Kenapa Rose?
Otakku otomatis menyambungkan nama itu dengan film Titanic. Kisah cinta dua insan yang berakhir dengan dramatis, kisah cinta antara Jack dan Rose. Tapi kisah cinta mereka abadi, tak akan pernah lekang oleh waktu. Tentu saja aku tahu bagaimana hits-nya film itu. Tetapi kenapa Jack ingin memanggilku Rose? Apakah karena aku secantik Rose? Atau karena aku selamat dari laut? Atau... karena namanya Jack? Jack dan Rose? Apa dia...?
Ah, terlalu dini -- bahkan terlalu percaya diri jika aku menganggap hal ini tentang rasa. Aku bahkan baru bertemu pria itu kurang dari tiga puluh menit yang lalu.
"Oke, saya suka nama itu. Tapi... kalau saya boleh tahu, kenapa?" tanyaku. "Maksud saya... mungkin ada alasannya?"
Jack tersenyum, dan aku mulai menyadari bahwa dia memiliki tipe senyuman yang memikat. "Karena namaku Jack. Dan aku menyelamatkanmu yang terdampar di pinggir laut."
Aku mengangguk. "Well, Titanic? Tapi kan kapalku tidak karam. Aku sengaja melompat ke laut."
"Tapi kamu secantik Rose, si bintang film itu, ya kan?"
"Oh, terima kasih atas pujiannya. Sungguh, aku tersanjung."
"Bukan, aku tidak memuji. Itu faktanya. Kamu memang cantik."
Oalaaah... aku tersenyum. Bukan hanya pada pujiannya, tapi juga pada cara bicaranya yang mendadak menggunakan kata aku-kamu. Terdengar lebih akrab. Aku pun kembali mengangguk dan berterimakasih. Sungguh aku tahu kalau aku cantik. Hanya saja, sayangnya kecantikan itu tak lantas membuatku menjadi seorang gadis yang beruntung.
"Sudahlah, kamu tidak perlu berterimakasih terus. Santai saja."
Lalu hening lagi. Nampaknya kami berdua sama-sama bukan tipe orang yang pandai bercengkerama dengan orang asing.
"Emm... mungkin kamu butuh istirahat. Sebaiknya saya menunggu di luar saja."
Eh? Kok?
Tapi, meski tidak enak hati membiarkannya keluar dari ruang rawatku, aku juga merasa tidak enak untuk menahannya, mungkin dia akan lebih nyaman jika menunggu di luar, pikirku. Aku mengangguk. Namun lagi-lagi takdir berkata lain. Sudah saatnya jam makan siang, seorang petugas rumah sakit mengetuk pintu ruang rawatku, kemudian ia masuk dengan membawa nampan makanan untukku. "Ini makan siangnya, ya, Nona. Jangan lupa obatnya diminum. Permisi...."
Aku mengangguk seraya berterimakasih, lalu berusaha untuk duduk lebih tegak. Tetapi ternyata tubuhku masih belum pulih sepenuhnya. Aku masih lemah. Sebab itu, dengan sigapnya Jack membantuku, dia menegakkan bagian kepala ranjangku lebih tinggi dan menaruh bantal di belakangku.
"Biar saya bantu. Emm... maksud saya, kamu tidak keberatan kalau saya suapi? Saya khawatir kepalamu masih pusing."
Oh, baik sekali dia. Aku tidak mengatakan apa pun, sebagai gantinya, aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kubiarkan dia menyuapiku. Dan satu-satunya bagian yang tidak kusukai adalah: suasana kembali hening selama dia menyuapiku. Maksudku, tidak selama itu juga, namun cukup lama. Dan aku tidak tahan dengan keheningan itu. Kalau bukan dia, kurasa sebaiknya aku yang mulai bicara.
Bicarakan apa saja, yang penting jangan hening seperti ini. Aku pun berdeham. "Omong-omong, bagaimana ceritanya saat Anda menemukan saya tadi? Kalau boleh, bisa tolong ceritakan, please?"
"Tidak bagaimana-bagaimana, kok. Saya hanya sedang lari pagi, lalu saya melihat ada orang yang terdampar di pinggir pantai. Saya kira putri duyung. Sewaktu saya hampiri, eh, ternyata itu bidadari yang turun ke bumi."
Eit dah!
"Dasar gombal!" Aku tersipu.
"Tapi nyatanya kamu memang secantik bidadari."
"Ya Tuhan...." Dia membuatku tertawa, begitu juga dengannya, meski ia mencoba menahan diri.
Well, suasana sudah sedikit santai. Ternyata, kalau diajak bicara duluan, kepribadian Jack yang ramah dan humoris itu mulai terlihat. Dia bertanya berapa usiaku, pun sebaliknya, aku juga bertanya berapa usianya. Katanya dia berusia 30 tahun.
"Tidak heran, sih. Kamu jelas terlihat masih muda. Tapi sepertinya, pembawaanmu sudah dewasa," kata Jack. "Dan saya menilai itu dari caramu bicara."
Sesungguhnya aku sedikit tertawa di dalam hati. Sebab, Jack itu pribadi yang mudah terbawa arus dalam obrolan, sekaligus bisa kembali cepat terbenteng dalam kekakuan. Bicara aku-kamu dan saya-kamu-nya tidak konsisten, cepat berganti tergantung topik obrolan. Tapi, yeah, aku mamaklumi hal itu.
"Saya sudah tamat SMA setengah tahun yang lalu, dan setiap hari, saya berinteraksi dengan orang-orang dewasa. Bukan dengan remaja-remaja yang seumuran dengan saya. Mungkin karena itu pembawaan saya jadi seperti ini."
Kurasa.
"Oke. Jadi, setelah tamat SMA, apa kegiatanmu?"
Hmm... pertanyaan itu mencubit hatiku. Aku menggeleng. "Tidak ada," kataku. "Hanya berjibaku dengan segala urusan rumah." Seperti seorang babu. Menyedihkan!
"Sayang sebenarnya. Kamu masih muda. Harusnya...." Dia berhenti, seolah sedang menyadari sesuatu, dan sepertinya memang itu yang terjadi. "Maaf, saya lupa. Saya tidak bermaksud...."
Tidak apa-apa. Sudah biasa. Sangat sudah biasa. Begitu pula dengan rasa sakitnya, sudah biasa kurasakan. "Saya berharap dengan keadaan saya yang sudah terbebas ini, saya bisa... oh, andainya saja bisa. Saya juga lupa kalau saya harus terus bersembunyi. Sial, nasib yang malang."
"Hei, sudahlah. Lupakan dan jangan bersedih."
"Yeah. Memang harus seperti itu, kan? Karena hidup mesti terus berlanjut."
"Em. Jadi bagaimana? Kira-kira, setelah ini, apa rencanamu?"
Rencana? Belum ada. Belum tahu. Dan belum terpikirkan. Aku hanya bisa menggeleng dan berkata, "Hanya harus terus bertahan hidup. Mungkin mencari pekerjaan, apa pun itu yang penting bisa menghasilkan uang dengan cara yang baik."
"Bagus. Semangat, ya, Nona Rose." Senyum memikat Jack kembali membelah wajah. Tampan sekali.
Tapi... seketika itu juga aku menyadari kekeliruanku. Mencari pekerjaan sebagai apa? Pekerjaan yang baik pula. Bagaimana bisa sementara aku sendiri tidak memiliki identitas? Aku bahkan seperti warga negara yang illegal. Aku tidak memiliki KTP, sementara kartu pelajarku sudah tidak berlaku lagi. Tetapi aku tidak bisa mengatakan hal itu kepada Tuan Penyelamat di depanku ini. Bagaimana mungkin aku bisa dengan sengaja membebaninya -- meminta tolong lebih banyak kepadanya? Aku bukan pribadi yang suka merepotkan orang lain.
"Omong-omong, ini memalukan, seharusnya saya bertanya sedari tadi, saya sekarang berada di mana, ya?"
Di rumah sakit.
Euw...! Sifat humoris yang sedikit menyebalkan! Jack menjawab seperti itu sambil cengengesan. "Nenek-nenek keriput juga tahu kelles kalau ini di rumah sakit. Maksud saya ini di mana? Di kota apa?"
"Jangan ngegas, Nona. Santai...."
Hmm... dasar...! Tapi dia tampan, dan -- sedikit lucu. Jadi... tak apalah. Tidak masalah dia terus melucu seperti itu. Orang tampan mah bebas, ya kan?
"Sekarang kita berada--"
Suara ponselnya menyela.
"Sori, sebentar," katanya. "Ada telepon masuk." Jack menaruh piring makananku ke atas nampan, lalu ia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Kurasa itu telepon penting, sebab Jack langsung menerima panggilan telepon itu dan keluar dari ruang rawatku.
Ya sudahlah, kulanjutkan makanku sendiri, dan setelah itu aku mesti minum obat.
Selang beberapa menit kemudian, Jack kembali ke ruang rawatku dengan wajah mendadak senduh. "Maaf," katanya. "Saya harus pergi sekarang. Tapi saya akan usahakan untuk kembali secepatnya. Nanti saya minta perawat untuk mengurus Anda. Tidak apa-apa, kan?"
"Oh, oke. Tidak apa-apa. Saya--"
"Tolong jangan ke mana-mana. Saya akan segera kembali."
"Em, baiklah. Saya tidak akan ke mana-mana. Jangan khawatir."
Tetapi tidak mungkin, entah kenapa aku melihat kerisauan di wajah tampannya. Sehingga, setelah dia keluar dari ruang rawatku...
Pintu itu kembali terbuka, Jack berdiri di ambang pintu.
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang tertinggal?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
kamu yg tertinggal MB e
2023-05-26
1
Ninin Primadona
ehmm.. jack balik..
lupa.. belum cium kening
😆🙈🙏
2022-09-05
1
Deliana
blm apa2 kyak ny Jack sdah mnaruh hti sma rose...
2022-08-27
1