementara, namun mengapa hingga kini dirinya masih tidak dapat bicara?
Inilah alasannya, dirinya tidak ingin bicara. Tidak ingin mengumpat dan berucap dalang pembunuhan ibunya adalah ayahnya sendiri. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, sang ayah mengatakan pada selingkuhannya telah melenyapkan nyawa istrinya.
Yoka memilih tidak bicara, berhenti berucap, hingga suaranya bagaikan menghilang. Menyimpan luka hati seorang diri, memilih hidup menyepi ditemani suara piano. Menjauh dari ayah yang dahulu menyayanginya.
Air matanya kembali mengalir, semua yang dimilikinya telah direbut oleh Malik. Menghibur diri dalam tangisan tidak bersuara.
Jemari yang bergerak cepat, berubah menjadi nada bagaikan kegelisahan. Menahan perasaan sesak di dadanya. Bagaikan sebuah simpul rumit yang tidak dapat dibukanya.
Hingga pada akhirnya gerakan jemari tangannya terhenti. Kala terdengar suara tepukan tangan seseorang.
"Kenapa berhenti?" Suara seorang wanita terasa asing di telinganya.
Pemuda yang mengenakan kemeja putih itu menengok ke arah belakang. Wajah yang benar-benar dikenalinya, Anggeline telah kembali. Anggeline tidak membuangnya.
Dora terdiam sejenak, pemuda yang mencoba bunuh diri di dekat halte bis beberapa hari yang lalu?
Tidak ada yang dikatakan sang pemuda rupawan, melangkah dengan cepat memeluk tubuhnya. Dora terdiam, terpaku sejenak, tubuhnya bagaikan sedikit terangkat oleh pemuda yang lebih tinggi darinya.
Tangan yang berselimut kemeja mendekapnya. Tangan lebar yang benar-benar terasa hangat.
Tidak ada kata yang mereka ucapkan, sedetik, dua detik, hingga detik ketiga. Kesadaran Dora mulai kembali.
"Kamu siapa?!" teriaknya, mendorong tubuh pemuda di hadapannya.
Yoka masih terdiam, membelai pipi Dora. Inilah Anggeline, begitulah dalam hatinya saat ini.
Tapi berbeda dengan Dora, wanita yang sudah dari tadi menahan kesabarannya.
"Kamu bisu kan?" tanyanya mengingat pemuda di halte bus.
Yoka diam tertegun, menurunkan jemari tangannya dari pipi Dora. Anggeline benar-benar tidak menginginkannya yang bisu?
Tapi tidak, Anggeline adalah miliknya. Jemari tangannya mengepal, menarik Dora dalam pelukannya, mengarahkan mata mereka bertemu sesaat. Tengkuk Dora ditahannya.
Ciuman pertama? Itulah yang diberikan Yoka, tidak mengerti caranya sama sekali. Namun jantungnya berdegup cepat kala bersentuhan dengan bibir wanita ini. Wanita yang masih dianggapnya sebagai Anggeline.
"Lepas—" kata yang hendak terucap dari bibir Dora, namun malah membuka akses bagi lidah Yoka yang bergerak secara alami, ke dalam mulutnya.
Dora terdiam, ini benar-benar ciuman pertamanya. Pemuda yang terus bergerak, entah kenapa keseimbangan Dora bagaikan menghilang. Jantungnya ikut berdegup cepat, perasaan yang coba ditentangnya, namun bagaikan narkotika. Dua orang yang terlanjur mencicipinya, memejamkan matanya, membalas perlahan.
Apa ini? Mengapa dapat seperti ini? Hingga napas mereka benar-benar habis, menghirup udara dengan serakah.
"Apa ini cinta? Akhirnya, aku berciuman dengan Anggeline," batin Yoka penuh senyuman, mengatur napasnya. Menahan debaran di hatinya.
Hubungan apa yang dulu Yoka dan Anggeline jalani? Tidak pernah berciuman? Tentu saja, Anggeline tidak ingin memiliki hubungan dengan pemuda bisu. Hanya sekedar menjalin hubungan untuk mendapatkan uang dan segala fasilitas.
"Ciuman pertamaku ..." gumam Dora menyentuh bibirnya, menyesali semuanya.
Yoka mengenyitkan keningnya, meraih papan putih dan spidol yang berada di atas pianonya.
‘Ciuman pertama? Bagaimana bisa?’ Itulah yang ditulisnya, mengingat Anggeline beberapa kali berciuman dengan Malik di hadapannya.
Dora membaca tulisan yang ditunjukkan Yoka. Mengenyitkan keningnya benar-benar murka, dirinya bagaikan dianggap sebagai wanita murahan.
"Aku Dora! Tidak pernah berciuman dengan siapa pun!" teriaknya, menendang tulang kering Yoka. Kemudian pergi meninggalkannya.
Yoka hanya meringis menahan rasa sakit. Namun memang terasa berbeda dengan wajah yang sama. Itu bukan Anggeline? Entahlah, tapi rupa yang sama. Seperti kata gadis di halte yang menolongnya. Sapu tangan dan tissue. Mungkin wanita bernama Dora ini dapat menggantikan Anggeline.
Wajah yang tersenyum, menggigit bagian bawah bibirnya sendiri. Ciuman bagaikan narkotika untuknya. Dirinya menginginkannya lagi. Apa karena wajah yang sama dengan Anggeline?
*
Di tempat lain Dora terisak bagikan seorang gadis yang direnggut kesuciannya. Padahal seorang gadis yang direbut ciuman pertamanya.
"Bisu br*ngesek!!" teriak Dora menendang-nendang udara kesal, menyikat giginya berkali-kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
lily
udh di sosor aj tuh anak orang
2025-05-02
0
rahma manulang
🤣🤣
2024-04-14
0
Lovesekebon
Cerita Othor selalu juarahh 👍👍👍💯🥰🥰
2023-02-16
3