Acara rapat tadi membuat Shakira mengantuk bukan main. Di kelas pun ia memilih untuk tidur bak beruang kutub ketimbang menyimak argumen teman-temannya. Mau seberapa kerasnya mereka bercakap ia acuh tak acuh. Ia hanya ingin beristirahat untuk sekedar menyegarkan badan.
Tepuk tangan dan sorak-porak berlangsung meriah menghebohkan seisi kelas—hampir seisi koridor. Beberapa dari mereka merangkul atau memuji Nami, sisanya pada sibuk dengan media belajar masing-masing.
"Selamat ya, Mi." Siswi berkacamata dengan tinggi setara itu merangkul Nami layaknya sahabat karib.
"Hehe." Nami terkekeh berkacak pinggang. "Makasih banget, Rai."
Raiza tertawa lalu melepas rangkumannya, menoleh pada tiga orang yang mengajaknya jajan. Lantas ia menoleh ke arah Nami yang tengah mengucapkan terima kasih. "Gue jajan dulu ya!"
"Ah, iya." Nami menoleh mengangguk lalu melambaikan tangan. Pandangannya menatap punggung Raiza yang keluar kelas bersama teman-temannya. Perlahan senyumannya merenggang, bahkan tatapannya berubah kuyu. Iris coklatnya mengerling menatap sosok pemuda di bangku belakang; Sosok bersurai coklat yang menunduk membaca tebalnya buku paket. Dari tebal dan ukuran bukunya, sepertinya buku kimia.
Lantas Nami menghampiri pemuda itu. Tangan kanannya menapak di meja sang pemilik bangku, menarik perhatian pemuda dengan bekas luka di alis kanannya untuk mendongak. Dia rela menghentikan kegiatan tulis-menulisnya guna bertatap langsung dengan sang pengunjung. Nami mengerling sekilas hanya sekedar melihat Shakira yang tertidur dalam tangkupan.
"Tugas lo belum selesai, Ji?" tanya Nami tanpa ekspresi, sesekali melirik buku paket kimia yang terbentang begitu saja di meja.
Aji mengalihkan pandangannya sejenak sebelum menunduk mengangkat bahu. "Kamu mau ngomong sama aku secara pribadi, kah?"
Nami tak menggubris. Ia tetap berdiri menatap pemuda di depannya. Biar pun tatapannya begitu kuyu, setidaknya hati Nami sungguh iba. Ia tak tahu ingin berkata apa. Sama-sama susah diungkapkan, baik dalam hati maupun secara lisan.
"Ikut gue ke perpus." Ucapan lirih Nami lagi-lagi menarik perhatian Aji. Mata dan mimiknya terpancar hampa, entah apa yang dia pikirkan saat ini. Nami sendiri berbalik dan berjalan keluar kelas seraya menarik ujung manset warna biru cerah yang disusul oleh Aji di belakang. Setiap mereka melihat, Nami dan Aji hanya berpasang muka tanpa ekspresi.
Yang Nami tahu tentang perpustakaan di SMA ini hanya dua kata: sepi pengunjung. Mereka tak masuk ke sana, kedatangannya hanya untuk sekedar duduk di depan perpustakaan berpintu kaca dua pintu. Terlihat pelajar dari kelas yang berbeda berlalu lalang membawa barang, entah semacam buku atau jajanan dari kantin. Tak sedikitpun guru-guru dengan seragam PNS, sesekali mereka berhenti untuk menyalami murid-muridnya yang berpapasan.
"Lo kenal Bu Eti gak, Ji?" Nami memangku rahang bawahnya dengan lipatan jemari tangan.
"Guru BK?"
Nami hanya menggumam pelan sebagai jawabannya. Mereka kembali membisu; Nami menatap lurus, Aji mengerling ke arah masjid sembari bertopang dagu.
"Lo ingat gak, Ji?" Nami mengerling untuk memastikan pemuda di sampingnya masih mau mendengar curahan hati si tomboy bertahi lalat di sudut mata kanan. "Waktu kita usilin Pak Ufal."
Aji bergeming, ia tak mau menggubris ucapan Nami. Matanya kian menyipit seperti menahan bendungan air asin di pelupuk mata.
Nami mendengus enteng dan menatap ke depan kembali sembari tersenyum tipis. "Waktu itu gue cuma matahin dudukan kursi empuk dan Pak Ufal langsung jatuh pas duduk. Pas dia tanya siapa pelakunya, gue tunjuk lo pelaku yang ngejahilin Pak Ufan dan lo langsung mukul gue tanpa ampun."
Aji menunduk membiarkan bulir asin mengalir di kedua pipi tirusnya. Kini topangan dagu yang senantiasa menyangga rahang bawahnya berganti mengusap tengkuk.
Nami justru tertawa kecil. "Sampe sekarang gue masih inget kejadian itu, padahal udah dua taun kejadiannya." Begitu irisnya bergerak ke kanan, Nami kembali bermuka dingin. Ia seolah-olah tahu dengan resikonya bila ia bernostalgia dengan Aji.
"Ji," Nami meringkuk memeluk lututnya, "lo banyak berubah sekarang. Apa gara-gara kelakuan bejat waktu SMP lo sekarang hijrah dan suka gugup bila berinteraksi sama orang lain?"
"Maaf ...," lirih Aji menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa lo minta maaf ke gue?" Nami menoleh dan menepuk punggung Aji sebagaimana Nami bersekongkol dengannya saat masih menjadi preman sekolah. "Bilang maaf ke Pak Ufan, dia korban atas perlakuan bejat lo."
Akhirnya Aji menoleh dengan mata sembab, hanya menatap Nami sekilas sebelum menunduk. "Aku gak yakin Pak Ufan mau maafin aku."
"Ji, gue kasih motivasi nih ya." Nami mendekati Aji lalu merangkulnya tanpa harus tangan menyentuh wajah kasar Aji. "Lo masih gak tau arti hijrah. Lo bilang gak yakin, itu berarti lo masih ragu sama keputusan lo sendiri. Mau hijrah menjadi lebih baik itu butuh proses, Ji. Lo bilang gak yakin Pak Ufan mau maafin lo, lo pikir sisi positif. Bisa aja Pak Ufan orangnya pemaaf. Yang penting lo udah punya niat buat berubah, Insya Allah! Allah Maha Pengampun, Allah pasti kasih jalan yang terbaik buat niat lo."
Sejenak Aji terhenyak, mencoba merenung mencerna kalimat motivasi Nami. Sedangkan gadis bermanset biru gerau ini bergeser menjaga jarak dengan Aji. Aji mengerling, melihat Nami yang tersenyum ramah menyahut sapaan teman-teman yang berlalu lalang lewat lambaian tangan. Nami benar, seketika Aji mengucapkan istigfar tiga kali sembari mengelus dada bidangnya.
"K-kau sendiri?" Pertanyaan Aji membuahkan kernyitan bingung Nami. Aji menatap ke depan guna tak saling berkontak mata dengan Nami. "K-kata mereka, kamu juga lagi hijrah."
Nami tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan kurus seperti Putri bangsawan kebanyakan yang suka ada di film-film. "Iya, gue lagi dalam proses hijrah. Gue coba ngebenerin tali persaudaraan sama orang yang gue sakiti."
"Termasuk Pak Ufan?"
Nami mengangguk mantap. "Entah kenapa kalo udah minta maaf sama berteman baik dengan orang yang gue sakiti itu malah membuat hati gue makin adem. Adeem ayem gue."
"G-gitu, ya?" Aji tersenyum tipis lalu menghirup oksigen banyak-banyak yang disusul dengan hembusan panjang. "Moga Allah mau temenin aku buat minta maaf sama mereka."
Nami mengikik memegang perut, spontan menepuk pundak bidang Aji dengan lembut. "Lo minta bantuan sama Allah buat intropeksi diri, pastilah dikabulin. Apalagi intropeksi diri soal akhlak."
"Hee? Beneran?" Aji menatap Nami dengan mimik polos. Ia mendongak sambil menggaruk pangkal kepala dan menepuk keningnya. "Astagfirullah, lagi-lagi aku lupa."
Barulah Nami tertawa terbahak-bahak sampai membungkuk menepuk-nepuk lutut Aji. "Lo aneh banget, Ji. Beneran."
Aji mengerling kesal. "B-biarin."
"Assalamualaikum." Kedatangan seseorang bernada nyaring nan kekanakan menarik perhatian dua insan ini. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
anotherbyl
Ketawa aku... Ketawa tanpa alasan😅
Follback kak, jika berkenan😁👋
2021-03-24
2