Nasihat Ibu

Aku duduk di samping Bu Siti untuk mengajari adik-adik mengaji meski ilmuku juga belum begitu banyak, tetapi setidaknya aku bisa membantu Bu Siti. Azan Isya berkumandang, kami semua menutup mushaf, bersiap melaksanakan salat Isya. Selesai salat aku menyuruh adik-adik untuk makan malam kemudian belajar dan menata buku untuk esok hari ke sekolah. Tepat pukul 21.00 malam menyuruh mereka masuk kamar masing-masing, tak lupa aku menugaskan Alya untuk mengawasi mereka hingga semua terlelap.

“Al, setelah mereka tidur, kamu bantu Kakak bersihkan dapur, ya! Kakak banyak kerjaan di kantor panti,” perintahku pada Alya. Gadis itu tak pernah sekalipun membantah, terkadang ada rasa iba menyusup di hatiku. Nasibnya tak jauh berbeda denganku, tetapi perhatian Bu Siti mampu membuat kami semua merasa berarti.

“Iya, Kak, nanti Alya bereskan,” jawabnya sambil tersenyum menampilkan lesung pipi di bagian kanan.

Aku berlalu meninggalkan Alya menuju kantor panti yang bersebelahan dengan ruang tamu, setelah mendapatkan jawaban dari Alya. Tanpa mengetuk terlebih dahulu aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Terlihat Bu Siti sudah duduk membaca kitab dan memakai kacamata untuk memperjelas tulisan yang sedang beliau baca. Wajahnya yang tak lagi mulus menandakan bahwa usianya sudah tak lagi muda. Akan tetapi, semangatnya untuk mengaji masih membara seperti anak muda.

“Maaf, Bu, Nayla mengagetkan Ibu,” ucapku, sambil melangkah menuju meja kerja mengambil posisi duduk ternyaman. Kemudian membuka laptop untuk memeriksa keuangan panti yang beberapa hari ini belum sempat aku periksa.

“Nay, boleh Ibu bicara?” tanyanya sambil tersenyum ke arahku.

“Boleh, Bu, Nayla ‘kan anak Ibu,” jawabku sambil tersenyum dan menatap lekat wajahnya.

“Nay, pikirkan niat baik Nak Ferdi, dia pria yang baik dan sopan, apalagi Nak Ferdi donatur tetap di panti kita.” Aku terkesiap mendengar ucapan Bu Siti, rasa sesak kembali memenuhi rongga dada.

“Tapi, Bu, Nayla ….”

“Apa pun keputusannya, semua ada di tanganmu, itu masa depanmu, Ibu hanya mengarahkan yang terbaik untukmu, Nay! Suatu saat kamulah yang akan mengurus panti ini. Jadi, Ibu berharap kamu memiliki pendamping yang mampu menjaga dan membantumu mengurus panti ini.”

Aku tertunduk, tak punya keberanian menatap wajah Bu Siti. Aku dalam dilema, terjebak dengan perasaan sendiri. Haruskah aku menerima Mas Ferdi sekalipun tak ada cinta di hatiku? Lalu, menggeser nama lelaki yang menghuni hatiku selama ini? Entahlah …!

“Sudah malam, Ibu ke kamar dulu, cepat selesaikan pekerjaanmu, jangan tidur terlalu malam!” titahnya seraya bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan kantor panti tanpa mendengar jawaban dariku. Aku menatap kepergiannya hingga tak terlihat lagi, kemudian kembali menekuri satu persatu dokumen yang masuk dalam catatan donatur tetap.

Segera menutup laptop setelah semua selesai, aku melangkah keluar, memastikan jendela dan pintu sudah terkunci. Lalu, memeriksa dapur dan menengok kamar adik-adik memastikan mereka sudah terlelap. Tidak lupa aku juga masuk ke kamar Alya memastikan gadis itu juga sudah istirahat. Setelah memastikan semua dalam keadaan aman, aku masuk ke kamar. Merebahkan tubuh di atas ranjang, ingin segera memejamkan mata.

Namun, mata ini tak mau terpejam, ucapan Bu Siti terngiang jelas di telinga. Aku bangkit dari tidurku, duduk menyandarkan tubuh di kepala ranjang mencerna apa yang Bu Siti katakan. Kupejamkan mata, tak terasa bulir bening merembes di kedua netraku. Aku di hadapkan pada dua pilihan yang teramat berat, antara hatiku dan hati Bu Siti.

***

Tidak terasa azan Subuh berkumandang. Aku segera turun dari ranjang melaksanakan tugasku, membangunkan adik-adik untuk bergegas membersihkan diri dan menjalankan salat Subuh berjamaah. Setelah adik-adik bersiap, aku dan Bu Siti segera menyusul ke musala. Imam salat sudah bersiap mengumandangkan takbiratul ikhram.

Salat Subuh selesai, kami semua bergantian menyalami punggung tangan Bu Siti dengan takzim. Lalu, menyuruh adik-adik untuk segera berganti pakaian kemudian bersiap untuk sarapan. Selesai sarapan mereka semua pergi ke sekolah, seperti biasa Alya akan mengantar hingga sampai di sekolah. Sepulang mengantar mereka, Alya akan membantu pekerjaan dapur bersama Mak Inah, salah satu pekerja yang bertugas di dapur.

Aku dan Bu Siti sibuk bekerja di kantor panti, memeriksa berkas-berkas seluruh penghuni panti dan mengecek keluar masuknya uang yang digunakan untuk kebutuhan panti. Sesekali aku juga ditugaskan ke luar panti untuk menemui donatur yang tidak bisa datang ke panti. Sejak lulus kuliah hari-hariku hanya sibuk mengurus panti. Walau sebenarnya, aku ingin sekali memakai ijazahku untuk bekerja di perusahaan lain, tetapi aku tidak tega melihat Bu Siti bekerja sendirian untuk mengurus panti ini.

Hingga akhirnya diri ini memutuskan untuk membantu Bu Siti mengelola panti. Panti yang telah membesarkanku hingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Perjuangan dan pengorbanan Bu Siti yang tak kenal lelah sejak aku kecil hingga sebesar ini, membuatku sadar akan arti kehidupan yang sesungguhnya.

“Bagaimana Nay, dengan niat Nak Ferdi, apa kamu sudah memikirkan jawabannya?”

Aku terkesiap mendengar pertanyaan Bu Siti, kuhentikan pekerjaan sejenak, menatap ke arah Bu Siti yang juga sedang menatapku. Kuhela napas panjang dan kuembuskan perlahan, sebelum menjawab pertanyaan Bu Siti.

“Bu, Nayla masih butuh waktu untuk berpikir.”

“Jangan terlalu lama, kasihan Nak Ferdi menunggu jawaban darimu.”

“Insyaallah secepatnya. Akan tetapi, Nayla juga butuh pertimbangan dari Ibu.”

“Apa yang harus dipertimbangkan lagi, Nay. Nak Ferdi orang baik dan bertanggung jawab, tidak ada salahnya kamu menikah dengannya.”

Mendengar pengakuan Ibu membuatku semakin tak kuasa mengatakan isi hati yang sesungguhnya pada beliau. Dari ucapan beliau, aku sudah bisa menyimpulkan agar aku menerima lamaran Mas Ferdi. Haruskah aku menerima lamaran Mas Ferdi demi baktiku pada beliau? Lalu, mengesampingkan perasaanku yang sebenarnya.

“Pikirkan baik-baik, Nay! Salat istikharah, mintalah petunjuk pada Allah,” ucapnya lagi.

“Insyaallah Nayla akan lakukan itu,” sahutku.

Aku bangkit dari duduk, menghampiri Bu Siti yang berada di hadapanku, membenamkan kepala di pangkuannya. Tangannya mengusap lembut kepalaku, membuat diri ini semakin dalam dilema. Menerima sulit, menolak pun aku tak bisa.

Terdengar suara pintu diketuk, terlihat Alya menyembulkan kepala dari balik pintu dan mengucap salam. Sontak aku dan Ibu menoleh ke arah pintu menjawab salam Alya bersamaan kemudian menyuruhnya masuk. Aku berdiri dari pangkuan Bu Siti lalu merapikan rambutku yang sedikit berantakan.

“Maaf Bu, Alya mengganggu Ibu dan Kak Nayla. Alya hanya ingin memberitahu pada Ibu dan Kak Nayla di luar ada tamu yang ingin bertemu.”

“Siapa, Al?”

“Alya tidak tahu, Kak, yang jelas ingin bertemu Ibu atau Kakak.”

“Baiklah, sampaikan padanya sebentar lagi Ibu keluar menemuinya.”

Ibu bangkit dari duduknya, menyimpan kitab yang sejak tadi berada di pangkuan dan meletakkannya di atas meja bercampur dengan kitab dan buku lainnya. Lalu melangkah keluar untuk menemui tamu yang belum kuketahui siapa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!