"Inayah," panggil Raka pada adiknya dan sedikit menjauhkan tubuh Inayah dari hadapan Aditia.
setelahnya, Raka mendorong tubuh Aditia hingga tubuh Aditia bergerak dari tempatnya.
"Jangan coba-coba dekati adik aku. Anda paham?"
"Maaf, apakah sebelumnya kita pernah saling mengenal?"
Raka tersenyum mendengar perkataan Adita yang menurut Raka, Aditia pura-pura mengenalnya.
"Jangan berpura-pura tidak mengenalku, Tuan Aditia."
"Maaf. Tetapi, aku memang tidak mengenal anda, Tuan."
"Bagaimana mungkin anda begitu cepat melupakan kejadian beberapa bulan lalu? Apa perlu aku ingatkan?"
Aditia terdiam. Dia mencoba mengingat masa lalunya. terlihat Aditia memegang kepalanya.
"Kak Aditia, baik-baik saja?"
"Inayah, berhenti memberikan perhatian padanya. dia bukan siapa-siapa kamu. pulang!"
"Kak, tapi Aditia tidak baik saja."
"Stop, Inayah." Raka menarik tangan Inayah sementara Amira melihat betapa marahnya Raka pada Inayah.
"Inayah, jangan pergi!" teriak Aditia sambil memegang kepalanya. penglihatannya mulai buram.
Inayah yang terus di tarik oleh Raka hanya mampu mengikuti seribu langka pria tersebut.
Begitu Inayah kembali menoleh, seketika tubuh Aditia tergeletak di atas tanah yang membuat Inayah menjerit
"Kak Adit!" pekik Inayah.
Entah apa yang membuat dirinya spontan saja berteriak. memangnya siapanya Aditia? tidak Lain Inayah berteriak hanya sekadar Spontan saja. Namun tak dapat di indahkan, Inayah terlepas dari genggaman Raka dan berlari menghampiri Aditia yang menutup matanya.
Mendengar teriakan Inayah memanggil Aditia mengundang para pengunjung panti asuhan Permata Bundaku keluar dan melihat apa yang terjadi? Bahkan semua penghuni panti asuhan pun melongo.
Langkah sang ibu dari pria tersebut kalah cepat dari Inayah. Inayah pun terhenti tepat di depan kerumunan orang-orang yang membatu Ibu Hanum mengangkat tubuh Aditia masuk ke dalam panti asuhan.
Raka menarik tangan Inayah agar ikut dengannya. Inayah tidak bisa berbuat apa-apa. Toh juga tidak ada hubungannya dengan Aditia. Inayah hanya kasihan pada Aditia. itu saja.
"Kita pulang! Mengenai Ummi, biar aku yang bicara sebentar, jika kamu ikut pulang denganku.
dan masalah mobilmu, biarkan saja di sini. Nanti supir Udin yang membawa mobilmu pulang bersama Ummi," Papar Raka. kemudian menuju tempat parkir diikuti oleh istrinya, Amira. dan Amira sendiri hanya diam sambil berjalan beriringan dengan Inayah.
Ada rasa tidak enak hati pada adik iparnya itu. Bagaimana jika Inayah bertanya seputar masa lalunya? apa dirinya siap? ada banyak hal yang terpikir di benak Amira. Masa lalu itu masih sangat membekas.
Sampai di rumah, Inayah langsung masuk kamarnya. Inayah masih terpikir dengan Ucapan Raka sebelumnya. siapa sebenarnya Aditia? dan apa hubungan Aditia dan Amira, kakak iparnya.
"Bagaimana kabar Kak Aditia? Apa dia baik-baik saja? Ya Allah, ada apa dengan hatiku. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku. Aku khawatir dengannya. Ya Allah, ampuni hamba." segera mungkin Inayah menepis semuanya dan segera mungkin mengambil air wudhu.
Sementara Amira sendiri terlihat duduk termenung di ats kasurnya. Ada rasa jijik mengingat masa lalu itu. Bayangan itu pun menuju masa lalunya.
***
Semenjak Aditia meninggalkan rumah ia tak pernah lagi memunculkan wajahnya di hadapan kedua orang tuanya.
Dan semenjak Aditia gagal dalam percintaan pertamanya ia seakan menutup hatinya dari seorang wanita.
Bahkan mungkin hatinya sudah mati. Dimana Aditia seperti ketaatan tak akan membuatnya merasa bahagia dan kemaksiatan tak akan membuatnya resah.
Baginya sekarang hidup dinikmati, mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Ia menganggap bahwa seseorang akan merasakan bahagia dengan cara mencari kebahagiaan sebanyak mungkin serta dengan cara bagaimana pun harus menghindar dari perasaan yang dapat membuatnya merasakan sakit.
Waktu terus berjalan. Aditia makin hari makin tak menentu arah tujuan hidupnya. Ia seakan lupa dengan tujuan hidup di dunia ini.
Dari kabar yang ia dengar bahwa ayahnya akan memberikan warisan pada putranya jika mereka membawa istri masing-masing dihadapannya.
Aditia tidak sudi jika sampai warisan ayahnya harus jatuh ditangan putra anak dari istri kedua ayahnya sendiri. Bagaimana nasib adik adan ibunya jika hal itu terjadi.
"Carikan aku seorang wanita yang mau bekerja sama denganku."
"Wanita? Bukannya kamu sudah tidak ingin berurusan dengan seorang wanita bro." Ledek temannya.
"Sudah. Aku akan membayarnya. Ia cukup menjadi istri bohongan."
"Bagaimana jika kamu sampai benar-benar jatuh cinta padanya?" Canda temannya lagi.
"Itu tidak akan terjadi." Aditia yakin tidak akan lagi jatuh cinta pada seorang wanita.
Sementara Amira wanita yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk ayahnya berobat mendapat tawaran dari temannya.
"Aku mendapat kabar dari pacarku katanya ada temannya mencari seorang wanita untuk dijadikan pacar bohongan. Barangkali kamu minat?" kata Mawar sahabat Amira.
"Pacar? Kamu yakin? Tapi aku tidak mengenal pacaran.
"Sudahlah. Terima saja dulu. Lumayan bayarannya untuk kamu gunakan ayahmu berobat."
Amira cukup lama berfikir. Pada akhirnya ia pun setuju. Mawar pun menelpon pacarnya, Jika sahabatnya, Amira setuju.
"Aku sudah menemukan wanita untukmu. Besok kamu bertemu dengannya di sebuah Kafe." Kata Rio.
"Baiklah. Kamu atur saja. Besok aku akan menemuinya dan siapkan kerja kontraknya," Kata Aditia dibalik telpon.
Usai menelpon Aditia duduk memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk misi selanjutnya. Ia harus meyakinkan pada ayahnya. Bila perlu ia ingin ayahnya menceraikan ibu tirinya. Aditia berfikir bagaimana cara mencari bukti jika putra ayahnya yang dianggap anak kandungnya itu bukan darah daging ayahnya melainkan anak orang lain.
Kebohongan yang dibuat oleh ibu tirinya harus berakhir. Aditia benar-benar hanyut dalam pikirannya sendiri sampai ia tertidur. Nasibnya sungguh dikatakan kurang beruntung sebagai anak seorang pengusaha sukses.
***
Esok hari tepat waktu dan tempat Amira sudah berada di kafe. Ia duduk seorang diri sedang menunggu seseorang. Jika bukan karena kebutuhan Amira tidak ingin melakukan kebohongan ini.
Ayahnya tidak pernah mengajarkannya berbohong apalagi berpacaran. Sungguh diluar ilmu pengetahuan yang diajarkan ayahnya.
Amira menganggap ilmu agama yang selama ini diajarkan gurunya seakan sirna. Amira melihat sekeliling. Cukup bersyukur karena mesti harus duduk berduaan dengan tuan Aditia sebentar tidak mesti duduk berduaan.
"Oh Tuhan, ini pilihan tidak benar. Aku tahu, tapi aku butuh uang secepatnya," batin Amira.
Berulang kali Amira melihat jam di ponselnya. Cukup lama sudah dirinya menunggu di sana.
Sementara Aditia sudah diparkiran sedang menerima chat dari temanya. 'Wanita itu memakai gaun warna Pink, duduk di meja no 10. ingat meja no 10 namanya Amira'.
Aditia masuk dalam kafe mencari sosok wanita yang dimaksud temannya. Dari sekian beberapa pengunjung hanya satu orang berbaju pink duduk di kursi dengan meja no 10 sesuai yang dimaksud temannya.
Aditia mengerutkan keningnya. Wanita yang dimaksud ternyata memakai hijab. Tidak salah? Aditia tidak pernah menyangka jika seorang wanita berhijab mau jadi istri bohongannya. Adita cukup penasaran, Karena ia hanya melihat dari arah belakang.
Aditia berdeham dengan kedua tangannya dimasukkan dalam saku celananya. Amira mengangkat kepalanya. Dengan cepat Amira membuang pandangannya.
Pandangan pertama membuat Aditia tidak berkedip. Sosok wanita berhijab di depannya membuatnya salah tingkah.
"Kenalkan aku Aditia." Aditia mengulurkan tangannya, namun Amira justru tersenyum sambil menyebut namanya.
Dengan terpaksa Aditia menarik tangannya dan meminta Amira kembali duduk.
Sambil mengecup tangannya Aditia berkata, "Apa karena tanganku bau?"
"Maksud tuan?" Tanya Amira kurang mengerti.
"Aku ingin berkenalan denganmu tapi kamu mengabaikannya."
"Maaf, tuan. Saya tidak biasa berkenalan seperti itu."
"Benarkah? Kamu jangan munafik. Buktinya hari ini kamu datang di sini. Itu artinya kamu siap jadi istri bohonganku. Bukankah berbohong dosanya lebih besar?" Aditia meledek.
"Apa? Bukankah pacar bohongan?" kata Amira menjelaskan.
"Aku tidak butuh pacar. Yang aku butuhkan istri. Tapi, istri bohongan." Aditia menatap kedua bola mata gadis itu.
"Kalau begitu ... aku... mau kita
ba—"perkataan Amira terpotong dengan suara Aditia.
"Tidak ada kata batal. Aku tidak suka rencanaku gagal. Kamu harus mau." Paksa Aditia terus menatap kedua bola mata gadis itu yang terlihat sedikit ketakutan.
"Kamu mau ayahmu meninggal, jika tidak mendapat pertolongan?" Sahut Aditia ketika Amira hendak berdiri dari tempatnya. "Kamu cukup menandantangani kontrak sebagai istri bohonganku. Dan hari ini juga kamu dapat uangnya. Tapi ingat, jangan coba-coba menipuku," Ancam Aditia.
Amira terdiam ditempat dan berfikir kembali. Ia ingin menolak, tapi disisi lain ayahnya membutuhkan uang. Bingung. harus bagaimana?
"Duduklah. Kita bisa bicarakan, Nona," Kata Aditia lagi.
Dengan pelan Amira duduk dan melepaskan tasnya disampingnya.
"Darimana Tuan tahu aku membutuhkan uang ini untuk pengobatan ayahku?" kata Amira.
"Aku tahu semuanya. Bahkan jika aku ingin tahu siapa dirimu aku bisa lakukan. Tapi, itu tidak penting bagiku. Yang terpenting sekarang kamu harus mau jadi istri bohonganku." Aditia menyeruput minumannya beberapa teguk.
"Kenapa kau terlihat gemetar. Aku tidak akan memakanmu. Santailah, Nona." Aditia merasa lucu dengan gadis di depannya.
Aditia pun menatap gadis itu dan berkata, "kau cukup mengaku bahwa kita benar sepasang suami istri di hadapan kedua orang tuaku nantinya. Jika, mereka meminta kita bermalam dirumahnya kau harus mau satu kamar denganku."
"Apa? Itu tidak mungkin! Kau dan aku bukan mahram. Bagaimana bisa kita satu kamar?" suara Amira tiba-tiba terdengar cukup besar tidak seperti suara sebelumnya. Juga terdengar sangat pemberani.
Aditia semakin tertantang mendengar ketegasan Amira membahas tentang mahram.
"Andai tidak terpaksa. Aku tidak akan pernah mau melakukan hal tidak wajar ini, tuan."
Aditia tertawa mendengar pengakuan Amira. "Jadi, karena uang kamu rela melakukan ini? Jika seandainya aku meminta kamu melayaniku dan membayarnya melebihi dari ini apa kamu juga mau?"
Plak! Satu tamparan tepat mengenai pipi Aditia yang membuatnya meringis.
"Jaga ucapan anda tuan! Aku sangat menghargai kehormatanku sebagai wanita dan melakukan ini masih dalam hal wajar. Walau aku harus membuang rasa takutku pada Tuhanku. Aku sudah bekerja dengan berbagai pekerjaan, akan tetapi uang yang aku butuhkan masih belum cukup, sementara waktu yang diberikan terbatas untukku." Jelas Amira dengan sorot matanya yang tajam.
"Kehormatan? Anda membahas tentang kehormatan. Oya? Itu seperti dongeng buat saya. Wanita diluar sana menjual kehormatannya demi uang. Aku tidak percaya anda akan mempertahankan itu, jika sudah melihat jumlahnya," ledek Aditia yang belum jera.
"Stop tuan! Aku bukan gadis di luar sana yang anda samakan. Asal anda tahu, kehormatan bagi saya adalah izzah dan menjaganya adalah iffah. Memang sulit menjaga izzah itu. Namun, dibalik kesulitan itu seorang wanita mampu mendapat kemuliaan. Maka dasar dari makna kehormatan itu sendiri adalah akhlak, memiliki rasa malu, ketika seorang wanita memiliki rasa malu maka dirinya akan takut melakukan hal yang bisa menghilangkan iffah mereka."
"Sudahlah. Aku tidak ingin berdebat denganmu. Anda menampar saya dengan tanpa rasa bersalah? Jika saya melaporkanmu kamu bisa masuk penjara." Kata Aditia kembali ingin melihat rekasi Amira.
"Silahkan saja. Aku tidak takut. Asal anda tahu. Aku tidak menampar Anda, jika Anda tidak memancing saya."
Aditia semakin salut dengan ketegasan Amira. Ia tidak berharap perkataan itu. Ia mengira amura akan memohon untuk tidak dilaporkan. Ternyata ia salah.
"Tunggu! Cegah Aditia.
"Aku minta maaf." Kata Aditia entah mengapa hatinya menjadi luluh.
Amira berbalik. "Jika anda menganggap uang adalah segalanya bagiku. Anda salah. Aku tidak akan pernah merusak kehormatanku hanya kerena uang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Idham Adhang
Aku padamu Author
2022-11-05
1
Idham Adhang
hmmm....
2022-11-05
1
Idham Adhang
awas jatuh cinta sama Amira,,😁😁
2022-11-05
1