Selena yang mendengar pertanyaan Ibunya langsung mendekat ke meja makan.
"Mana mau Mas Damar pacaran, Mam. Dia kan pelangi." Selena mengejek abangnya sambil terkikik.
"Huss, gak boleh gitu Len! Nanti pacar Damar marah lho. Dia itu normal kok." Mutia menanggapi ejekan adik bungsunya dengan serius.
"Awas aja, Elu Len. Gue gak mau ngasih uang jajan bulan ini." Ancam Damar.
"Becanda doang, Mas. Maaf deh." Selena membujuk Damar.
"Ehem ... makan malam dulu baru ngobrol!" Kepala keluarga mulai bersuara.
Semua orang akhirnya diam, mereka menyantap hidangan yang sudah tersaji di atas meja. Tak ada percakapan lagi karena Papa mereka menegur.
Semua anggota keluarga yang berjumlah lima orang, berpindah tempat ke ruang keluarga untuk bercengkrama. Tapi, setelah setengah jam berlalu. Damar pamit karena harus pergi ke caffe untuk bertemu teman-temannya.
"Pasti nongkrong di caffe gue tuh." Mutia sudah bisa menebak.
"Mereka yang demen main di sana, Kak. Gue mah males banget, paling bisa diitung berapa kali."
"Kapan kamu mau mengambil alih usaha kakakmu? Sebentar lagi kakakmu udah mau menikah, Damar."
Damar yang beranjak dari tempat duduknya, terhenyak di tempat.
"Apa, Pap? Masa iya Damar harus mengambil alih tempat usaha Kak Mutia."
"Papa bilang itu emang buat kamu, Mar. Cuma waktu itu gue yang menghandle karena Elu sibuk terus." Mutia bersuara.
"Jadi, tempat usaha itu milik Damar?" tanyanya memastikan.
Papanya dan Mutia mengangguk mantap.
"Nunggu tesis beres dulu, Pap. Gak mungkin kan gara-gara itu Damar kurang fokus ke pendidikan." Damar membuat alasan.
"Kalau begitu, tahun ini seharusnya tesis kamu udah lulus."
"Damar usahakan Pap. Damar pergi dulu!" Pria itu mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
Damar memang bukan tipe anak pembangkang. Sejak kecil, dia selalu menuruti kemauan orang tuanya. Dia juga bisa seperti ini karena didikan yang menerapkan kedisiplinan. Damar mulai diberikan kelonggaran oleh kedua orang tuanya ketika dia mulai kuliah. Dia juga tidak sampai terjerumus dalam pergaulan bebas. Terkadang dia minum alkohol dengan teman-teman tongkrongan hanya untuk melepaskan stres yang melanda. Semakin tahun, tingkat kedewasaan Damar dan teman-temannya semakin meningkat sekian persen. Banyak yang sudah mulai serius dengan pekerjaan dan mencari pasangan yang tepat.
Kendaraan Damar memasuki pelataran parkir coffe shop—tempat mereka nongkrong. Dia ke luar dari mobil, melangkah cepat karena tidak mau terlambat datang.
"Woi, sang perfeksionis kita datang tuh." Roni mendekati, mereka kini berjalan beriringan.
"Seneng banget Elu, Ron. Emangnya ada apaan sih?'
"Masa iya Elu lupa, Mar? Ah, gak asyik nih." Roni menepuk punggung temannya.
Mereka berdua, kini sudah duduk mengitari meja.
"Kalian tau gak gengs? Damar lupa tentang taruhan kita." Roni tertawa mengejek.
"Bacot, gue gak lupa, begok! Hari minggu baru Gue mau mulai hemat." Damar mendesis kesal.
"Hahaha, rasain Elu Mar! Sok-sokan ngajak kita taruhan sih. Makanya, jangan belagu karena anak orang kaya yang suka menghabiskan duit." Dimas yang sejak tadi diam mulai bersuara.
"Gue tuh ngabisin duet pribadi yang gue dapet dari kerjaan. Gak nebeng duit ortu." Damar membantah Dimas.
"Pokoknya, Elu harus hemat selama seminggu. Kasih semua ATM Elu ke kita. Sehari, Gue kasih jatah seratus ribu, gak boleh lebih." Andre yang punya ide tentang tantangan ini mulai bertitah.
"Apa? Gak salah? Ini Jakarta Man, gimana gue bisa idup kalau cuma duit seratus ribu sehari? Bahan bakar kendaraan gue ajah udah berapa. Parah banget kalian ya." Ingin sekali rasanya Damar mengakhiri ini semua.
Sanggupkah dia bertahan hanya dengan uang seratus ribu saja dalam sehari? Damar menelan air liurnya dengan berat. Biasanya, dia bisa menghabiskan setengah juta sampai satu juta rupiah dalam sehari.
"Resiko yang kalah harus terima tantangan. Dahlah, pesen dulu sana! Biar hati Elu adem." Andre tidak mau meladeni Damar lagi.
Mereka memesan makanan ringan dan kopi sesuai selera masing-masing. Damar terpaksa harus menuruti kemauan mereka. Mereka berempat nongkrong di tempat usaha Mutia sampai tengah malam menjelang tutup.
"Kapan nih kita ke Bar? Gue udah gak tahan, kangen sama minuman di sana." Dimas nyeletuk.
"Bener juga, udah sebulan lebih kayaknya gak maen ke Bar. Gimana kalau lusa kita ke sana?" Roni memberikan pendapat.
"Enggak, gak bisa. Elu sembarangan aja, Ron. Mana bisa gue ke Bar cuma bawa duit seratus ribu." Damar protes. Dia juga ingin sekali menghilangkan rasa stres yang melanda.
"Lebih baik kita pergi ke Bar waktu berakhirnya tantangan Damar. Cengok dia kalau ke sana cuma gigit jari ... hahahah." Andre tertawa kecil.
"Gue cabut aja ah, udah tengah malam Bro." Damar pamit pada teman-temannya.
"Gue juga udah mau pulang, sekalian. Woi Dimas ... giliran Elu yang bayar." Andre berdiri dari tempat duduknya.
Mereka bertiga langsung pergi ke luar kecuali Dimas yang menggerutu karena harus membayar semuanya.
"Gue cabut ya Bro." Damar masuk mobil dan mulai menyetir kendaraan.
"Mampus, sehari seratus ribu? Makan apaan gue?" Damar merasa frustasi.
Di lain tempat, sebuah bangunan tua yang dihuni Wulan dan beberapa orang lainnya. Gedung kosan yang tidak jauh dari tempat Wulan bekerja. Wulan yang terlalu lelah bekerja dari pagi sampai sore berbaring di kasur busa di atas lantai.
Mata perempuan itu melihat langit-langit kamar. Dia tidak bisa memejamkan mata.
"Ibu, gimana kalau aku bawa beliau ke Jakarta? Tapi, kalau aku cuma bawa Ibu ... Bapak nanti gak ada temennya." Wulan bermonolog.
Sebagai seorang anak tunggal, Dia berusaha keras untuk membantu kebutuhan sehari-hari orang tuanya di kampung. Karena itulah dia selalu berhemat, tidak terlintas dalam benaknya harus menghamburkan uang dengan cara membeli pakaian, tas atau hal lainnya. Tas yang dia bayar jutaan itu adalah hadiah untuk ulang tahun ibundanya. Gadis itu punya ide untuk mengganti tali yang sama persis dengan tali yang rusak. Malam itu, pikiran Wulan berserabut sampai dia tertidur pulas.
***
"Gawat, kenapa alarm hape malah mati sih. Kan, jadi telat nih bangunnya." Wulan kelabakan. Dia hanya mencuci wajahnya dan menyikat gigi. Menyisir rambut sebahu kemudian memakai seragam coffe shop.
"Terpaksa deh aku naik ojek online." Biasanya dia berjalan kaki ke tempat kerja. Walaupun jaraknya sekitar 2.5 km dari bangunan kosan yang dia tempati, Wulan harus berhemat dengan cara berjalan kaki.
Ojek online yang dia pesan, sudah tiba. Sepuluh menit lagi jam masuk kerja. Wulan bergegas naik, berharap tidak macet di jalan.
Gara-gara banyak pikiran, susah tidur, eh bangun pagi malah telat. Semoga ajah gak butuh waktu sepuluh menit. Wulan berdoa dalam hati.
"Alhamdulillah, kurang semenit lagi." Wulan bergegas turun dari motor. Dia berlari sekencang mungkin untuk memasukkan push card absen.
"Pas banget." Gadis itu bernapas lega. Wulan berbalik arah dengan terburu-buru. Ternyata, dia menabrak dada seorang pria yang baru saja masuk ke coffe shop.
Bola matanya melebar, mengerjap berkali-kali. "Bakalan kena omel nih," lirihnya tak terdengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
🎯 Tati
Nasibmu lan, apes mulu
2022-09-08
4