Adam Halilintar berangkat menggunakan kereta api dari stasiun Bandung. Diantar oleh Ayah dan Ibunya sampai ke stasiun.
Sebenarnya hatinya mendongkol. Karena ayahnya tidak mengizinkannya membawa kendaraan pribadi, baik itu mobil maupun sepeda motornya ke desa Ustadz Zaenal.
Yang lebih menggundahkan hatinya adalah uang untuk bekal hidupnya di tempat yang ia tuju sangat terbatas. Sejak ia terlibat kasus narkotika, Ayahnya membatasi uang jajannya. Agar ia tidak mampu lagi membeli barang haram tersebut.
Ia tahu maksud Ayahnya sangat baik. Tetapi membuatnya tercekik. Standar dan gaya hidup harus ia turunkan.
"Biaya hidup di desa tidak besar seperti di kota. Lagian kalau ada hal darurat, kan ayah tinggal transfer saja. Gampang kan?" Ucap Ayahnya. Sangat tidak berprikemanusiaan terhadap anaknya.
Tetapi akalnya tidak habis untuk menyiasati ayahnya. Semalam ia telah merayu ibunya. Dan ibunya memberinya uang jajan tanpa sepengetahuan ayah.
Setelah mendapat uang jajan diam-diam dari ibunya, ia mendatangi dua kakak perempuannya. Arayu Halilintar yang bekerja di sebuah bank swasta dan Renata Halilintar yang merupakan Aparatur Sipil Negara pada salah satu Organisasi Perangkat Daerah di Bandung.
"Teh Yu, ayah mau membuangku ke negeri orang. Nggak kasihan melihat ademu ini?" ujarnya memasang jurus rayuan kepada Arayu.
"Bilang aja kalau ada maunya. Pasti minta duit. Nggak usah melankolis gitu," sahut Arayu.
Arayu adalah kakak yang paling mengerti dan tidak pelit. Saat itu juga ia mendapat subsidi bekalnya untuk berangkat ke pengasingan.
Arayu sangat berbeda dengan Renata. Renata ratu tega padanya. Apalagi sejak ia menghajar pacar Renata, karena mendapati Renata menangis sehabis bertengkar dengan sang pacar. Renata malah menyalahkannya. Terlalu mencampuri urusan orang menurut Renata. Padahal ia hanya ingin melindungi saudara perempuannya saja.
"Makanya, jangan terlalu nakal jadi anak. Teteh belum pernah melihat anak senakal kamu."
Bukannya dapat uang jajan seperti yang diberikan Arayu kepadanya. Ia malah diomeli oleh Renata.
"Kalau Teh Re nggak mau ngasih, Adam pinjam deh. Sepulang dari pengasingan aku balikin," dalihnya.
"Betul kamu balikin?"
"Iya."
"Berapa?"
Adam menyebut sejumlah nominal.
"Separuhnya saja," potong Renata.
Sudah dalam bentuk pinjaman, hanya diberikan separuh pula. Untung saja ia sudah melipatduakan proposalnya.
Begitu kereta api mulai melaju, ia pun mengirim pesan kepada Renata.
Adam:
Teh, utangku dibayar sama ibu aja ya. Teteh minta sendiri sama Ibu.
Renata:
Dasar kampret kamu Dam. Aku mau minta Ayah biar kamu tinggal lebih lama di kampung Ustadz Zaenal. Rumah lebih tenteram tanpa kamu.
Ia tertawa sendiri di atas kereta api membaca pesan Renata. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana wajah Renata. Seperti anjing galak sehabis beranak.
Di atas kereta api ia duduk sebangku dengan seorang Ibu yang hendak menemui cucunya di Kabupaten yang sama dengan yang ia tuju. Nenek tepatnya.
Ia menjadi pendengar yang setia saat nenek itu bercerita tentang masa muda, anak-anak serta cucu-cucu. Meskipun topik pembicaraan si nenek tidak menarik, namun ia tetap menunjukkan ketertarikannya dengan pembicaraan si nenek.
Disitulah kelebihan dirinya. Mudah bersosialisasi, dan mudah bergaul meskipun di tempat baru. Ia mudah membaur di kelompok manapun berada serta beradaptasi dalam berbagai kondisi. Termasuk dalam kelompok orang-orang yang berusia senja seperti di sampingnya.
Ia juga membantu mengangkat koper si nenek turun dari kereta api saat tiba di stasiun yang dituju.
"Terima kasih, Nak. Kamu pemuda yang baik. Pasti orang tuamu bangga memiliki anak seperti kamu," lontar Nenek itu, sambil memegang lengannya.
Ia nyaris tergelak mendengar kalimat yang dilontarkan nenek tersebut. Seandainya dirinya adalah anak yang membanggakan, tidak mungkin ia berkereta api sampai sejauh ini.
Begitu memastikan si Nenek bertemu dengan jemputan, ia keluar stasiun untuk menunggu angkutan kota. Dari stasiun ia naik angkutan kota ke terminal.
Dari terminal ia masih harus menaiki angkutan umum pedesaan. Namun sebelumnya ia mengganjal perut dengan karedok terlebih dahulu.
Angkutan umum pedesaan dipenuhi ibu-ibu yang baru pulang dari pasar kota. Kakinya tidak bisa bergerak karena ruang kaki sarat keranjang belanjaan dan sisa jualan para ibu-ibu. Mulai dari petai, jengkol, ikan, gula dan terigu.
Bau amis ikan berpadu dengan bau keringat membuat pening kepalanya. Belum lagi suara ribut ibu-ibu yang asyik bergunjing. Meskipun hati mengumpat karena ayahnya tidak mengizinkannya membawa kendaraan pribadi, ia tetap memasang wajah ramah.
Hidupnya betul-betul berubah. Biasanya ia dikerumuni anak ABG, sekarang ia berada diantara ibu-ibu.
"Orang kota ya, De?" tanya seorang ibu yang duduk berhadapan dengannya.
"Iya, Bi. Dari Bandung. Kok tahu?"
"Habis mirip artis," celetuk satu orang ibu yang duduk di kursi paling belakang.
Membuatnya tertawa senang, dipuji mirip artis. Ia pun balas memuji ibu-ibu itu.
"Ibu-ibu di sini punya turunan oriental ya? Kulitnya cerah-cerah."
"Oriental itu apa, De?"
"Oriental itu seperti China, Korea, dan Jepang."
Meskipun pujiannya hanya omong kosong, namun berhasil membuat wajah ibu-ibu itu tersipu dan berseri-seri.
"Ah Ade ini bisa aja, kami asli sini Kok. Memang kami mirip pemain drama korea itu ya?"
Setidaknya ia sudah punya beberapa teman satu kecamatan, kecamatan Sukosari. Ibu-ibu yang baru pulang dari pasar.
Ia harus mengikat rambutnya yang panjangnya hampir sampai ke bahu, karena laju kendaraan semakin cepat. Angin bertiup semakin kencang.
Angkutan pedesaan itu berangkat dari terminal kota ke ibu kota kecamatan, lalu ke desa-desa. Ia harus melalui dua desa sebelum sampai ke desa yang ia tuju. Desa Cisari.
Perjalanannya belum berakhir sampai disitu. Karena rumah Ustadz Zaenal berada di sebuah dusun. Dusun Bukit Hejo.
Karena angkutan umum yang menuju dusun yang berada di ketinggian itu hanya pada hari pasar, dua kali dalam seminggu, maka ia harus naik ojek menuju dusun tersebut.
Kondisi jalan menuju dusun sudah beraspal. Hanya saja lebarnya cukup sempit. Dua mobil tidak bisa berpapasan.
Sebenarnya pemandangan sepanjang jalan cukup memanjakan mata. Deretan bukit hijau dengan topografi yang bergelombang, serta lembah-lembah yang hijau. Namun sayang, ia bukan Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam). Ia lebih menyenangi suasana kota beserta hiruk pikuknya. Juga gadis kota yang cantik dan sexy.
Ternyata jalan menuju dusun Bukit Hejo, hanya separuh saja yang teraspal. Sisanya adalah jalan tanah. Membuatnya tidak habis pikir, bagaimana bisa pemerintah tidak memperhatikan warganya. Ketimpangan pembangunan sangat jelas terlihat.
Warga yang berpapasan meskipun tidak saling mengenal, tersenyum dan menyapanya. Sifat ramah tamah yang merupakan budaya Indonesia, yang masih melekat, belum tergerus oleh zaman.
Begitu tiba di dusun Bukit Hejo, hari sudah beranjak petang. Para petani terlihat pulang dari kebun masing-masing. Ada yang mengendari sepeda motor, ada yang naik sepeda. Mengangkut hasil kebun di belakang. Ada pula yang berjalan kaki memikul cangkul dan menjinjing botol air.
"Dimana, De?" tanya tukang ojek tersebut.
"Stop dulu, Mang. Aku telepon dulu."
Tapi jawaban tukang ojek membuatnya nyaris terjungkal dari atas sepeda motor.
"Di sini nggak ada signal, Dek. Kalau mau nelpon, harus naik ke bukit itu." Tangan tukang ojek itu menunjuk sebuah bukit.
Bagaimana ia bisa hidup tanpa komunikasi lewat jaringan seluler dan internet?
Kampung macam apa ini?
Rasa kesal pada ayahnya menyeruak di dadanya. Ia merasa seperti sampah yang dibuang ayahnya. Ia lebih memilih berada di dalam penjara tetapi bisa mengakses internet daripada tinggal di tempat ini tanpa internet.
Mungkin kampung ini dihuni makhluk prasejarah yang tidak membutuhkan teknologi komunikasi.
Langit sudah beranjak gelap. Suara orang mengaji terdengar dari pengeras suara Masjid. Pertanda hampir masuk waktu Maghrib. Tampak beberapa orang warga memakai kopiah dan mukena turun dari rumah masing-masing yang kebanyakan rumah panggung, berjalan menuju Masjid.
Maksud hati ingin menanyakan rumah Ustadz Zaenal kepada salah seorang warga yang sedang berjalan menuju masjid. Tetapi karena kandung kemih meminta untuk dikosongkan, ia mendatangi satu rumah warga, yang bukan rumah panggung, agar ia tidak perlu menaiki tangga lagi. Rumah itu terbuat dari batako tanpa diplester.
"Assalamualaikum," serunya begitu berada di depan pintu.
Matanya mendapati empat orang pemuda yang mungkin seusia dengannya sedang bermain kartu. Mereka menghentikan aktivitas dengan begitu panik. Melihat ada tumpukan uang seribuan di atas meja, ia yakin bila anak muda itu sedang bermain judi.
"Waalaikumsalam. Silahkan masuk," jawab salah seorang dengan sangat ramah. Sementara wajah keempat orang anak muda itu berubah pucat saat ia bergabung duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari plastik.
"Maaf mengganggu, mau bertanya dimana rumah Ustadz Zaenal?"
"Rumah Ustadz Zaenal ada di sana, dekat Masjid. Saya antar Pak?" Ujar salah seorang di antaranya.
"Terima kasih. Tapi boleh numpang toilet dulu?"
Wajah anak muda yang mungkin pemilik rumah mengernyit.
"Toilet itu kamar mandi. Makanya sekolah, jangan taunya manjat pohon aren saja," seloroh salah seorang lagi.
Namun saat ia kembali dari kamar mandi, di ruang tamu yang tersisa tinggal pemilik rumah. Meja juga telah bersih dari kartu remi dan uang seribuan.
"Kemana yang lain?" tanyanya.
"Sudah pulang, Pak."
"Jangan panggil aku Pak. Apa aku sudah kelihatan tua? Oh ya, siapa nama kamu?"
"Saya Jusman. Memang bapak bukan polisi ya?"
Ia tergelak mendengar pertanyaan polos Jusman, dan mengerti mengapa tiga orang yang lain buru-buru kabur saat ia berada di kamar mandi. Setelah memberi penjelasan singkat siapa dirinya, ketegangan pada wajah Jusman meluruh.
Begitu awalnya ia mengenal Jusman, Ramli, Arsal dan Yunus, pasukan barunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Lily
tuh diliat Teh,orangnya ada didekat mu, adekmu 😆
2024-01-04
1
nacita
gen halilintar ya ini 😂
2022-11-03
1
Reiva Momi
suka thor
2022-10-26
1