Hari minggu, hari yang paling ditunggu para murid sekolah, tak terkecuali Juminten. Ia juga suka hari minggu, meskipun ia tidak sekolah. Namun, ia bisa sedikit bersantai di hari ini, Juminten tidak berjualan cilok hari ini, ia hanya akan jualan seblak di rumah.
Langit masih sedikit gelap, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Namun, Juminten sudah menyelesaikan semua perkejaan rumah. Dia juga sudah selesai merawat sang Ibu, Juminten pada Dimas yang baru saja keluar dari kamar.
Tangan Juminten terulur untuk mengambil tas anyaman besar, dengan memakai celana training dan kaos oblong. Ia siap untuk pergi ke pasar.
"Nggeh Mbak," jawab Dimas dengan malas
[ "Iya, Mbak," jawab Dimas dengan malas. ]
Selesai berpamitan pada Dimas, Juminten melangkah ke teras rumah, ia menggerakkan leher ke kanan dan kiri untuk mengusir malas. pagi yang dingin, tetapi ia harus segera berangkat. Juminten mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi, layaknya orang yang sedang lomba sepeda, letak pasar yang cukup jauh membuat Juminten harus bekerja ekstra. Jika berangkat pagi-pagi seperti ini, dia bisa lebih leluasa memilih sayuran dan bahan-bahan lain yang masih segar.
Setengah jam mengayuh, dan berjibaku dengan dingin angin pagi. Juminten pun sampai di pasar tradisional, ia memarkirkan sepeda disamping pohon. Tak lupa ia mengaitkan pelek sepeda pada pohon dan mengemboknya.
Wanita muda itu pun langsung masuk ke pasar, menyusuri lapak-lapak pedagang. Tak butuh waktu lama untuk Juminten berbelanja, ia sudah punya langganan di pasar ini. Selain kebutuhan berdagang, ia juga membeli lauk untuk tiga hari kedepan.
"Siji ...loro ... telu ...." Juminten menghitung sisa yang tersisa di dompet kecilnya.
[ "Satu ...dua...tiga..." Juminten menghitung sisa yang tersisa di dompet kecilnya. ]
Ia menghela nafas, tidak banyak yang tersisa. Namun, setidaknya cukup untuk uang saku Dimas besok, dan masih tersisa sedikit untuk pegangan.
Juminten meletakkan tas besar yang sudah penuh dengan barang, ia kemudian duduk berselonjor di samping tasnya. Wanita itu mengambil nafas dalam sekedar melepas penat sejenak, belanja memang cukup melelahkan. Apalagi Juminten masih harus mengayuh sepedanya satu kilometer untuk bisa sampai rumah.
Seorang wanita paruh baya berjalan anggun, sambil menenteng tas kecil di tangannya. Dia pasti orang berada, Juminten bisa melihat dari baju yang dia kenakan.
Wanita itu berjalan semakin pelan, dia membungkuk dengan memegangi dadanya. Dia membuka tas kecilnya, raut wajah panik terlihat saat ia membuka tas itu. Dia terlihat mengaduk-aduk dalam tas, seolah mencari sesuatu. Namun, kemudian.ia kembali memegangi dadanya dan terlihat semakin kesakitan. Juminten segera bangkit dan berlari kearah wanita itu.
"Ibu kenapa? Apa Ibu sakit?" cerca Juminten, wajah wanita itu terlihat pucat, nafasnya tersengal-sengal.
"To-Tolong ... Antar saya ke mobil," jawab wanita itu terbata-bata.
"Iya saya antar, tapi mobil Ibu yang mana?'
Wanita itu menunjuk mobil berwarna silver yang letaknya cukup jauh. Juminten mengangguk mengerti, ia memapah wanita itu perlahan menuju mobilnya.
Wajahnya semakin pucat, dada wanita itu naik turun dengan cepat. Juminten semakin khawatir, terjadi sesuatu yang buruk. Jarak mobil masih jauh, sedangkan langkah mereka tertatih.
Juminten melepaskan pegangannya pada wanita itu, ia kemudian berjongkok didepan wanita itu.
"Ayo Bu, naik."
"Ja-Jangan, kita jalan Sa-saja."
"Biar cepat sampai, Bu."
Karena tidak ada pergerakan, Juminten pun langsung menarik tangan wanita itu agar segera menunduk. Wanita paruh baya itu pun tak bisa menolak, Juminten mengerahkan seluruh tenaga untuk mengendong wanita itu mobil.
"Nyonya!" pekik seorang laki-laki berseragam sopir.
Pria itu segera membuka pintu mobil untuk Juminten, dengan perlahan Juminten mendudukkan wanita paruh baya itu di kursi belakang mobil.
"Man ... Man, To-Tolong obat saya." Wanita itu menunjuk dasbor mobil.
Pria itu mengangguk cepat, ia segera mengambil obat inhaler yang tersimpan di dasbor mobil.
Parman memberikan obat itu pada majikannya, dengan tangan sedikit sedikit gemetar wanita membuka tutupnya kemudian menghisapnya kuat-kuat beberapa kali.
Juminten berdiri, ia berjalan dua langkah kebelakang, memberikan sedikit ruang agar wanita itu mendapatkan lebih banyak ruang.
"Terima kasih sudah menolong, Nyonya saya," ucap Parman.
"Sama-sama Pak, emangnya Ibu ini sakit apa sih Pak? Tadi saya lihat wajahnya pucat, saya jadi takut. Takut kalau terjadi apa-apa sana Ibu ini."
"Nyonya menderita Asma," jawab Parman.
Juminten hanya manggut-manggut dengan bibirnya yang di bentuk huruf O.
Juminten melihat wajah wanita itu, dia sudah tidak sepucat tadi. Nafasnya juga sudah lebih teratur.
"Nyonya, saya permisi dulu," pamit Juminten pada wanita itu.
"Tunggu Nak, siapa nama kamu?" tanyanya dengan lirih.
"Saya Juminten, Nyonya," jawab Juminten dengan senyum manis.
"Terima kasih sudah membantu saya." Wanita itu mengeluarkan beberapa lembar uang dari tas, lalu memberikannya pada Juminten.
Juminten mendorong kembali ia itu.
"Saya menolong Nyonya dengan ikhlas, bukan karena ini." Juminten menggeleng cepat.
"Saya juga ikhlas, saya hanya bisa membalas kebaikan kamu dengan ini."
"Tidak perlu Nyonya. Maaf, saya harus segera pulang sekarang. Lain kali jika nyonya pergi ajaklah seseorang bersama Anda, agar kejadian seperti ini tidak terulang." Juminten menepuk pelan tangan wanita itu.
"Kamu anak yang baik, Juminten," ujarnya dengan menatap wajah Juminten dengan lekat, ia merasa sangat familiar dengan gadis itu.
"Biasa saja Nyonya, masih banyak orang yang lebih baik dari saya. Semoga Anda cepat sembuh, permisi." Juminten pun melangkah menjauh, hari sudah semakin siang.
Juminten juga khawatir dengan tas belanjaan yang ia tinggalkan sendirian di bawah pohon. Mayleen hanya bisa menatap punggung gadis yang berlari menjauh darinya.
"Andai saja pacar anakku sebaik gadis itu ya Man," ujar Mayleen.
"Kenapa Nyonya, apa Nyonya ingin menjadikan gadis tadi sebagai menantu? Sebaiknya Nyonya hati-hati, sekarang banyak orang yang berpura-pura baik."
"Iya Kamu benar, tapi aku rasa gadis itu beneran baik, Man.
Jika bisa Mayleen ingin sekali bertemu dengan Juminten lagi. Gadis itu membuatnya merasa akrab, rasanya seperti bertemu seseorang yang lama ia rindukan. Sayangnya, Mayleen lupa menanyakan alamat Juminten.
"Semoga aku bisa bertemu lagi denganmu," gumam Mayleen lirih.
"Apa kita pulang sekarang Nyonya?" tanya Parman.
Mayleen mengangguk, ia masih menatap jalan di mana Juminten menghilang dari pandangannya. Parman menggeleng pelan, gadis itu sepertinya sudah memikat hati majikannya.
Parman menutup pelan pintu mobilnya. Dia kemudian menyalakan mesin dan mengendarai mobil itu menjauh dari pasar.
Mayleen sangat bersyukur ke pasar hari ini, meskipun tidak memperoleh apa yang ia mau. Tetapi bertemu dengan Juminten membuatnya merasa senang. Mayleen masih menatap lembar uang yang ditolak Juminten, sebuah senyum tersungging di bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Rysa
lanjut ah
2025-02-02
0
Isna Maria Prianti
lanjut thorrr
2024-04-02
0
Bzaa
alurny pelan, tpi cerita nya apik...
semangat otor 💪
2023-02-22
0