“Buku apa yang lagi kamu baca itu?”
Aku tersentak kaget dan langsung menjerit. Tubuhku sampai terempas dan terjerembab jatuh dari kursi. Pantatku langsung membentur lantai dan aku pun mengaduh. Kemudian desis yang bersamaan langsung terdengar menggema.
Termasuk dari pemuda berkacamata yang berdiri di hadapanku. Dia meletakkan telunjuk di depan bibir. “Ini di perpustakaan! Jangan berisik kalau tidak mau diusir sama pustakawati!”
Aku tidak menutup mulut. Aku terlalu heran dan bingung dengan apa yang terjadi. Kepalaku menoleh ke berbagai arah dengan liar, mendapat balasan tatapan sinis dan heran dari beberapa orang. Untungnya tatapan itu tida berlangsung lama. Mereka langsung mengurusi urusan masing-masing. Meninggalkanku dan rasa maluku sendirian di lantai.
“Kamu nggak apa-apa? Tadi kayaknya kamu kebanting keras banget ke lantai.” Di depanku, seorang pemuda berkacamata membungkukkan badan dan mengulurkan tangan.
Pemuda yang sama yang ada dalam kenanganku. Pemuda yang … entah kenapa aku cari-cari. Tapi alih-alih memerhatikannya, aku justru melihat tangan sendiri. Tanganku lagi. Lalu aku mengenakan jaket yang sama seperti yang terakhir aku gunakan, berikut pula kaus yang familiar bermotif tulisan sebuah band. Ini benar-benar tubuhku.
Aku kembali ke tubuhku lagi.
Tapi aku yang masih tidak percaya pun masih juga mengedarkan pandang ke seluruh arah. “Ini … beneran di perpustakaan?”
“Ya … kamu kenapa?” Pemuda itu balik bertanya.
Aku seketika memeluk diri sendiri. “Mimpi. Tadi itu mimpi, kan? Ya, kan?” Tanpa sadar air mataku sekali lagi mengalir saat aku terisak. Dari sudut mata, aku melihat pemud aitu berlutut di depanku. Dan tak pelak, tangisanku semakin parah. “Aku nggak kuat! Aku mau pulang! Tolong antar aku pulang! Aku … aku nggak mau mimpi buruk kayak gitu lagi….”
“Tenang, kamu pasti bisa melaluinya.” Sebuah elusan terasa di atas kepalaku. Tapi alih-alih tenang, aku justru kaget dan menghindari dari sentuhan itu. Tepat di depanku, pemuda berkacamata itu tersenyum sedih. “Kamu pasti bisa bertahan.”
Aku terperangah kaget saat mata dari sang pemuda berubah warna menjadi kuning keemasan. Bukan coklat atau hitam selazimnya mata orang Asia. Rambutnya yang hitam pun melambai seakan ditiup angin, padahal itu di dalam ruangan.
Kemudian dengan suara lembut, ia mengatakan tepat ke depan wajahku: “Sudah saatnya bangun.”
***
Aku terbangun di tengah kegelapan.
Tidak perlu aku jelaskan betapa semangatnya aku ketika sadar, aku sama sekali tidak berpindah tempat. Masih di kamar terkutuk yang sama, di tubuh yang samal lemahnya. Bedanya, kali ini sekujur tubuhku rasanya remuk redam. Perih melanda tangan dan kaki saat aku mencoba menggerakkan mereka.
“Sial.” Aku memaki, lalu menangis lagi.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu yang aku habiskan untuk menangis, tertidur, lalu kembali menangis. Berkat usaha sia-sia itu, sepertinya mataku bengkak. Tapi bengkak mata adalah hal paling ringan yang bisa aku keluhkan sekarang. Aku mencoba mengucek mata, mengira kamar ini gelap karena mataku bengkak, tapi rupanya tidak. Memang tidak ada lagi banyak cahaya tersisa di dalam ruangan gelap nan pengap itu.
Menoleh ke arah jendela yang tadi, aku pun sadar, tidak ada lagi petak cahaya yang masuk. Yang ada hanyalah langit gelap dengan bintang gemintang yang samar-samar terlihat.
Sudah malam.
Jari jemariku menyentuh pergelangan tangan, daerah yang terasa paling perih. Dan aku langsung meringis. Sepertinya ada luka yang terbuka di sana, basah dan terasa berair. Nanah ataukah darah?
Kalau tidak segera diobati bisa-bisa….
Aku bergidik ngeri. Penyiksaku masih ada di luar sana, bebas, tidak sepertiku yang terkurung di sini. Jika aku tidak punya kaki untuk berlari atau tangan untuk melepaskan diri, aku akan benar-benar dalam kesulitan. Mungkin … akan lebih parah dari ini.
Mendadak saja mati tidak terasa begitu mudah lagi.
“Kamu pasti bisa bertahan.”
Suara pemuda itu kembali datang. Pemuda berambut hitam yang anehnya tidak bisa aku ingat namanya. Namun wajah dan figurnya sejelas mentari pagi. Segar dalam ingatan dan tidak lekang layaknya mimpi. Dan aku juga masih ingat betapa warna mata pemuda itu berubah di detik terakhir.
Apa maksudnya itu? Dan kenapa aku tetap tidak bisa mengingat namanya walau memperlakukannya dengan baik di dalam mimpi? Apa yang aku temui itu memang pemuda dari kenanganku ataukah sesuatu yang lain?
Kemungkinan kedua terasa masuk akal sekarang, setelah aku melihat betapa mudahnya mata pemuda itu berganti warna.
Apa pun dia, setidaknya ia benar untuk satu hal: aku harus kuat.
Karena aku harus pulang. Aku tidak bisa selamanya terjebak di tempat aneh dan menyakitkan ini. Aku harus pulang kembali ke Jakarta. Entah bagaimana caranya.
Sebuah tekad membara dalam dadaku. Mengisi kekosongan yang tidak aku sadari sudah begitu besar mengisi dada. Sekarang aku punya tujuan. Dan aku akan mencoba mencapai tujuan itu.
Dengan cara apa pun.
***
Di pinggir tempat tidur, aku terus melatih napas. Tarik dan buang, begitu berkali-kali dalam tempo yang lambat dan panjang. Masuk lewat hidung dan dikeluarkan lewat mulut. Seperti metode meditasi normal yang pernah diajarkan instruktur yoga di kantorku.
Kegelapan terasa semakin pekat. Keringat dingin mengucur membasahi leher setiap kali aku teringat pada kegelapan, pada bayangan yang tadi sempat mengikat seluruh tubuhku.
Kekuatan itu mustahil digunakan di duniaku dulu. Duniaku adalah tempat teknologi berada, tempat manusia berusaha dengan fisik dan intelegensi, bukan kemampuan aneh seperti itu.
Tapi siapa yang sedang aku bohongi? Aku datang sebagai Arcantrina, keluarga yang seharusnya hanya ada dalam sebuah novel: Transcient Dream.
“Ah, benar….”
Mengenai novel itu, aku ingat sesuatu soal Arcantrina. Sesuatu yang baru aku ingat sekarang setelah bebas dari rasa sakit.
Di novel Transcient Dream, keluarga Arcantrina adalah keluarga kuno penghasil Enchantress di kekaisaran Laumaji, satu dari sedikit kekaisaran yang besar di sebuah benua yang telah musnah bernama Soleil.
“Soleil….” Aku menggumam, mengingat penjelasan soal Soleil adalah benua mati tempat tinggal Arcantrina yang pendendam. Mereka banyak menghasilkan keturunan di sana, entah lewat jalur alami atau jalur buatan lewat alkemi. Tapi yang mana pun pilihan mereka, selalu dilakukan dengan cara yang mengerikan dan metode yang tidak manusiawi.
Tapi kalau ini bukan di Soleil lantas ini di mana? Dan bangunan ini jelas-jelas adalah puri. Padahal di novel, keluarga Arcantrina adalah keluarga pengembara. Benua Soleil sendiri adalah benua mati tempat tidak ada tumbuhan bisa hidup di sana. Tapi kalau begitu, bagaimana bunga-bunga ada di taman?
Aku harus mengumpulkan lebih banyak info lagi.
Dengan segenap tenaga yang berkumpul, aku bangkit berdiri. Langkahku masih limbung dan lemah seperti sebelumnya, tapi setidaknya aku sudah bisa berjalan tanpa berpegangan pada apa pun. Aku bisa berdiri.
Kemudian, aku berjalan ke arah pintu. Tanganku menyentuh gagang besinya yang dingin, sebelum tiba-tiba ingat dan jadi lesu.
“Ah, benar juga. Tadi pintu ini dikunci,” ujarku lemah, lalu aku menghela napas dan berbalik. “Sebaiknya aku—eh!”
Tanpa sadar, rok dari gaun tidurku menyangkut di pintu dan tidak sengaja, menarik salah satu daun pintu sampai sedikit terbuka.
Aku membelalak kaget. “Pintunya … tidak dikunci?”
***
Lorong yang membentang di balik pintu itu gelap tanpa ada penerangan satu pun. Tidak ada seorang pun juga. Hanya -cahaya bulan yang menyelinap masuk dari jendela-jendela kaca di ujung lorong yang menjadi sumber cahaya dan kesunyian yang jadi teman cerita.
Selama beberapa saat, aku terdiam di pinggir lrorong, mencoba membiasakan mata dengan kegelapan yang mengurung.
Tidak ada orang. Ini kesempatan!
Ketika mataku sudah terbiasa dan sudah bisa melihat sedikit dalam gelap, aku mulai meraba-raba dinding sebagai pegangan. Dengan satu tangan sebagai penyangga dan tangan yang lain berjaga-jaga menggenggam pecahan kaca yang tadi aku pungut dari kamar—bekas gelas yang aku pecahkan sedari siang.
Namun baru saja tiga langkah aku berjalan, cahaya remang-remang datang dari arah belakang.
Apakah itu laki-laki yang tadi? Aku terpergok?!
Jantungku berdegup kencang. Ketakutan segera melandaku. Setetes keringat menetes di pipi. Padahal tadi suhu tubuhku biasa-biasa saja, tapi sekarang jadi terasa panas sekali. Pecahan kaca di tanganku terasa dingin.
“Nona Madeleine?”
Aku langsung berputar dengan liar dan mengacungkan pecahan kaca itu. Tepat ke arah seseorang dengan seragam hitam yang berdiri tepag di belakangku. Wajahnya sama-sama kaget: matanya membelalak mulutnya menganga. Tapi tidak ada suara yang keluar dari sana. Sosok itu sudah lebih dulu menutup mulutnya dengan tangan sendiri.
Di bawah cahaya redup yang rupanya berasal dari lilin yang ia bawa, tahulah aku bahwa sosok itu adalah perempuan dengan rambut dicepol dan wajah agak pucat. Seorang pelayan lengkap dengan seragam maid: seragam yang biasanya hanya aku lihat di novel dan film.
Benar-benar seperti gambaran maid di dalam novel dan film.
“Mau apa kau?” Aku yang sadar tidak juga menurunkan pecahan kaca di tangan, langsung bertanya dengan nada tajam kepada perempuan itu.
Di bawah cahaya, remang rambut brunette sang perempuan tampak agak berpendar. “Sa-saya hanya ingin—Nona sendiri, apa yang Nona lakukan di sini? Di luar sini berbahaya! Nona tidak seharusnya keluar kamar!”
“Kata siapa aku tidak boleh keluar kamar?” Meski suaraku parau, aku berhasil mengeluarkan satu kalimat utuh, lengkap dengan arogansi yang mengiringi. “Kau cuma pelayan, kalau kau berani menyuruhku….”
“Silakan hukum saya nanti, tapi sebelum itu, saya mau bertanya satu hal, Nona,” Pelayan itu bersikeras. “Nona sudah melangkah berapa langkah dari kamar?”
Aku tidak perlu mengingatnya. Jumlahnya masih terlukis jelas di benakku, tapi apa yang istimewa dari jumlah langkah itu sampai pelayan ini?
“Nona Madeleine.”
Nama itu lagi. Aku tidak kenal nama itu. Tapi seperti sebelumnya, tubuhku bergerak sendiri. Menoleh ketika nama itu disebut. Seperti sebuah reaksi tubuh alami.
Apa itu nama … dari pemilik tubuh ini yang sebenarnya?
Madeleine?
“Nona Madeleine, mohon dengarkan saya lebih dulu. Nona harus segera kembali ke kamar. Mari saya antarkan dan akan saya jelaskan di sana.” Aku masih belum menurunkan serpihan kaca itu, tapi pelayan di depanku langsung angkat tangan menyerah.
Aku menggeleng kuat. “Tidak mau,” ujarku, lalu memutar otak sekali lagi, mencoba untuk tidak terdengar mencurigakan, gila, atau aneh. “Aku tidak tahu kepada siapa kau setia.”
Pelayan itu agaknya tidak menyerah. Jika ia memang jahat atau bermaksud buruk, ia cukup menyembunyikan maksudnya dengan gigih dan baik. Sampai ke level yang sangat meyakinkan sekarang.
“Nona, saya berjanji, saya tidak akan melakukan apa pun pada nona atau kepada siapa pun. Hanya saja … saya meminta tolong sekarang, dengan teramat sangat….” Pelayan itu menundukkan kepala. “Mohon masuk kembali ke kamar. Sebelum kita berdua mati mengenaskan di lorong ini karena jebakan Tuan Muda Helion.”
Telingaku berjingkat. “Jebakan?”
Pelayan itu mengangguk. “Tidak boleh keluar kamar lebih dari tiga langkah atau jebakannya akan aktif. Saya dengar jebakan itu dipasang di setiap kamar dan akan aktif jika penghuni kamar itu sudah masuk kamar pertama kali.” Ia melirik ke arah pintu yang tertutup. “Termasuk kamar Nona.”
APA?!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
IG: @sskyrach
aku emang ga terlalu suka POV 1 tapi setelah melihat ini aku suka
2022-10-12
1
Andhea
Hmm siapakah sosok asing di perpustakaan itu?
2022-10-03
1