2. Di Hadapan Zeev dan Semua Orang

KEPERGIAN Zeev telah membuat malamku menjadi panjang layaknya waktu yang kuhabiskan semalam, mengingat ragaku kesulitan tertidur sebab jiwaku masih menginginkan kehadiran Zeev di tengah-tengah muka bumi ini. Hidupku yang hampa tanpa Zeev justru kian menyusun bayangan Zeev paling sermpurna di kepala. Bukan bayang akan senyum indahnya yang setiap hariku damba atau pun suara tawanya yang setiap hariku idamkan. Melainkan segumpal bayangan terakhir Zeev ketika ia bersimbah darah tepat tiga langkah di hadapanku, dan ironinya aku hanya mampu terpaku penuh kedaifan.

Lebih buruknya, orang-orang disekitarku memaksaku untuk menghormati bagaimana cara Zeev memutuskan berpulang. Namun, pandanganku tertutup kabut tebal sehingga aku tidak mampu melihat kapan ddan di mana datangnya hari ketika aku dapat merelakan kepergian Zeev dengan penuh keikhlasan. Entitas Zeev mungkin sudah tidak akan mampu kutemukan lagi di belahan bumi bagian mana pun. Namun, Esensi Zeev kiranya akan selalu hidup bersama anasir yang telah menyatu dalam sanubariku.

Bila kemarin aku mengatakan dengan bangga bahwa cinta pertama adalah Zeev. Maka, mulai saat ini kebanggaan itu telah bertiwikrama menjadi sebuah trauma. Trauma yang akan selalu berputar bagai kaset butut di dalam gudang memori setiap hari seolah-olah tragedi paling nadir itu baru saja terjadi. Cinta pertamaku yang indah telah menjadi sesuatu yang paling tidak ingin aku temukan lagi. Zeev yang mengajariku akan indahnya cinta yang belum pernah kujumpa, pula Zeev yang kejam meninggalkanku dalam keadaan babak belur tanpa sedikit pun membekaliku eliksir.

*A*pa aku punya kesempatan untuk lupain kamu, Zeev?

“Lunar! Bangun!” sayup-sayup pekikan mama terdengar masuk melalui celah-celah pintu kamar, memburaikan lamunan yang merasuk untuk menyambut pagiku.

“Iya, ma! Aku udah bangun!” aku membalas setengah hati, mulai beringsut dari ranjang queen size yang sudah bekerja keras dalam menemaniku menangis semalaman hingga akhirnya terlelap kelelahan.

Aku tidak lantas bertolak menuju kamar mandi, melainkan meluncur menuju dapur di lantai satu untuk mendapati mama. Seperti pada umumnya, mama yang pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga biasa tentu akan selalu berada di dapur di pagi hari untuk membuatkanku dan papa sepiring sarapan. Oh, ralat. Sejatinya ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan yang biasa. Karena semua ibu selalu mengemban tugas yang luar biasa sesuai dengan porsi mereka. Dan aku selalu bangga dengan mamaku.

“Ma? Hari ini boleh ya, aku gak masuk sekolah?” aku berusaha meminta izin untuk membolos, berharap mama mengerti aku.

“Alasannya?” selidik mama sambil berkacak pinggang.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tekanan yang amat besar di pundak. “Ya, aku gak mau aja! Aku masih perlu tenangin diri aku!” tandasku, berharap mama mengerti bahwa ada sebuah mental yang perlu dijaga.

“Enak aja! Mau jadi apa kamu, Lunar? Nilai aja pas-pasan! Udah deh, gak usah ngaco! Sekarang kamu cepet mandi! Liat tuh, udah jam berapa!” cecar mama, wanita bersurai ikal itu justru mengomeliku, menghancurkan ekspektasiku terhadap harapan terakhirku.

Mama memang selalu begitu. Bahkan Viona pernah menyarankanku untuk membawa mama ke psikiatrer, mengingat ia berprasangka bahwa kemungkinan mama memiliki kepribadian ganda. Kadang kelembutan mama dapat mengalahkan kain sutra, pun kadang keganasan mama dapat menandingi terkaman serigala. Barangkali mulai sekarang aku perlu menimbang-nimbang. Haruskah aku mengikuti saran Viona saja?

“Tunggu apa lagi, Lunar? Tunggu centong nasi ini melayang?” celetuk mama, sukses membangunkan lamunanku sehingga kedua tungkai ini berlari menelusuri anak tangga.

Sebenarnya aku bisa saja membolos diam-diam tanpa mama tahu. Namun, hal itu pasti akan memengaruhi jumlah kehadiranku di rapor, yang di mana ujung-ujungnya mama juga akan tahu. Bahkan boleh jadi mama akan lebih murka bila tahu belakangan. Aku tidak mau mempertaruhkan masa depanku yang akan mendapatkan potongan uang saku. Tidak mau. Jadi, di sinilah aku! Kendati sekolah bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan, namun aku tetap harus berakhir di depan gerbang SMA Negeri Dirgantara seperti sekarang.

Ketika aku melewati gerbang dan mulai berada di area pelataran, aku menemukan banyak siswa-siswi lain yang lalu lalang sambil bersenda gurau seolah-olah peristiwa kemarin bukan sebuah masalah besar. Apa yang membuat mereka dengan mudahnya tersenyum seperti itu? Padahal Zeev adalah ketua OSIS yang kehadirannya selalu menyenangkan bagi sebagian besar orang. Apa hanya ada aku yang masih mengingat Zeev di sekolah ini?

“Zeev?” kedua bibirku enggan terkatup manakala mendapati segumpal daging yang menyerupai Zeev. Kubiarkan kedua lenganku memijat bola mata sebelum akhirnya kuputuskan untuk memastikan dengan saksama pemuda berpenampilan seperti Zeev di tengah pelataran itu.

Oh, tuhan! Apakah aku sebegitu terpukulnya atas kepergian Zeev sehingga sekarang ini aku mulai berhalusinasi? Atau tiba-tiba aku diberi kekuatan super dengan memiliki indera keenam untuk melihat sosok-sosok tak kasat mata? Atau jangan-jangan ini hanya sebuah mimpi semu sebagai manifestasi jawaban Zeev padaku?

Apa pun itu alasannya, aku tidak peduli. Yang inginku lakukan saat ini hanyalah berlari menemui Zeev, menatap wajahnya dari dekat, serta memeluknya erat. Dan aku telah melakukan tiga keinginanku itu sekarang secara bersamaan, keinginan yang baru sempat aku lakukan pada Zeev kendati hanya dalam mimpi.

“Zeev!” kudekap dengan erat sehingga kami tidak menyisakan jarak. Bahkan kini aku dapat menghirup kembali aroma Zeev yang terasa sangat nyata. “Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi, Zeev!”

Aku benar-benar dibuat seperti berada dalam sebuah utopia dengan kehadiran Zeev sebagai euforia. Apa ini namanya? Bahkan aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Zeevku sekarang berada dihadapanku. Cinta pertamaku yang tinggi dan rupawan ini telah berada di sisiku. Gelombang bahagia yang menggenangi amigdala bahkan tidak menyadari akan mobilitas Zeev yang perlahan sudah melepaskan peluk eratku.

“Lunar, tolong jangan kaya gini! Malu diliatin banyak orang!” bisik Zeev sambil mengedarkan sudut pandangnya.

Tapi, aku tidak peduli, sebab yang kumiliki hanya saat ini. Sebelum aku terbangun dan kehilangan semuanya, maka aku hanya akan melakukan apa yang selama ini ingin aku lakukan. Aku yang tidak bersedia mengindahkan permintaan Zeev lantas menggenggam kedua tangannya dan seraya berkata “Aku tahu mungkin waktu kita gak banyak. Jadi, aku akan bilang langsung ke intinya aja, ya.”

Zeev masih pura-pura tidak mengerti dan melukis kerutan pada keningnya.

“Zeev, sebenernya aku udah lama suka sama kamu. Tapi, aku terlalu malu buat jujur tentang perasaan aku. Aku tau kamu mungkin gak bisa balas perasaan aku karena kita sekarang ada di dunia yang berbeda. Dan terakhir aku cuma mau bilang...”

Tiba-tiba jantungku berdegup melebihi ritme yang seharusnya, membuatku gugup haruskah aku melanjutkannya? Tapi, kalau bukan sekarang mungkin aku tidak akan memiliki kesempatan ini selamanya. Oh, bahkan disituasi sempit seperti ini mengapa nurani dan sanubari justru meragu dan membuatku gamang? Sudahlah, masa bodoh! Lakukan saja, Lunar!

Cup!

Pada akhirnya aku berhasil mendaratkan kedua bibirku pada permukaan mungil lembab Zeev sambil memejamkan mata. “Makasih, Zeev.” sambungku sebelum akhirnya kedua tungkai ini terbirit-birit begitu saja setelah berhasil mengungkapkan isi hatiku tanpa ada satu pun penyesalan yang tertinggal.

Adrenalinku seketika meningkat dan berpacu dengan cepat manakala meninggalkan Zeev yang membeku di tengan pelataran. Aku terus berlari sambil bersorak riang seolah-olah aku adalah satu-satunya orang paling bahagia di sekolah. Aku harap yang tadi itu benar-benar bibirnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!