"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?"
Tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee siu.
Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan. Akan tetapi kedukaan hati seorang anak berbeda dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biarpun digerakkkan angin ribut ke arah manapun juga, setelah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah. Tangis bagi anak-anak merupakan obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin, sebaliknya orang tua bahkan menggunakan tangis untuk memperhebat luka di hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.
"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantar kalian ke sana dan untuk sementara kalian tinggal di sana bersama sukong kalian..."
"Aku tidak mau..." Tiba-tiba Cia Ling berkata merengek.
"Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"
Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya.
"Tentu saja, kalau ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal dulu bersama kakek gurumu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."
Akhirnya dua orang itu dapat dibujuk dan dengan membawa pakaian dan barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu lalu mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju ke kuil yang letaknya di luar kota.
Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan cepat menembus kabut di pagi hari. Akan tetapi setelah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk dan mukanya masih pucat dan diliputi kedukaan. Di dalam kerata itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang hancur oleh perbuatan Siluman Gua Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan diurus oleh para tetangga.
Setelah terjadi peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu membawa mereka pergi dengan kereta ini. Pagi itu sunyi sekali, tidak ada seorangpun manusia nampak di sekeliling tempat itu.
Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walaupun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara. Diapun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, malapetaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Apalagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah Louw Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu kini telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak ada di dekat peti mati.
"Aku harus membalas dendam ini!"
Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat. Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar akan hal ini, tentu mereka takkan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng dan hatinya menjadi bimbang dan bingung.
Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan nampak panik. Kwee Siu memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang amat kuat. Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut dan dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya. Tiba-tiba kedua ekor kuda itu meringkik lagi bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan.
Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba seekor di antara kuda itu mengeluarkan suara memekik dan roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika. Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan diapun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan. Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak. Siluman Gua Tengkorak. Rasa takutnya lenyap ketika dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.
"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Dan Kwee Siu lalu menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya. Siluman itu mengeluarkan suara tawa panjang dan segera menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Namun, Kwe Siu yang dikuasai dendam dan kemarahan, menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.
Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling, yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.
"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini..."
Bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak. Kwee Siu melawan mati-matian, namun siluman itu sungguh amat lihai, terlalu lihai baginya. Apa lagi karena semua serangannya seepertinya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan.
Bagaimanapun juga, pendekar yang merasa dendam, marah dan penasaran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.
Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, tidak terlalu dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersendau gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencintai.
Mereka adalah Ceng Thian Sin, pemuda berwajah tampan nan gagah. Dia adalah pendekar sadis. Bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia juga adalah seorang pemuda berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Sedang sang gadis yang cantik jelita dan gagah itu, juga bukan seorang wanita sembarangan. Ia bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin. Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi.
Pada waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama-sama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang menentang kejahatan. Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Taigoan, pada waktu melewati hutan itu, timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.
"Lihat kelinci di sana itu!"
Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.
"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp!"
Thian Sin tertawa. Mendengar suara ketawa yang tidak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya menengok dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut.
"Kenapa kau ketawa seperti itu? Menertawakan aku?"
Thian Sin tertawa makin geli.
"Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti kalau membayangkan tubuhmu... aih, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."
"Tarrr...!"
Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada di punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda
"Dasar mesum!"
Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.
"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!"
Kata Kim Hong akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya sudah meloncat ke depan dan ia sudah mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati dikejar kuda besar. Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu diapun membedal kudanya mengejar kelinci.
Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, bahkan dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang-kadang bersikap seperti kanak-kanak dan juga mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka mau, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci.
Akan tetapi, pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu dan mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tidak berniat untuk mempergunakan ilmu kepandaian mereka.
Justru di sinilah letak kegembiraannya. Mempergunakan kelincahan kuda saja dan berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar dan beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap dan lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang. Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu kemana kuda mereka menuju. Tiba-tiba mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.
Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut.
Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu. Ketika mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa dan mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.
Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Kim Hong berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.
"Eh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan kenapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"
Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu mengendongnya,
"Ceritakan, apa yang telah terjadi? Kami akan menolongmu,"
Kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu. Rupanya Cia Liong juga sudah dapat mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat,
"Ayah kami dibunuh siluman..."
"Apa...?"
Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut. Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut.
"Kenapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" Katanya.
"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."
"Ahh...!"
Kim Hong juga terkejut "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"
"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu, naik kereta akan tetapi di jalan... di jalan... siluman itu menghadang dan sekarang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."
"Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.
"Di sana..." Cia Liong menunjuk ke belakang.
"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!"
Belum habis kata-katanya, Thian Sin sudah lenyap, ia melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Kim Hong menuntun dua ekor kuda dan mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, dan iapun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, ia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu memperoleh kekuatan dengan memberikan pertolongan pertama. Kim Hong pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.
"Paman Kwee..."
Dua orang anak itu menangis dan mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang melarikan dua orang anak itu, yang sepertinya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.
Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya luka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu menggerakkan mata dan bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah.
"Si... siluman... gua... tengkorak... ahhhh... tewas semua...su... su..."
Kwee Siu tak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.
"Paman...!"
Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, dan menangis. Akan tetapi Kim Hong dapat membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu.
Mereka berdua maklum bahwa di balik semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini dan selain menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik "siluman". Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Gua Tengkorak.
Mereka belum pernah mendengar nama ini namun mudah diduga bahwa penjahat-penjahat itu tentulah yang memakai nama Siluman Gua Tengkorak. Setelah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lalu menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.
"Anak-anak, jangan kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian kami akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu,"
Kata Kim Hong dengan suara membujuk.
"Sebaiknya katakan dulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?"
Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."
"Marga Cia...?"
Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap merek.
Biarpun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong dapat menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Gua Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas oleh penyerbuan siluman itu. Kemudian bahwa mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.
"Jadi ibumu diculik penjahat malam tadi?" Tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya.
Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Gua Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Ia tidak tahu apakah ia menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.
"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua lalu dilempar ke bawah, untung ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana,"
Kata Cia Liong. Anak inipun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.
"Kim Hong, kita membagi tugas sekarang. kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang bisa dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."
Kim Hong mengangguk.
"Baik, aku akan memakai kereta ini. Dan di mana kita akan bertemu dan kapan?"
"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore." Kim Hong mengangguk.
Dua orang yang tadinya bersendau-gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali telah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan walau hanya dengan gerak-gerik dan pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti. Memang, kedua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga memiliki pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.
Kim Hong lalu mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke kota Tai-goan dengan maksud untuk mencari desa di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments