Bertemu Orang Dimasa lalu

Arumi bingung dia harus pulang ke mana, ia belum tahu letak rumahnya. Ia menggaruk kepalanya, aneh rasanya bertanya sama orang alamat rumahnya sendiri.

“Arumi,” panggil Elisa. Arumi menoleh, saat motor besar berhenti di sampingnya.

“Sorry ya, gue pulang duluan sama Fadli. Lo telepon Pak Harno saja. Soalnya gue bilang minta tidak dijemput. Lupa kalau lo sekolah,” cerocos Elisa yang tidak di dengarkan kecuali informasi tentang Pak Harno yang dia rasa itu sopirnya.

Fadli membuka kaca helmnya, “Lo kenapa diam saja, marah kalau gue suka sama Elisa?”

Fadli mengira kalau Arumi marah dengan Elisa jadi dia tidak mau ngomong sama Elisa yang sebentar lagi menjadi pacarnya.

“Gue minta maaf, apa perlu gue putus sama Fadli?” Elisa merendah, seolah mau berkorban demi kakaknya.

“Kamu ngomong apaan sih El, gue kan sukanya sama lo bukan Arumi. Kenapa jadi kita yang putus,” Fadli marah.

“Tapi Arumi suka sama lo, gue nggak bisa di diamkan seperti ini?” Elisa turun dari motor Fadli. Fadli pun mengikutinya, ia melepaskan helmnya.

“Lihat, betapa besar hati adik lo. Kenapa masih sering membuly Elisa,” Fadli mendorong tubuh Arumi.

“Fadli, jangan kasar.”

“Sudah main dramanya, kalau begitu gue permisi dulu,” ujar Arumi dengan senyuman tipis.

Arumi meninggalkan Elisa dan Fadli, mencari angkutan umum. Ia tidak ingin segera pulang. Arumi pergi ke taman pusat kota, semua sudah berubah. Dari segi penataan dan juga suasananya. Dulu masih sangat sepi, sekarang tampak rame di kunjungi orang.

“Seperti ini kah rasanya menjadi orang yang merdeka,” ujarnya sembari duduk di kursi panjang taman. Ia menadahkan kepalanya, menatap langit biru yang mulai melebur dengan warna orange.

Ketenangan Arumi terusik saat mendengar tangisan bocah kecil di sampingnya.

“Adik kamu kenapa?” tanya Arumi.

Anak itu tidak kunjung diam membuat Arumi panik, bisa-bisa nanti dia di tuduh menjadi penculik anak.

“Adik manis, jangan menangis lagi ya. Bilang sama kakak, apa ada yang menjahati kamu?” tanya Arumi lebih pelan. Anak itu menggeleng cepat.

“Terus?”

“Aku tadi sedang main sama om aku, tapi sekarang om aku tidak ada,” ucapnya dengan sesenggukan.

“Kamu punya telepon? Atau hapal nomor telepon om kamu?” tanya Arumi.

“Nggak.”

“Kamu tahu alamat rumah kamu?”

“Iya,” ucapnya sambil mengangguk.

“Baiklah anak manis, kamu jangan menangis kakak anterin kamu pulang,” ujarnya sembari mengusap air mata yang membasahi seluruh wajah bocah itu.

“Makasih Kak, maaf Fira merepotan,” katanya masih terbata-bata.

“Jadi nama kamu Fira?”

“Iya,Safira.”

“Kenalin, nama kakak Arumi,” Arumi memperkenalkan diri.

Arumi bergegas mengantar Fira menuju rumahnya karena sudah menjelang sore. Pasti keluarganya panik mencari putrinya yang menghilang.

“Itu Om aku,” kata Safira sambil berlari menuju keberadaan omnya.

“Tunggu Fira,” Arumi mengejar Safira.

“Om,” panggil Safira.

“Fira, ya ampun kamu dari mana saja, Om cariin kamu tahu,” Omnya memeluk erat Safira. Dari raut wajahnya dia tampak menghawatirkan gadis kecil itu.

“Tadi Fira keasyikan main jadi kehilangan Om, untung saja ada Kak Arumi yang menolong Fira,” jelas Safira.

“Terima kasih ya sudah memjaga keponakan gue, perkenalkan nama gue Bian,” katanya.

Bian? Apakah dia dokter kepercayaan ayah dulu? Tanya Arumi dalam hati.

Arumi memperhatikan dengan detail wajah dan tubuh Bian, ia seperti dokter keluarga kepercayaan ayahnya. Namun di kehidupan lampaunya Bian sudah menjadi dokter senior yang umurnya lebih tua dari sang ayah.

“Hai,” Bian menggerak-gerakan tangannya di depan Arumi.

“Iya, kalau begitu gue balik dulu ya,” Arumi pamit.

“Tunggu, lo pulang naik apa? gimana kalau gue anterin pulang?”  Bian menawari mengantar pulang Arumi.

“Terima kasih, takut merepotkan,” ujar Arumi.

“Nggak, tenang saja. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjaga keponakan gue.”

“Iya Kak Arumi, biar kita anterin,” bujuk Safira.

“Tapi maaf, gue sudah di jemput,” kata Arumi. Sebenarnya dia juga mau dianterin sekalian tanya-tanya tentang Bian. Apakah dia benar orang dari kehidupan lampaunya.

Namun dia belum tahu alamat rumahnya yang sekarang, ia seperti bayi yang baru lahir sehingga tidak tahu apa-apa.

“Baiklah, kapan-kapan saja kita bertemu ya,” ujarnya sembari tersenyum.

Arumi melambaikan tangannya, saat mobil Bian berjalan. Arumi bergegas menelepon Pak Harno meminta jemput.

Arumi mulai menghapal jalanan yang di lewatinya, agar dia bisa berpergian dengan bebas. Arumi turun dari mobil, ia melihat sekeliling rumahnya, rumah dua lantai yang lumayan megah. Mobil berjejer, meskipun terlahir cupu namun dia tetap saja menjadi orang kaya.

“Arumi, kenapa kamu baru pulang?” bentak Sofi ibu tiri Arumi.

Arumi hanya menatap lekat perempuan yang kira-kira berumur tiga puluh lebih sedikit.

“Arumi, kamu itu ditanya malah diam saja, mama sedang ngomong,” Sofi menarik tangan Arumi kasar.

Sofi membawa masuk lalu mendorong Arumi ke sofa, Arumi masih belum melakukan perlawanan sedikit pun.

“Tadi Elisa ajak pulang nggak mau Ma, katanya masih mau main,” Elisa mengompori mamanya. Jelas-jelas dia tidak mengajak pulang justru meninggalkannya.

Apa ini kisah bawang merah bawang putih, atau cinderella?

“Diam lagi, kamu bisu!” bentak Sofi lagi.

“Hukum saja Ma, kayaknya dia sengaja Ma,” kata Elisa yang terus mengompori mamanya.

“Kamu sekarang cuci piring sampai bersih, dan tidak ada makan malam untuk hari ini." Sofi menyeret Arumi kasar. Dia membawa Arumi ke dapur, dan mendorongnya sampai tubuhnya membentur wastafel.

“Cuci semua piring ini!" Sofi menunjuk tumpukan piring kotor di wastafel.

“Mampus lo," Elisa ketawa-tawa melihat penderitaan Arumi.

Jadi seperti ini perlakuan mereka sama gue selama ini. Tidak ada bedanya, baiklah.

“Nyonya biar saya saja yang mencuci piring, kasihan Non Arumi,” ucap Bik Tini dari belakang.

“Nggak boleh, ingat ya bik, jangan bantuin Arumi atau bibik akan saya pecat,” ancam Sofi.

“Sudah deh bik, jangan suka ikut campur,” Elisa mendorong Bik Tini.

Elisa selalu kesal saat Bik Tini terus membela Arumi, beberapa kali dia tampak rela menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh mamanya.

“Tapi Nyonya--,”

“Kamu mau di pecat sekarang juga!” Sofi melotot kearah Tini.

Tini menundukan kepalanya, kalau dia sampai dipecat malam ini maka dia tidak akan bisa membantu Arumi lagi.

“Kalau mama cek satengah jam belum selesai, kamu tidur di gudang,” ancam Sofi.

“Nggak apa-apa Bik, Arumi bisa kok menyelesaikan ini. Arumi bukan anak manja,” ucap Arumi, ia sekilas memendang remeh Elisa.

“Maksud lo apa ngelihatin gue kayak gitu, jadi lo katain gue manja?” Elisa geram.

“Gue nggak ngomong, kalau merasa tersinggung ya itu urusan lo." Arumi melepas tas ranselnya.

“Udah mulai berani ya lo sama gue." Elisa menarik rambut Arumi.

“Lepasin gue sebelum lo menyesalinya,” kata Arumi santai.

“Memangnya lo mau apa?” Elisa tertawa mengejek. Dia pikir Arumi adalah cewek cupu yang lemah.

Arumi memegang tangan Elisa sampai rambutnya terlepas, lalu memelintir tangannya.

“Sakit Arumi, lepaskan tangan gue,” rintih Elisa. Arumi segera melepaskannya, ia tidak mau ribut berkepanjangan.

“Awas lo Arumi, gue aduin sama mama,” ujarnya semabri lari ke depan.

Terpopuler

Comments

Dewi Yanti

Dewi Yanti

percuma di kasih kesempatan kedua jg klo masih lemah gt

2024-06-30

0

Putri Minwa

Putri Minwa

lanjut

2023-01-29

0

~Anyelir~

~Anyelir~

ini gimana ya ngetiknya? paragrafnya d pisah2 bgtu

2022-09-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!