Satu tetesan air hujan menimpa puncak kepalaku. Di susul dengan tetesan lain. Gemuruh di langit menjadi pertanda akan turun hujan lebat dan dingin angin malam yang menusuk tulang membuat siapa pun tak betah berada di luar rumah.
Aku segera memapah Karina masuk ke dalam mobil. Membantu memasangkan sabuk pengaman untuk Karina. Lalu melakukan mobil untuk mencari rumah sakit atau klinik terdekat.
Di dalam mobil, Karina terus menerus mengaduh kesakitan. Beberapa kali aku mengalihkan pandangan ke wajah kurus Karina. Peluh telah membasahi keningnya. Meluncur hingga ke leher.
Aku tidak tega melihat Karina kesakitan seperti ini. Namun, aku juga tidak tahu harus melakukan apa untuk meminimalisir rasa sakitnya. Aku memang payah dalam segala hal yang berurusan dengan perempuan.
“Kalau tidak bisa ke rumah sakit, kita pergi saja ke bidan. Aku sudah tidak tahan, Balin. Rasanya aku ingin melahirkan di sini.”
Karina menjerit. Sebuah jeritan yang membuat jantungku ingin lepas dari tempatnya.
“Kamu tahan sebentar, Karina.”
“Ah itu," jari Karina menunjuk sebuah rumah di sisi jalan. Di depan rumah itu terpampang plang bertuliskan nama seorang Bidan.
Bidan Indah. Aku membaca sekilas.
“Kita berhenti di sini saja.”
“Kamu yakin, Karina? Apa kita tidak ke rumah sakit saja. ”
“Tidak, Balin. Di sini saja yang dekat.”
Aku menuruti perintah Karina untuk menuntunnya turun dari mobil. Kubunyikan bel rumah sang Bidan.
Tidak ada sahutan.
Lampu di dalam rumah sang Bidan masih gelap. Aku menekan bel sekali lagi dengan tidak sabar.
Lalu dalam beberapa menit seorang wanita seusia ibuku membukakan pintu. Matanya yang memakai kacamata kotak langsung tertuju pada Karina. Sebelum aku mengucapkan kata-kata, Bidan Indah langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Beliau langsung mempersilahkan kami masuk ke dalam ruang yang biasa digunakan untuk bersalin.
Bidan Indah segera mempersiapkan segala keperluan melahirkan dengan sangat cekatan dan tenang. Mungkin karena sudah terbiasa membantu proses melahirkan, beliau bisa setenang itu.
Sedangkan aku tidak. Cemas, panik, dan takut berpadu dalam detakan jantungku. Bidan Indah menyelimuti Karina, lalu memeriksa kandungan Karina.
“Karina, aku akan tunggu di luar saja.”
“Jangan, Balin. Aku mohon jangan pergi. Tunggu di sini. Tolong temani aku.”
Aku gelagapan. Leherku terasa tercekik sesuatu. “Tapi.. Tapi.. A.. Aku..”
“Sudahlah, Pak. Bapak di sini saja menemani istri Bapak melahirkan. Keberadaan Bapak bisa membuat istri Bapak lebih tenang.” Sahut bidan Indah.
Ingin rasanya aku berteriak kepada sang Bidan bahwa aku bukan suami Karina. Aku belum pernah berada di situasi menegangkan seperti ini. Tidak hanya menegangkan tapi juga canggung. Aku mengambil napas dalam untuk menyingkirkan perasaan yang berkecamuk.
“Air ketubannya sudah pecah. Bapak membawa baju bayi dan keperluan lainnya kan?”
Sial. Tidak mungkin mengatakan kalau aku hanya teman Karina yang membantunya kabur dari rumah suami. Aku harus mengatakan apa?
Di saat panik seperti sekarang ini, otakku sulit mencari alibi yang bagus. Aku memejamkan mata mencari ide.
“Hmm, anu. Kebetulan tadi tas yang berisi baju bayi ketinggalan di rumah. Saya sempat ingin putar balik, tapi rumah kami lumayan jauh," kataku asal bicara sambil berharap bidan Indah percaya.
“Oh kalau begitu, bisa pakai baju bayi milik cucu saya saja. Sebentar saya ambilkan dulu.”
Huft. Syukurlah Bidan Indah percaya dengan bualanku. Bidan Indah pergi meninggalkan ruangan dengan terburu-buru.
“Balin," suara lirih Karina memanggilku, dia menjulurkan tangan, dan aku segera meraihnya, menggenggam tangan yang telah sedingin es.
“Kamu tenang ya, Karina. Aku ada di sampingmu.”
Aku berinisiatif mengambil tisu untuk mengelap kening dan leher Karina yang sudah banjir keringat. Bidan Indah kembali dengan membawa setumpuk kain, lalu menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda tadi.
Kemudian mulai memberikan interuksi kepada Karina untuk mengejan. Beliau juga dengan sabar mengajari Karina mengambil napas yang baik saat melahirkan.
Selama berada di ruang bersalin, aku melihat pemandangan yang membuat hatiku ngilu. Baru kali ini aku melihat langsung proses persalinan. Karina banyak sekali mengeluarkan darah dan selalu mengatakan kesakitan.
Terbayang olehku bagaimana susahnya Ibu ketika melahirkanku dan adikku. Pasti tidak jauh seperti ini keadaannya dan pasti seperti ini paniknya ayahku.
Entah berapa menit aku berada di ruang bersalin, yang jelas bayi Karina belum lahir juga. Memangnya berapa lama bayi bisa keluar dari perut ibunya? Aku pun tak tahu.
Aku terus menyemangati Karina. Hingga Bidan Indah berteriak bahwa kepala bayi sudah terlihat jelas dan meminta Karina mengejan sekali lagi dengan kuat. Namun, Karina menggeleng lemah. Matanya setengah menutup.
“Aku sudah tidak kuat lagi," ucap Karina lirih.
“Tapi kepala bayinya sudah kelihatan, Bu. Ayo, Bu. Tarik napas yang dalam. Hembuskan lewat mulut.”
Karina tetap menggeleng. Mata kelelahan itu menatapku. Aku mengelus kepala Karina, menggenggam kuat tangan Karina. Berharap aku bisa memberikan energiku kepada Karina.
Aku membungkuk di dekat telinga Karina dan berbisik, “Ayo, Karina. Kamu pasti bisa. Sebentar lagi. Sebentar lagi kamu akan bisa berjumpa dengan anakmu. Aku yakin kamu mampu melewati ini. Kamu mau melihat anakmu, kan?”
“Tidak, Balin. Aku lemas sekali.”
“Aku ada di sini, di sampingmu. Ayo, Karina. Berjuang sekali lagi. Demi anakmu.”
Karina mengejan sekaligus menjerit yang membuatku merinding. Detik berikutnya terdengar suara tangisan bayi yang sangat kencang. Aku lega dan tertawa bahagia bayi Karina telah lahir.
Apakah perasaan yang dialami ayahku ketika aku lahir juga sama persis seperti ini? Apakah setiap ayah begini rasanya melihat anaknya lahir? Aku merasa seakan bayi kecil penuh darah yang sekarang berada di tangan Bidan Indah adalah anakku sendiri.
Tak bisa aku sembunyikan perasaan bahagia bercampur haru. Aku mengusap ujung mataku yang basah. Kulihat Karina mengangkat kepala dan tersenyum.
“Selamat, Ibu, Bapak, bayinya perempuan. Cantik seperti ibunya," Bidan Indah memperlihatkan wajah si bayi kepada Karina sebentar, lalu membawanya ke ruangan lain untuk di bersihkan.
“Karina, selamat atas kelahiran putrimu. Aku turut bahagia.”
“Terima kasih, Balin. Ini semua juga berkat kamu. Kalau tidak ada kamu, aku mungkin melahirkan di jalanan.”
“Akan kamu namai dia siapa? Oh ya, aku telepon ayahmu ya? Aku kabari kalau cucunya sudah lahir.”
Karina menahan lenganku. Memelas agar aku tidak pergi, “Jangan!”
Aku menatap serius Karina. Ada sesuatu yang aneh padanya. Napasnya berat, sorot mata yang lemas dan bibir yang gemetar, “Ada apa, Karina?”
“Aku mempunyai suatu permintaan. Maukah kamu melakukannya untukku, Balin," ucap Karina dengan nada yang lemah. Lebih bisa dikatakan bisikan.
“Ya, Karina. Katakanlah!”
“Aku ingin kamu yang merawat anakku, jangan pernah pertemukan dia dengan ayahnya. Cukup kamu saja yang menjadi ayah dari bayi itu. Aku titip dia padamu.”
“Perlu kamu tahu, Karina. Aku mencintaimu sejak kita masih kuliah. Perasaanku padamu lebih dari seorang sahabat. Apapun yang kamu minta akan aku penuhi. Aku akan merawat anakmu dan jika memang kamu tidak bahagia dengan rumah tanggamu, aku akan membawamu pergi.”
Karina tersenyum. Dia seperti orang mengantuk. Namun, dia berusaha untuk tetap membuka mata. Napas beratnya semakin terdengar jelas.
“Benarkah itu, Balin. Kau sungguh mencintaiku?”
Tangan Karina yang ada di genggamanku mendadak melemah. Karina seperti orang yang tertidur.
Tidak. Tidak. Jangan.
Aku baru saja menyaksikan adegan melahirkan yang membuat hatiku ngilu. Namun itu bukan apa-apa. Puncak dari yang paling menyesakkan dada adalah mata Karina tak terbuka lagi. Aku berkali-kali memanggil nama Karina. Mengguncangkan badannya. Mengharapkan dia bangun dan ini hanyalah sebuah gurauan.
Aku mengecek nadi Karina yang sudah tak berdenyut lagi. Kini tubuh Karina telah kaku, dingin dan pucat.
Menundukkan kepala, menangis. Aku tak mampu berdiri dengan kedua kakiku. Sebuah kenyataan yang amat pahit. Perempuan yang aku kagumi sejak dulu, menghembuskan napas terakhirnya tepat di depan mata kepalaku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Senajudifa
adih tria novelku sdh sedih baca novelmu aku jd ingin menangis😭😭 kuberi balik like dan fav aj kali y biar semangat
2022-06-05
1
tria sulistia
tenang ga ada kuntilanak nya kok
2022-05-17
0
Caca Merica
😭😭😭😭😭😭😭😭
2022-05-17
1