Hari hampir petang, saat Aleesha sudah menyelesaikan tugasnya.
'Pukul tiga lewat empat puluh lima menit.' Gumamnya sembari melirik arloji yang menghiasi pergelangan tangan kirinya.
"Kita langsung pulang Mbak ?" Tanya Widya memastikan.
"Iya, badanku rasanya pegal-pegal Wid. Masih ada waktu beberapa jam perjalanan untuk sampai rumah. Aku mau tidur dulu sebentar." Jawab Aleesha yang sekian hari sudah, dia melakukan perjalanan ke luar kota untuk berbagai pertemuan.
Widya mengangguk, sebenarnya ada banyak pesan dan panggilan yang belum dia sampaikan, tapi takut akan mengganggu istirahat leader nya.
"Kenapa Mbak, gelisah gitu." Tanya Ridwan, driver freelance yang biasa dia booking saat bepergian ke luar kota.
"Gakpapa Mas, ini banyak pesan dan panggilan yang belum sempat saya sampaikan ke Mbak Aleesha." Jawabnya.
"Kira-kira, penting gak ?"
"Gak tahu Mas, gak berani buka."
"Ya sudah, tunggu Mbak Aleesha nya bangun saja. Kelihatannya dia capek, tidurnya pules banget." Kata Ridwan yang sempat melirik melalui kaca spion di atas dasboard mobilnya.
Perlahan tapi pasti, Widya juga ikut memejamkan mata. Suasana sebentar terasa hening. Hanya lantunan musik klasik dan deru berbagai jenis mesin kendaraan di luar sana yang terdengar.
"Sudah sampai mana Mas ?" Tanya Aleesha yang terbangun.
"Oh, sebentar lagi sampai Mbak."
"Hhhmmmm."
Dilihatnya Widya masih tertidur. Kembali dia rebahkan punggungnya pada sandaran jok mobilnya.
"Nanti, turunkan aku di rumah. Mobil kamu bawa saja Mas." Pintanya.
"Siap Mbak."
"Oh, Mbak Aleesha sudah bangun ?" Tanya Widya yang terbangun, saat menyadari terdengar obrolan di sekitarnya.
"Handphone saya dimana Wid ?"
Karena jadwalnya yang padat, sampai-sampai dia lupa membuka handphonenya.
"Ini Mbak, ada pesan dan beberapa panggilan dari Bunda yang belum Mbak jawab." Ucapnya sembari memberikan handphone milik atasannya itu.
"Oh, iya. Terimakasih."
Aleesha membaca satu persatu pesan yang masuk. Sudah hampir satu minggu, Ayah dan Bundanya ada di kota ini. Tapi belum bisa dia temani barang sehari saja untuk melepaskan rindu.
"Widya, apa besok aku ada acara ?"
"Eemmm, besok, sebentar Mbak."
Dia buka kembali jadwal yang sudah tersusun rapi pada memory book yang kemana-mana dia bawa.
"Untuk besok, kita free Mbak. Tapi lusa Mbak Aleesha ada pertemuan dengan Direktur Utama Startivi, untuk membicarakan kontrak." Lanjutnya.
'Direktu Utama Startivi, bukankah itu Asbram Purnama. Setelah sekian lama, bisa bertemu dan bertatap muka, inilah yang aku tunggu. Tapi ... ' Gumam Aleesha dalam hati.
"Apa, tidak bisa ditunda ?"
"Tidak bisa Mbak, kita menyesuaikan jadwal dari pihak Startivi. Karena CEO Startivi ingin bertemu langsung dengan kita." Jawab Widya yang sudah susah payah merangkum jadwalnya.
"Hhhmmmm."
Tidak ada komentar yang keluar lagi dari bibirnya.
"Apa Mbak Aleesha, ada acara lain ?"
"Tidak, tapi, aku ingin libur untuk beberapa hari di rumah menemani Ayah dan Bunda. Aku pikir, satu hari, rasanya belum cukup untuk menebus rasa rinduku pada mereka." Lirihnya.
"Apa perlu saya tanyakan lagi kepada asisten Pak Asbram untuk re-schedule. Tapi, takutnya akan mengurangi rasa percaya mereka." Kata Widya ragu.
"Tidak perlu, kita ikuti saja sesuai jadwal mereka."
***
Sesampainya di rumah.
"Kami pulang dulu ya Mbak ?" Pamitnya usai menurunkan Aleesha di rumahnya.
"Hati-hati di jalan ya Wid. Mas Ridwan titip Widya, untuk besok saya hubungi kalau saya perlu apa-apa."
"Siap Mbak."
Terlambat banyak waktu untuk makan malam bersama di rumah. Itulah kenapa Aleesha merasa bersalah. Selama Ayah dan Bundanya mengunjungi apartemennya, belum sekalipun dia bisa menikmati makan malam bersama.
Pintu kamar Bunda sudah tertutup rapat, saat Aleesha melewati nya menuju dapur.
"Baru pulang Nduk ?" Sapa Bunda, mungkin terbangun saat mendengar bunyi sendok dan gelas yang sedang beradu. Di tangannya ada secangkir teh panas, berharap bisa menghangatkan perutnya.
"Bunda belum tidur ?"
Diliriknya jam dinding, waktu menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat.
"Bunda juga belum lama baru pulang." Kata Bunda sembari meletakkan pantatnya di sofa.
"Dari mana Bun ?"
"Kami diundang makan malam ke rumah salah satu teman seangkatan kami."
Rasa kantuk yang tadi sempat menggelayuti, berganti dengan rasa penasaran di hati. Aleesha duduk di dekat Bunda, bersandar ingin bermanja.
"Oh ya, harusnya Icha yang mengantarkan Ayah dan Bunda tadi." Ucapnya sedih.
"Andai saja kamu bisa ikut, tapi...tidak apa-apa Nak, yang penting semua berjalan lancar."
Kata Bunda yang sedikit terdengar ada nada kecewa di dalam kalimatnya.
"Biarkan dia istirahat dulu Bun, besok masih banyak waktu untuk bicara." Kata Ayah menyela.
"Ada apa Bunda ?" Tersirat sebuah maksud tertentu pada kalimat yang ayah sampaikan. Rasa ingin tahu Aleesha semakin besar. Dia tatap wajah Bunda penuh tanda tanya.
Bunda tersenyum penuh arti, tangan lembut Beliau tak henti mengelus helai demi helai rambut Aleesha yang masih basah.
"Jangan sering berguyur di malam hari, tidak baik untuk kesehatan." Nasehat Beliau.
"Segar Bunda." Lirihnya.
"Kamu sudah makan ?"
"Sudah Bun. Ada apa Bunda ?" Dia ulang kembali pertanyaan yang tadi belum terjawab.
"Heiisstt...sudah, sudah, besok lagi ngobrolnya." Cegah Ayah lagi.
"Gakpapa Ayah, Icha belum ngantuk." Jawabnya berbohong.
Ayah ikut bergabung diantara mereka berdua.
"Ada hal yang akan Ayah sampaikan Nak." Kata Bunda.
Aleesha kembali duduk dengan benar, terbangun dari rasa nyaman saat bersandar.
"Icha, Ayah sendiri bingung mau mulai bicara dari mana." Kata Beliau mengawali pembicaraan.
"Tapi ini amanah yang harus kami sampaikan." Lanjut Beliau.
Aleesha masih terdiam, rasa hormat membuat dia sabar menunggu, petuah apa yang akan Ayah sampaikan.
"Icha , kedatangan Ayah dan Bunda ke kota ini dan menghadiri reuni akbar angkataan 70an, menemukan banyak hal di masa lalu yang tidak pernah kami tahu."
Bunda hanya diam terpaku memandangi wajah cantik Aleesha.
"Terus terang, Ayah ragu menyampaikan ini sama kamu. Tapi, kamu harus tahu dan bagaimana hasilnya nanti, kamu sendiri yang berhak memutuskan."
Kalimat yang Ayah ucapnya serasa mengena di hati Aleesha. Pada intinya, harus ada sebuah keputusan yang mereka harapkan.
'Entah kenapa, sampai disini, aku masih belum bisa menebak, kemana arah pembicaraan ayah sebenarnya.' kata hati Aleesha.
"Nak, jauh sebelum kamu di lahirkan, Ayah dan ibu kandungmu juga kami, menjalin persahabatan dengan seseorang yang bernama Hendra dan Rosmalina." Kata Ayah mulai bercerita.
"Namun, kami terpisah oleh jarak dan sempat lost kontak, disaat bisnis mereka mulai berkembang dan semakin maju ke kota lain." Cerita Beliau lagi.
"Sampai akhirnya, seorang teman seangkatan mempertemukan kami kembali dan tergabung di dalam group WhatsApp. Disaat itulah kami mulai saling menyapa hingga puncaknya pertemuan malam ini."
Masih belum jelas, apa inti pembicaraan yang akan Ayah sampaikan.
"Nak, apa yang Ayah bicarakan usai makan malam tadi, merupakan sebuah jawaban atas amanah yang pernah ibumu ucapkan dulu."
*Flashback On
Oeekk...ooeekk... ooeekk...
Suara tangis bayi terdengar pilu menyayat hati di tengah derasnya hujan.
"Linda, kamu harus kuat Lin, bertahan demi anakmu Linda." Isak tangis Bunda Aida tak tertahan.
Berbaring di hadapan Beliau, seorang ibu yang berjuang melewati masa kritis akibat dari sebuah kecelakaan yang menimpa dia dan suaminya. Deni, Ayah Aleesha meninggal saat dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan Linda, Ibunda Aleesha masih sempat dirawat setelah beberapa hari tak sadarkan diri.
Hanya Aleesha kecil yang selamat dari kecelakaan maut itu. Tubuh mungilnya terlindungi dari hempasan dahsyat di dalam dekapan sang ibu.
"Mas Deni..." Rintihnya lirih hampir tak terdengar.
"Dokter, dokter, pasien sudah sadar Dok." Teriak Ayah saat melihat Ibu Linda menggerakkan jarinya dan membuka mulutnya, menyebut nama suaminya.
"Bapak dan Ibu tolong keluar sebentar, biar kami melakukan pemeriksaan."
Ayah dan Ibu mengikuti apa yang Dokter sarankan.
Di pangkuan Beliau ada Aleesha kecil yang terus menangis. Entah rasa sakit akibat luka yang dia rasakan ataukah perasaan takut akan kehilangan yang dia tangisi.
"Bapak, Ibu, silahkan masuk. Pasien ingin bicara dengan anda." Kata Dokter beberapa saat usai memeriksa kondisi Ibu Linda.
"Lin, Linda." Ucap Bunda terbata.
"Aida, tolong jaga Aleesha untukku." Ucapnya mengawali.
Bunda memegang erat tangan Ibu Linda, bibirnya keluh tak mampu bicara. Hanya linangan air mata yang mewakili kesanggupannya menjawab permintaan Ibu Linda.
"Mungkin, Allah akan segera mempertemukan ku kembali dengan Mas Deni." Ucapnya ngelantur.
"Jangan bicara sembarangan, doakan suamimu agar bahagia di alam sana. Kamu harus kuat, kita besarkan Aleesha bersama." Pinta Bunda.
"Rawat Aleesha, anggap dia seperti anakmu sendiri. Kelak, jika dia sudah dewasa, pertemukan dia dengan Rose dan Hendra."
Sejak kalimat terakhir Ibu Linda ucapkan, saat itulah Beliau menghembuskan nafas terakhir. Sehingga belum jelas benar, apa arti permintaan terakhirnya.
*Flashback Off
"Karena kesibukan kami, sehingga kami lupa dengan pesan Almarhumah. Dan baru malam ini kami tahu bahwa, ada janji yang kedua orangtuamu jalin dengan Rose dan Hendra di masa hidupnya."
Cerita Ayah mulai terhenti.
"Janji apa Ayah ?" Lirihnya, mencoba mendesak.
Dalam diam Ayah berfikir, 'Haruskah ini terjadi ? Apakah ini adil untuk Aleesha ?'
Next On ----------------->
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments