It's a new life, it's a new day. Inilah gaya hidupku yang baru, hidup tanpa kenikmatan makanan. Apapun makanannya, hambar tanpa garam adalah yang harus kunikmati selama pengobatan ini.
Ibuku pun meminta kepada ART kami di rumah, untuk memisahkan semua makanan. Untukku yang tanpa garam dan tanpa lemak. Aku pun dengan terpaksa harus menikmati makanan yang disajikan atau harus kelaparan.
Setelah beberapa pekan, bosan dan jenuh dengan makanan tanpa rasa, di saat aku kontrol ke RS, aku pun bertanya kepada dr. Mukidjan.
"Dok, boleh makan makanan pedas, nggak?"
"Pedas? Boleh, tapi secukupnya saja yaa," jawabnya yang membuat hatiku bersorak, paling tidak aku dapat merasakan pedas dalam makananku.
Di saat hari libur, aku pun mulai memasak makananku sendiri. Aku sudah terbiasa di dapur sejak kecil dan mulai memasak makanan untuk keluarga sejak aku kelas 4 SD, atau ketika usiaku sekitar 10 tahun.
Aku pun mulai memasak nasi goreng, dengan putih telur dan dada ayam tanpa lemak sebagai kondimennya dan cabai rawit untuk tambahan rasa pada masakan.
Beberapa kali aku memasak dengan menggunakan banyak cabai, hingga akhirnya lambungku pun berontak. Aku mengalami sakit perut hebat hingga aku berguling-guling di atas karpet.
"Lin, kamu kenapa?" tanya ibuku panik.
Lalu tanpa sadar, aku berguling-guling hingga menarik karpetnya yang membuatku terbungkus oleh karpetnya. Bentukku saat itu mungkin seperti dadar gulung yang terbungkus karpet berwarna coklat.
"Lah, ini kok jadi kepompong! Lin, kamu kenapa?" tanya ibuku lagi.
Kedua orang tuaku pun segera membawaku ke dr. Tedi. Sesampainya disana, aku segera di USG untuk melihat penyebabnya. Lalu, dr. Tedi menemukan sesuatu.
"Hmmm, ini sepertinya biji cabai. Lin, kamu makan pakai cabai berapa banyak? Ini banyak sekali lho?" ucapnya yang membuatku malu dan ingin segera lari ke Timbuktu.
"Hmmm, banyak Dok, soalnya aku bosen makan makanan hambar, trus katanya boleh makan pedes, jadi aku masak pakai cabainya banyak," jawabku sambil meringis menahan sakit perutku dan membela diri yang tentu saja hal itu membuat ibuku memberikan wajah kesalnya padaku.
"Yaa, maaf, Bu," gumamku dalam hati.
Dr. Tedi kemudian menyuntikkan obat pereda sakit untukku yang membuat rasa sakitnya jauh berkurang.
Setelah itu, ia menuliskan resep, untuk mengurangi rasa sakit pada perutku.
"Ini obatnya diminum hanya kalau sakit saja, yaa. Lin, jangan kebanyakan makan cabai, kamu bikin panik orang tua kamu, tuh," ucap dr. Tedi yang membuatku meringis menahan malu.
Sesudahnya kami pun kembali ke rumah, tentu saja sesampainya di rumah aku harus mendengarkan khutbah dari ibuku, yang aku sudah duga akan isinya.
"Linaaaa, kamu bikin panik oran tua aja, sih??!! Kolik sampai guling-gulingan di lantai, ternyata hanya gara-gara kebanyakan makan cabai?! Ibu tuh sudah mikir kamu kenapa-kenapa, apa ada sakit baru lagi? Nggak tahunya cuma karena cabai!!"
Aku pun hanya dapat kembali meringis menahan malu.
"Yaa maaf, Bu. Aku bosen makan yang hambar, pingin ada rasanya sedikit aja, saos sama kecap kan nggak boleh, yaa aku masukin cabai rawit aja," jawabku membela diri.
"Pokoknya nggak ada urusan cabai yang bikin panik lagi!! Malam ini kamu makan tanpa cabai, makan yang sudah disiapin sama mbak Yuli!" ucap ibuku, yang masih sedikit emosi.
Ayahku yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara.
"Lin, sekarang kamu harus mulai bertanggungjawab akan kesehatanmu sendiri. Kamu yang tahu kapan harus periksa ke dokter, kapan harus periksa ke laboratorium, apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak. Kamu yang menjalani itu semua, bapak dan ibu hanya bisa nganterin, nemenin kamu berobat dan membiayai semua pengobatan kamu. Tetapi kamulah yang merasakan sakitnya, merasakan nggak enaknya, sedangkan orang lain hanya bisa kasihan. Jadi kamu harus tertib dan disiplin, karena nantinya kamu juga yang akan merasakan kesembuhan setelahnya, merasakan kenikmatan untuk kembali beraktivitas dengan bebas. Tetapi untuk saat ini, kamu harus sabar dengan segala pantangan yang ada."
Mendengarkan kata-kata ayahku, aku pun terdiam. Ayahku benar, orang lain hanya bisa merasa kasihan padaku, sedangkan aku yang merasakan semua ketidaknyamanan akan sakitku ini. Mulai saat itu, aku pun lebih memperhatikan asupan makananku. Aku tidak boleh manja walaupun sakit, aku yang bertanggungjawab akan kesehatanku dan kesembuhan akan sakitku.
Hari-hari berikutnya aku tetap masuk sekolah seperti biasa. Hanya saja, belakangan wajahku mulai mengalami perubahan. Setiap bangun tidur, wajahku tidak saja sembab, tetapi seperti bengkak. Bahkan jika aku tidur miring ke kiri atau kanan, setelah bangun wajahku akan semakin bengkak, sesuai dengan posisi tidurku. Jika miring ke kiri, berarti wajahku akan mengalami pembengkakan di sebelah kiri dan sebaliknya.
Walaupun begitu, aku tetap bersekolah dengan moon face-ku. Tetapi beberapa kali aku pun harus tidak masuk sekolah, karena wajah moon faceku yang membengkak begitu juga dengan kakiku yang belum juga mengecil bahkan semakin membesar.
"Lin, napa muka Lo? kebanyakan tidur ?" tanya Tami teman sebangkuku.
"Kenapa emangnya? bulet banget yaa, chubby menggemaskan kah?" jawabku dengan pertanyaan canda.
"Hadee, Lo emang sakit ya, Lin ?" tanya Tami lagi, kali ini wajahnya cukup serius.
"Iya, gue sakit. Makanya mukanya begini, trus itu yang bikin gue nggak boleh ikut pelajaran olah raga," jekasku.
"Emang Lo sakit apa sih, Lin?"
"Kata dokter namanya bocor ginjal," jawabku singkat.
"Hmmm ginjal Lo bocor? padahal Elonya juga bocor ya, kompaklah sama sakit Lo," canda Tami.
"Iye kompaklah, eh tapi aneh nggak sih muka gue?"
"Nggak lah, Lo cuma keliatan gemukan sama putihan aja, nggak ada yang aneh kok," jawab Tami yang membuatku lega.
"Trus, kenapa ginjal jadi bikin muka Lo bengkak?" tanya Tami lagi.
"Nah, gue juga nggak tahu. Gue cuma tahu nama penyakitnya doang, trus udah," jawabku yang membuat Tami memandangiku.
"Kok Lo nggak nanya ke dokter?" tanyanya lagi.
"Udah ditanyain sama ibu, tapi gue nggak mudeng sama bahasanya, jadi yaa sudahlah, yang penting gue masih bisa sekolah," jawabku seadanya.
"Lo emang aneh, pinter tapi aneh !" ucapnya yang membuatku tertawa.
Belakangan, aku baru tahu akan istilah Moon face, itu adalah istilah bagi penderita nefrotik sindrom karena wajah kami yang mirip bulan, yaitu bulat seperti bulan.
Aku terkadang menghibur diriku sendiri dengan membuat rayuan gombal, yaitu wajahmu bagaikan bulan. Aku pun tertawa geli setiap mendengar kalimat itu.
Selain itu, jika Michael Jackson punya moon walk, paling tidak aku punya moon face, sedangkan etnis Cina punya moon cake.
Maju terus pantang Moon-door!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Tufa Hans
Yang sabar ya, Lin?
2022-09-28
1