Libur panjang musim panas telah berakhir. Gerbang-gerbang sekolah kembali dibuka setelah sekian lama tak berpenghuni. Semester genap dimulai pada pekan ini. Theo sedikit malas pergi bekerja. Kurang rela waktu santainya di rumah habis begitu saja. Kebersamaan dengan istri dan anaknya terasa lebih cepat dari bayangannya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Kenapa waktu tidak berjalan lambat saja agar ia bisa lebih lama berkumpul bersama keluarga kecilnya?
Dia berjalan memasuki kamar, menuju putranya yang bermain sendiri di atas ranjang—sembari membawa botol susu di tangan. Sejenak, ia berhenti, mengamati anak laki-laki yang bagai replika dirinya dengan senyuman. Cukup lama ia terhanyut dalam lamunan, hingga tiba-tiba ia tersadar begitu mendengar seruan Archie yang memanggilnya. Tangan mungil itu melambai, seolah berkata; aku haus, Ayah. Ia tertawa sendiri membayangkannya.
“Archie, sebelum Ayah memberikan botol susu ini padamu, bolehkah Ayah mendengarmu memanggilku ‘Ayah’?”
Theo menguji putranya. Sesungguhnya belum ada perkembangan, bahkan setelah mengikuti terapi wicara selama beberapa pekan, Archie masih sama. Pun setiap ada luang, ia tak bosan melatih putranya untuk berbicara. Dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengenalkan Archie pada huruf-huruf vokal maupun konsonan. Namun segalanya memang tidak mudah dan butuh perjuangan.
“Archie, perhatikan Ayah, oke?” Theo meminta perhatian putranya yang hanya menatap bingung padanya. “Sekarang, katakan A-yah. Aaa-yah.” Dia mengulang dan mengajari Archie pelan-pelan, bahkan hingga bibirnya terbuka pun tetap tidak ada perubahan.
Archie justru memandangnya kebingungan. Theo yang sudah mengerti akan seperti apa reaksinya, hanya mampu mengulas senyum maklumnya. Tangannya lantas mengusap kepala Archie dengan penuh rasa sayang.
“Archie, tidak apa-apa jika sekarang kau belum bisa melakukannya. Nanti kau akan belajar lebih banyak lagi dengan Ayah. Tenang, waktu kita masih panjang.”
Tuhan, berikanlah keajaibanMu pada anakku.
Theo cukup menyadari kondisi Archie yang demikian memang membuatnya sulit berkonsentrasi, lamban dalam menerima informasi atau bahkan mempelajari hal-hal baru yang belum dia mengerti. Realitasnya, apabila aliran sinyal saraf dari otak ke seluruh tubuh terganggu, maka tidak menutup kemungkinan terjadi keterlambatan untuk sekadar memroses sesuatu.
Dari sumber yang berkaitan, dispraksia tak dapat disembuhkan. Seseorang akan mengalami kondisi seperti itu seumur hidup. Hatinya seketika berselimut kabut, ia terluka mengetahui fakta tersebut. Kendati ia pernah berkonsultasi pada dokter spesialis tumbuh kembang anak dan diberitahu bahwasanya Archie akan menjadi lebih baik bila rutin melakukan terapi, namun mengingat fakta anaknya tak bisa sembuh membuat pikirannya keruh.
Theo berharap Archie memiliki kesempatan untuk tumbuh seperti anak normal lainnya. Ia tak sanggup membayangkan bila ini terjadi selamanya. Ketakutan itu sama besarnya dengan harapannya. Memeluk putranya, Theo membisiki kalimat-kalimat terbaik untuk menenangkan hatinya. Dan untuk kesekian kali, ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Air matanya runtuh. Hatinya sungguh terenyuh.
Lantas tangisnya berubah tawa kala menyadari Archie yang menggeliat dalam peluknya. Anak itu tak ubahnya belut yang tertangkap tangan. Pada akhirnya dia menyerah, tak tega melihat wajah Archie yang merebak merah. Segera ia mengangsurkan botol pada putranya yang kehausan. Jemarinya menyibak poni yang menutupi dahi, memerhatikan Archie yang meminum susu seperti bayi.
Dari ambang pintu kamar mandi, Esther keluar mengenakan bathrobe navy. Aromanya yang mewangi mengalihkan atensi sang suami. Melirik sekilas dua lelaki yang saling berinteraksi, Esther mencoba tak peduli. Belakangan ia lebih pendiam, terutama bila dengan Theo ia berhadapan. Tak ada perintah untuk berlaku demikian, tubuhnya bergerak begitu saja secara spontan. Bahkan saat pria itu menegur, ia selalu mencoba untuk kabur.
Seperti sekarang, saat sosok itu memanggilnya, “Sayang, ayo kita bicara.” Barangkali pria itu telah menyadari sikap anehnya akhir-akhir ini.
Sebagaimana sosoknya yang kini membimbingnya menuju sofa yang berada di bawah jendela. Duduk berdampingan dengan cahaya keemasan yang menerpa, sesekali mata obsidian itu mencuri pandang anak mereka yang berguling-guling di ranjang sembari menjaga botol susu di tangan. Archie tampak tak peduli atas kepergian ayahnya. Anak laki-laki itu seolah telah tenggelam dalam dunianya.
“Esther.”
Pandangan itu merendah, mengamati tangan yang menggenggam hangat. Namun saat kepalanya terangkat dan menemukan manik gelap yang memandang lekat, seketika ia tersentak. Sorot itu selalu mengingatkan ia pada kenangan menyayat ketika tanpa sengaja ia melihat suaminya bergandengan tangan dengan seorang wanita yang tampak begitu akrab. Bayangan itu muncul seperti film yang terus berputar-putar di benak.
“Aku ... mungkin siang nanti aku tak bisa menjemput Archie.” Nada bicaranya terdengar hati-hati, Theo menatap tak enak pada sang istri. “Aku minta maaf, Sayang. Seharusnya aku bisa meluangkan waktu, tapi sejak memasuki semester genap, tugasku semakin banyak.”
Esther tak menjawab. Dadanya terasa sesak mendengar Theo yang lagi-lagi berdalih tak bisa menjemput putra mereka lantaran kegiatan sekolah. Entah pria itu berkata jujur atau dusta, yang ia tahu kini hatinya perih luar biasa. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang perselingkuhan suaminya. Sebuah ketakutan yang menyerang berkala, hingga seolah ia mampu melihat pria itu meninggalkannya.
Esther bahkan mengingat mimpinya. Mimpi buruk yang datang sebelum ia memergoki suaminya bercengkrama dengan wanita, sebelum ia melihat keakraban yang terjalin mesra di antara keduanya. Mimpi yang terasa nyata ketika Theo melepas tangannya, berjalan menjauh tanpa menatapnya, membawa pergi putra mereka, meninggalkannya sendirian dengan perasaan bimbang, dan ucapan selamat tinggal.
“Sayang?”
Mengerjap, keterkejutan samar terlukis di parasnya. Esther kesulitan mengontrol detak jantung yang terasa menyakitinya.
“Kau baik-baik saja? Apa kau baik-baik saja?” Tersirat kekhawatiran dalam suara beratnya. Theo tampak kebingungan menangkap gelagat aneh istrinya.
Esther menggeleng dan mencoba tersenyum meski itu melukainya. “Tidak,” lirihnya. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir, biar aku yang menjemput Archie. Fokus saja dengan pekerjaanmu. Maaf, telah merepotkanmu akhir-akhir ini.”
Dia lekas berdiri dan berniat menghampiri putranya yang harus segera mandi. Namun, sebuah tangan menahan pergerakannya hingga ia terkesiap dan langsung terhenti. Sepanjang hidup bersama, baru kali ini ia merasa risi disentuh oleh suaminya sendiri. Teringat tangan itu pernah menggenggam tangan wanita lain membuatnya refleks menghempas tautan itu dengan gemetar.
Theo tercenung mendapat perlakuan asing istrinya. Esther tak pernah mengabaikan, bahkan menolaknya. Esther tak pernah bersikap sedingin itu terhadapnya. Esther tak pernah melupakan panggilan sayangnya ketika mereka berbicara. Esther yang ada di hadapannya adalah istri yang sedang marah karena kesibukannya. Mungkin ia telah melampaui batas hingga membuat wanita itu kesal dan cenderung tak menghiraukannya. Kini ia mengaku dirinya bersalah.
“Sayang, aku minta maaf,” sesalnya, merengkuh wanita itu dari belakang tubuhnya.
-:-
Di tengah padatnya aktivitas mengelola rumah makan sang ayah, Esther juga harus menjemput Archie di sekolah. Terkadang ia menyesali keputusannya. Semenjak menuruti egonya, tugas sebagai ibu sering kali terbengkalai, hingga terpaksa ia melibatkan sang suami mengurus putra mereka. Meski pria itu tak mengatakan keberatannya, tapi ia tahu, Theo terbebani sebab kegiatan mengajarnya jadi terganggu.
Siang itu harusnya ia membawa Archie pulang ke rumah, namun karena sang ayah sendirian menjaga restoran dan cuaca tak lagi cerah, ia memutuskan untuk tinggal sementara sembari menunggu hujan mereda. Dia mengucap syukur dalam hati sebab tak nekad pulang di saat cuaca buruk seperti ini. Jika tidak, barangkali ia akan basah kuyup di perjalanan dan fatalnya Archie akan langsung terkena demam.
Menghela napas panjang. Paru-parunya terasa berat lantaran hidung yang tersumbat. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali duduk di salah satu kursi pelanggan. Rumah makan tidak begitu ramai setelah langit meruntuhkan hujan. Archie terlelap di pangkuan dengan nyaman. Sedangkan ayahnya berdiri di seberang sembari membaca sebuah tajuk berita di koran. Pria yang hampir mendekati kepala lima itu sesekali meliriknya yang tampak kedinginan.
Sosok ayah yang dia kenal selama ini adalah orang yang jarang bicara. Jika bukan hal penting, beliau memilih tak bersuara. Esther tahu betul karakter sang ayah sebab mereka hanya tinggal berdua. Namun kali ini ia melihat gestur berbeda dari ayahnya. Pria yang nyaris awet muda di usia pertengahan abad itu seolah memberi isyarat bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang krusial padanya.
Meski lebih sering bersikap pasif, namun ia bisa membaca kekhawatiran di wajah ayahnya saat tahu-tahu sosoknya sudah duduk di hadapan dengan secangkir teh jahe yang langsung diberikan padanya.
“Minumlah, kau terlihat kedinginan.”
Sedingin apa pun sosoknya, ayah tetaplah seorang ayah yang menyayangi putrinya. Esther merasa hangat dan lega di waktu yang sama.
“Terima kasih, Ayah.”
Tersenyum sebentar dan kemudian rautnya kembali datar. Auranya seketika berubah sedingin temperatur di luar. Ayahnya memanglah orang yang irit ekspresi dan Esther telah memahami.
“Esther Jo.”
“Ya, Ayah.”
Esther memandang ayahnya yang tampak berpaling arah. Mata tajam itu melembut walau hanya sesaat.
“Beberapa hari ini kau sering menjemputnya. Apa kau baik-baik saja dengan itu?” Lidahnya tak selaras dengan kata hati yang ingin bertanya, apa kau baik-baik saja dengan kehidupanmu?—pada putrinya. Namun ia enggan. Hal mudah tapi terasa berat baginya.
“Aku baik-baik saja, Ayah.” Esther ingin sekali mengusap leher belakangnya. Pertanyaan ayahnya terlalu mengada, bukankah wajar seorang ibu menjemput anaknya?
Berdeham, pria berkemeja garis-garis vertikal itu memalingkan pandang ke arahnya. “Apa kau diperlakukan dengan baik?”
“Eh?”
Terpana, Esther tidak tahu mengapa ayah tiba-tiba menginterogasinya, namun karenanya pula ingatan tentang suaminya yang diam-diam menemui wanita lain kontan memicu debaran keras di dadanya. Theo memang sangat baik di depannya, tapi ia sangsi terhadap kelakuan pria itu di belakangnya. Apa mungkin ayahnya tahu hal yang tidak ia ketahui?
“Um, i-iya, Theo baik padaku, dan kami baik-baik saja. Ayah, jangan mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Theo hanya sibuk di sekolah. Dan kami—”
“Aku tidak bertanya tentang hubunganmu dengannya.”
“Oh.” Sekali lagi, Esther terpana. "Ma-maksud Ayah bagaimana?" Terkadang ia tidak bisa memahami permainan kata ayahnya.
Pria beralis tebal itu menarik tipis sudut bibirnya. “Apa mereka bersikap baik padamu?” Sorotnya yang tegas mengunci iris coklat di hadapannya. Wajah yang lamat-lamat berubah pias itu menatap segan terlebih setelah ia melanjutkan, “Orang tua suamimu dan wanita tua itu, apa mereka bersikap baik padamu?”
“Ayah, a-apa maksud Ayah? Kenapa tiba-tiba ...?” Menggigit bibirnya dengan perasaan gugup. Ditanyai seperti itu sungguh Esther merasa tak sanggup. "Mereka baik, mereka sangat baik padaku," sambungnya menunduk. Esther mendadak takut karena sudah berkata tidak jujur dan membuat ayahnya semakin curiga dengan kening berkerut.
Menghela napas, Marc merasa sedih sekaligus marah melihat respons putrinya yang seolah tertekan. Sejak awal ia sudah menduga ada yang tidak beres dengan pernikahan putrinya dan putra kedua keluarga Park. Pikirnya, Esther akan menjalani kehidupan yang bahagia bersama pria yang dicintainya, namun ternyata tidak demikian, ada banyak hal yang terasa janggal. Terutama hubungan putrinya dengan keluarga chaebol itu yang mungkin tidak baik-baik saja.
“Ibumu meninggal karena depresi.”
Kedua alisnya terangkat, Esther memandang ayahnya dengan sorot tidak paham. Kematian ibunya tentu saja tidak berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya.
Kendati pandangannya lurus ke depan, namun matanya menerawang ke masa silam. “Kakekmu menentang hubungan kami, dan ia memperlakukan ibumu dengan buruk. Sangat buruk.”
Mata itu berembun. Esther tersentuh menyaksikan kesedihan yang terpancar di wajah ayahnya. Ia menyesal karena tak pernah mengingat bagaimana rupa ibunya. Wanita itu telah tiada bahkan sebelum ia bisa merekam wajahnya. Esther tak bisa merindukan ibu meski ia sangat menginginkan sosok itu ada di sini untuk mendampinginya.
“Seandainya aku tahu itu akan terjadi, aku lebih memilih untuk tak mengenalnya sama sekali.” Marcus Jo menelusuri inci wajah putrinya yang merefleksikan sang istri. Berharap gadis kecil itu merenungi. Matanya terpejam, lalu kembali terbebas serupa kepakan sayap elang di langit kelam. “Tapi aku mencintai ibumu, aku sangat mencintainya melebihi apa pun di dunia,” tegasnya seolah mendeklarasikan seluruh perasaannya.
“Kurasa ... suamimu juga sedang melakukan hal yang sama. Dia mencintaimu seperti aku mencintai ibumu. Dia rela meninggalkan keluarganya demi bersamamu. Dan saat aku melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu.”
Wajah Esther berubah sendu. Kaca-kaca bening melapisi mata. Kisah orang tuanya memanglah berakhir tragis. Sebagaimana Kakek yang tak merestui hubungan keduanya hingga mengusir ayah serta mencoretnya dari ahli waris keluarga. Ayah telah memutuskan untuk bersama ibu, maka ayah pun tak menghiraukan ancaman kakek terhadapnya.
Bagi Esther, ayah adalah pejuang tangguh yang tak pernah mengenal rasa takut. Ayah bersedia melepaskan hidupnya yang serba mewah dan terarah hanya demi ibu. Dan mungkin benar, perkataan ayahnya mengenai Theo yang rela meninggalkan kemewahan demi dia. Tapi Esther meragu, apa benar pria itu bisa mencintainya sedalam cinta ayah terhadap ibu?
“Kau adalah putriku yang sangat berharga.”
“Ayah.” Mata Esther bergetar. Kata-kata ayahnya yang rumit tapi penuh makna itu kini telah dipahaminya.
“Ingatlah, Esther, jika ada salah satu dari mereka yang berani melukaimu, maka pulanglah padaku.”
Jangan seperti ibumu, cukup ibumu yang pergi meninggalkanku, tidak denganmu, Gadis kecilku.
Esther mengangguk. Tak memberi batasan seberapa banyak air matanya akan mengalir. Saat ia menerima kehangatan yang luar biasa dari ayahnya, ia tak memerlukan hal lain lagi di dunia. Ini kali pertama ayah menyampaikan kata-kata romantis padanya. Dan ia menerima undangan kasih sayang itu dengan tangan terbuka.
@#$%&
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments