Aku mencoba mengatur nafas setelah kejadian yang barusan dialami. Aku sering sekali berdebat dengan diriku sendiri. Itu hanya ilusi, manifestasi dari imajinasi. Tidak. Itu tidak terjadi satu atau dua kali, tubuhku pun ikut merespon jika ada mereka yang tak kasat mata. Sejujurnya, aku ingin bercerita kepada seseorang tentang hal ini.
“Ya, kok di luar?” Tiba-tiba Mas Bimo, penghuni kost yang sedang menyusun skripsi, menyapaku.
“Lagi nunggu listriknya hidup lagi, Mas. Di dalam pengap dan panas.”
“Iya, nih. Tumben-tumbenan ya mati lampu. Padahal nggak ada hujan, nggak mendung juga. Langit cerah-cerah aja, tapi listrik padam.”
Kami pun hanya berdiri sambil menatap langit cerah. Bintang bertaburan dan bulan cukup terang, meski bentuknya belum membulat sempurna. Tetapi entah kenapa, aku seketika merasa merinding.
“Kenapa, Ya?” tanya Mas Bimo melihat gelagatku.
“Nggak apa-apa, Mas.” Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini kurasakan begitu saja.
“Kamu kedinginan?”
“Nggak, Mas.” Sulit untuk dijabarkan. Ini bukan karena tubuhku gagal beradaptasi dengan suhu (cuaca).
Tiba-tiba terdengar suara perempuan menjerit-jerit. Kami berdua pun langsung berusaha mengidentifikasi dari mana sumber suara tersebut. Sepertinya tidak jauh dari tempat kami. Namun karena gelap, masih agak sulit juga menemukan di rumah yang mana.
“Ulah balik deui ka dieu (jangan balik lagi ke sini)! Indit ka ditu nu jauh (pergi sana yang jauh)!” Perempuan itu terus mengulang kalimat tersebut sambil berteriak. Suaranya cukup lantang terdengar dan semakin keras.
Lalu, ada perempuan lain yang terdengar membuka pagar sambil meminta tolong. Jaraknya sekitar 20 meter dari tempat aku dan Mas Bimo berdiri. Kami pun langsung menghampiri si perempuan itu, diikuti ada beberapa orang yang juga menuju rumah kost tersebut.
“Ada apa ini?” Mas Bimo langsung bertanya.
“Punten Aa (panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua. Atau bisa juga kepada laki-laki dewasa yang belum dikenal), di dalam ada teman saya yang kesurupan. Tolongin Aa!” ucap perempuan itu dengan nada panik dan sambil menangis.
Suasana masih gelap. Untungnya, ketika masuk ke rumah kost tersebut, ada warga yang menyalakan senter di ponsel.
Terlihat perempuan yang kesurupan tersebut dipegangi oleh dua temannya. Namun dia berusaha berontak sambil terus meracau. “Kariditu (pergi sana)!” usirnya.
Salah seorang warga dengan sigap memercikkan air ke wajah si perempuan yang kesurupan diikuti lantunan doa. Aku berusaha mengamati sekitar dan sedikit menepi dari situasi, karena sudah banyak warga yang membantu. Jangan sampai kerumunan justru membuat situasi, terutama untuk si perempuan itu, menjadi tidak nyaman.
Mataku meraba setiap sudut di rumah itu, namun aku tersentak saat melihat ke atas genteng. Aku tidak tahu pasti apa dan bagaimana sosoknya, yang jelas ada sesuatu yang sedang bersandar di toren air yang dipayungi rimbunnya pohon mangga.
Aku refleks berlari ke dalam. Tak sengaja justru menabrak Mas Bimo.
“Kenapa, Ya. Kayak habis ngeliat sesuatu?” Pertanyaan Mas Bimo malah membuatku jadi penasaran. Kenapa dia bisa tahu?
“Nggak, Mas. Nggak ada apa-apa. Cuma mau mastiin kondisi si Teteh (panggilan kepada saudara perempuan yang lebih tua, atau bisa juga kepada perempuan dewasa).
“Oh! Kayaknya udah mendingan.”
Listrik menyala lagi. Aku lihat perempuan yang tadi kesurupan tampak tertidur lemas. Sepertinya dia sudah lebih tenang dan suasana pun kembali kondusif.
Aku, Mas Bimo, dan warga yang membantu kemudian pamit untuk kembali ke rumah masing-masing. Sambutan malam pertama yang “berkesan” buatku.
Setelah cahaya kembali menerangi, aku dan Mas Bimo kembali ke kamar masing-masing. Semoga lekas bisa menyambung tidur yang terputus, harapku.
Sebelum merebahkan badan kembali di kasur, aku mencari lagi di mana ponselku. Huh! Aku mendapatinya dengan mudah, sedangkan tadi seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul 03.55. Sebentar lagi Shubuh dan fajar menyingsing. Aku pun memutuskan untuk tidak tidur lagi. Waktunya begitu tanggung.
Sembari menunggu fajar, aku terus memikirkan dua kejadian yang menyambut hari pertamaku di Bandung. Tetapi pikiranku lebih fokus kepada si Teteh yang kesurupan itu. Wajahnya menyiratkan emosi yang saling beradu. Sedih, marah, kecewa, kesal, dan putus asa seperti tengah berkecamuk di jiwanya.
Waktu pun bergulir, hingga tak terasa sudah pukul 06.30. Acara OSPEK hari pertama dimulai pukul 07.00. Jalan ke aula 2 menit pun sampai. Masih cukup waktu untuk sarapan. Aku berencana sarapan di kantin kampus.
Mengenakan pakaian putih hitam nan rapi membuatku merasa sedikit lebih tampan. Tak apalah memuji diri sendiri. Aku butuh afirmasi positif untuk menyemangati pekan pertama di kampung orang.
Saat menuruni anak tangga, Dani muncul dengan penampilan yang sama denganku.
“Aku baru mau nyamperin kamu buat berangkat bareng,” terangnya tersenyum.
Kubalas keramahannya dengan langsung mengajak pergi ke kampus. “Ya udah. Yuk berangkat!”
Padahal kami hanya baru bertukar nama, tapi sudah mulai akrab. Begitu pun dengan Mas Bimo. Memang benar, agar sama-sama betah di perantauan, kita harus sedini mungkin menciptakan suasana yang nyaman, baik pertemanan atau rasa kekeluargaan. Tetapi tentang penghuni lain yang menyapaku, semoga mereka tidak seagresif seperti yang ada di pikiranku.
“Kamu udah sarapan, Ya?” tanya Dani saat kami memasuki area kampus.
“Belum.”
“Kita sarapan dulu yuk di kantin.”
Rupanya yang ada di pikiran Dani sama persis denganku. Kami pun menuju kantin untuk mengisi perut.
Di tengah-tengah menyantap sarapan, Dani pun bertanya. “Tadi Shubuh ada apa, Ya? Kayaknya rame banget. Aku mau keluar, tapi nggak sanggup bangun, ngantuk banget.”
“Ada yang kesurupan, Dan,” singkapku datar.
Dani menggoyangkan kepalanya sedikit. “Penghuni kost di pertigaan yang rumahnya ada pohon mangga di sampingnya itu, kan?”
Aku terkejut dengan pertanyaan lanjutan atau konfirmasi yang dilayangkan Dani. Katanya dia di dalam kamar saja. Lalu, kenapa tebakannya bisa tepat?
“Iya, betul. Kok kamu tahu, Dan?”
“Sudah sering di situ mah,” jawab Dani santai. Dia tampak mengenal rumah dan penghuni di sana. “Si Teteh yang kesurupan itu badannya langsing, lumayan tinggi, dan putih, kan?”
“Iya,” tegasku dengan penasaran. Katanya dia mahasiswa baru, tetapi dia bisa tahu banyak informasi di sekitar kost. Aku fokus pandangan untuk mendengar ceritanya.
“Itu teman Kakakku kuliah, satu jurusan dan satu kelas. Semester ini kalau dia nggak bisa menyelesaikan skripsinya, dia bakal di-DO (drop out/ dikeluarkan),” jelasnya.
“Oh! Lalu?” Responku singkat agar Dani menyambung untuk bercerita.
“Kakakku juga baru wisuda kemarin. Nah, kayaknya dia itu depresi. Proposalnya aja ditolak terus, gimana mau ngelanjutin nyusun skripsinya.”
“Kayaknya kamu tahu banyak ya, Dan.” Aku ingin mendengar lebih banyak cerita dari Dani.
“Kakakku kan dulu nge-kost di kamar yang aku tempati sekarang. Aku kalau lagi butuh refreshing, dulu zaman SMA, sering nginep di kost kakakku ini. Apalagi kalau pas musim libur sekolah, biasanya aku habiskan di Bandung.”
Aku kira kakak Dani perempuan, ternyata laki-laki. Ya, karena kost yang kami tempati merupakan kost putra atau khusus pria. Dani terus berkisah,
“Nah, dulu juga pas aku nginep di sini kejadiannya hampir sama. Tiba-tiba ada suara perempuan yang jerit-jerit, waktu itu sih kejadiannya habis Maghrib. Ternyata si Teteh itu. Katanya hampir tiap bulan dia begitu. Tapi dia nggak pernah mau ketika disaranin pindah kost.”
“Jadi si Teteh itu udah tinggal lama di situ?” tanyaku memastikan.
“Ada mungkin 3 tahun. Sebenarnya yang pernah kayak gitu bukan cuma dia aja.”
Aku semakin tertarik mendengar penuturan Dani. “Maksudnya, Dan?”
“Kata Kakakku jarang ada yang betah nge-kost di situ. Soalnya ada aja yang kesurupan. Rata-rata paling bertahan satu semester atau paling lama 1 tahun. Itu pun karena mereka sudah bayar tahunan. Banyak yang nggak berani nge-kost di sana.”
Jika premisku benar, ini bukan tentang makhluk yang bersemayam di rumah tersebut, namun ada kaitannya juga perilaku si Teteh yang seolah tak diperkenankan pergi. Aku lemparkan pernyataan untuk menanggapi dan memancing konfirmasi. “Tapi si Teteh itu bisa sampai 3 tahun di sana.”
“Nah, itu yang aku tanya sama kakakku juga. Tapi dia cuma jawab, nggak tahu juga kenapa”, jelasnya.
“Kamu percaya bahwa orang bisa kerasukan makhluk astral atau jin?” Aku ingin tahu pendapat Dani terlebih dahulu. Jika memang ada celah untuk sharing dengannya, mungkin aku akan bercerita tentang pengalamanku.
“Em…” Dani mengernyitkan dahi. “Aku percaya bahwa ada alam gaib yang dihuni makhluk lain atau jin, tapi kadang aku merasa fenomena kerasukan bisa juga hanya luapan emosi dari si korban. Apa mungkin makhluk astral bisa masuk dan menguasai tubuh manusia, Ya? Menurutmu gimana?” Dani malah balik bertanya kepadaku.
Aku lihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 06.53. “Udah mau mulai nih, Dan. Yuk!”
Aku bukan tak mau menjawab atau berbagi pendapat dengan Dani tentang fenomena kerasukan atau kesurupan, tapi waktunya yang memang belum pas. Kami harus segera menuju aula.
Sepanjang acara pembukaan OSPEK hingga selesai, aku terus memikirkan pertanyaan Dani, Apakah mungkin makhluk astral bisa masuk dan menguasai tubuh manusia? Ini memang pertanyaan yang penuh misteri.
Melihat orang kerasukan seperti si Teteh itu bukanlah hal yang pertama bagiku. Namun, kejadian yang menimpa dia membuat keningku mengkerut. Ditambah keterangan dari Dani yang mengatakan dia mungkin tengah depresi karena belum bisa lulus kuliah.
Dari buku dan artikel yang kubaca, secara medis fenomena kesurupan disebut juga possesion trance disorder. Possesion trance disorder merupakan gangguan yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan identitas atau kehilangan identitas diri dan kehilangan kesadaran dalam mengenali lingkungannya. Orang yang mengalami kondisi tersebut tidak bisa mengontrol diri dan emosi, karena pikiran dan alam bawah sadarnya sulit atau tidak bisa melakukan sinkronisasi. Artinya, peristiwa ini sebenarnya merupakan kategori gangguan mental (disosiatif), bukan karena ada jin yang menempel di badannya.
Faktor yang bisa memicu seseorang mengalami possesion trance disorder yaitu genetik atau keturunan, lingkungan, tekanan psikososial seperti karena kesulitan ekonomi dan kematian orang terdekat (terkasih), trauma yang dialami di masa lalu, dan ketidakmampuan dalam mengelola stress. Tetapi ini dari pandangan medis, sementara tinjauan dari sisi supranatural agak berbeda.
Kita pasti sering mendengar petuah dari orang tua, “Jangan melamun, nanti ada jin masuk ke tubuhmu”. Jin bisa menguasai tubuh kita, karena lemahnya penguasaan diri terhadap jiwa kita sendiri. Memang fenomena supranatural ini masih menciptakan kubu antara yang percaya atau tidak. Untuk mengetahui dan membedakan seseorang mengalami gangguan mental seperti kerasukan/ kesurupan atau benar jiwanya dikuasai jin perlu ada pendekatan atau pengenalan pribadi orang tersebut.
***
Hari-hari berlalu layaknya mahasiswa baru. Aku mulai sibuk mencari materi kuliah atau buku, bersosialisasi dengan teman dan lingkungan, dan mengenal UKM (unit kegiatan mahasiswa) yang akan diikuti.
Gangguan di kost mulai berkurang, namun bukan tidak ada. Aku masih merasakan mereka ada di tangga dan kadang di salah satu kamar mandi. Selama tak melihat wujudnya, aku tidak merasa begitu risih. Ya, mungkin waktu itu mereka hanya ingin memperkenalkan diri saja.
Di satu sisi, pikiranku masih tertuju kepada si Teteh dan rumah kost yang ditempatinya. Hampir setiap hari aku mengamati rumah tersebut, namun tak terlihat ada dia keluar-masuk. Apakah dia pulang ke kampungnya? Atau waktu aku mengamati dia sedang tidak ada di tempat. Entahlah!
Selepas Isya, perutku terasa lapar. Aku pun memutuskan untuk membeli nasi goreng yang mangkal di jalan raya, jaraknya sekitar 100 meter dari kost.
Saat berjalan melewati rumah kost si Teteh, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat dingin di kakiku. Aku pun seketika terkejut. Lalu pandangan mengarah ke pohon mangga. Ya, seperti ada yang menatap dengan wujud hitam besar. Aku langsung mempercepat langkahku. Namun, aku masih mencoba memandang sosok itu sekali lagi untuk memastikan yang aku lihat. Betul, itu bukan bayangan dahan dan dedaunan yang membentuk ilusi. Itu sosok yang sepertinya mendiami tempat tersebut.
Bruk!!! Karena kurang fokus melihat jalan, aku menabrak seseorang.
“Maaf, maaf. Maaf, saya tidak sengaja.” Aku refleks memegang tangan orang itu sambil terus meminta maaf. Anehnya, saat kupegang tanganya terasa panas. Ini seperti bukan panas karena suhu berlebih atau demam. Aku merasakan hal yang lain yang ada pada orang itu.
“Iya, nggak apa-apa kok,” ucapnya tersenyum dengan wajah pucat.
Dia pun melanjutkan perjalanan, sementara aku masih penasaran. Apa dia sedang sakit?
Dia. Ya, benar! Si Teteh yang waktu itu kesurupan.
Selang beberapa langkah, aku melihat ada sosok yang menumpang di tubuh si Teteh tersebut. Dengan bergidik, aku memanggilnya.
“Teh!”
Dia pun berbalik badan. “Iya A, ada apa?”
Aku bingung bagaimana mengatakannya. Apakah dia akan percaya dengan yang aku katakan? Aku juga merinding ketika merasa ada jin dalam tubuhnya. Dia bukan hanya depresi, tetapi memang ditumpangi makhluk lain. Atau karena tekanan yang dialamilah yang mengakibatkan jin itu bisa memasuki tubuhnya. Setidaknya, aku harus memberinya peringatan terlebih dahulu walaupun mungkin dia akan bingung sesaat.
“Maaf Teh, sebelum Teteh masuk rumah mungkin Teteh bisa cuci kaki dan tangan dulu ya. Masuk dengan kaki kanan, setelah itu ambil wudhu.” Ucapan tersebut begitu saja mengalun dari mulutku.
Dia hanya mengangguk, setelah itu melanjutkan langkahnya kembali. Dia seperti menyimpan banyak kesedihan. Aku seolah merasakan jiwanya yang kalut. Sebagian pikiran, memori, dan kontrol dirinya hilang sehingga memberikan ruang untuk makhluk lain bersemayam di dalam tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments