Bel telah berlalu lima menit. Azura dan Dian berjalan lambat ke kelasnya. Niat mereka untuk mengikuti pelajaran matematika yang terbuang. Apalagi kalau bukan karena gurunya yang sangat galak.
Guru matematika terkenal dengan sifatnya yang keras. Dia seperti bisa menerkam siapa saja yang tidak memperhatikannya dan yang malas.
"Eh, Ra. Kita ke kantin aja, yuk!"
"Ok. Nanti lu yang tanggung jawab kalo kita dikasih tugas banyak sama guru singa itu." Dian merangkul pundak Azura lalu tersenyum sinis.
"Yare~ Yare~ Gitu doang, kecil!" Dian menjentikan jari.
"Apa yang kecil?" Suara tak asing berkumandang dari belakang mereka. Dua lelaki itu terkejut dan menoleh dengan wajah ketakutan.
"Ah itu, Bu. Nilai sikap Dian kecil." Azura menjawab dengan terbata-bata. Sebab yang mereka hadapi adalah guru matematika itu. Dian rada kesal. Tapi ia terpaksa mengeluarkan senyum manisnya pada guru tersebut lalu berkata, "Iya, Bu. Aku akan memperbaiki nilai ku dengan selalu mengikuti pelajaran ibu, hehe ...."
"Cepat ke kelas, sebelum saya hukum kalian!" bentak guru itu. Azura dan Dian berbalik badan dan mempercepat langkah masuk ke dalam kelas.
"Gara-gara lu, sih!" Azura melemparkan masalah yang mereka alami ke Dian. Lelaki itu tidak terima lalu ia mengerutkan dahi. "Kok gw, njir?"
"Gara-gara lu ngomong tadi!" tegas Azura. Ternyata guru itu mengikuti mereka, karena arah tujuan mereka yang sama.
"Ekhem!" Mereka tersentak dan langsung berlari ke tempat duduknya masing-masing.
****
Di lain pihak–
Derrel menghela napas panjang karena sudah merasa lelah karena kejadian pagi ini. Dia menuju kelas sambil menggenggam tali tas. "Semoga aja aku gak diganggu sama senior itu lagi."
Di tengah lamunannya. Seorang insan cantik melintas, rambutnya sebatas pundak, berwarna hitan dan lurus. Ia memeluk beberapa buku dan berjalan santai ingin ke kelas.
Dennis yang melihatnya langsung berhenti melangkah lalu menyapanya. "Pagi Kak Arel!"
Arel menoleh dan menyapa balik. "Oh? Pagi juga!"
"Udah bel, loh. Kakak mau kemana?"
"Eh ini aku mau ke kelas."
"Oh, ya sudah. Aku ke kelas duluan, ya~" Derrel melambai. Tapi sebelum pergi, ia sempat terfokus pada gelang berwarna emas di tangan Arel. "Wah, gelang kakak bagus!"
"Terima kasih, ini pemberian orang tuaku. Ya sudah, kamu ke kelas, nanti dimarahin guru."
"Hehehe ... iya, Kak."
Derrel dan Arel pun kembali melangkah. Tapi tak lama, Derrel pun berhenti sejenak untuk berpikir. Lalu ia memperhatikan sosok Arel dari belakang. "Tunggu, bukannya Kak Arel gak punya orang tua?" Derrel menggeleng dan menyingkirkan pikiran buruk. "Mungkin, orang yang menjadi keluarganya."
Saat sampai, Derrel menggeser pintu kelas. Sontak para murid menoleh ke arah pintu. Untung saja guru belum datang.
"Haduh ngagetin aja, kirain guru!" hardik siswa yang duduk dekat pintu.
"Eh, Rel. Jangan mentang-mentang kamu sering ngerjain PR, kamu ingetin guru ya!"
"Ba–baiklah ...." Derrel pasrah. Dia biasanya juga tidak memberitau guru jika ada tugas yang beliau lupakan. Mau jujur juga, tapi ancaman anak di kelasnya lebih menyakitkan.
Derrel duduk di paling depan, barisan kedua dari pintu. Begitu dia duduk, guru masuk ke dalam kelas. Semuanya pun kembali ke tempat duduk masing-masing.
Lalu para murid memberi salam serempak. Kemudian guru itu menaruh buku serta laptop yang dia bawa ke atas mejanya. "Ada tugas, kah, hari ini?"
Derrel membungkam mulut, sedangkan anak-anak lain berseru bahwa tidak ada tugas.
Guru wanita tersebut merasa agak curiga. Lalu ia pun mendekati Derrel. Dia tau kalau Derrel anak yang jujur. "Rel, ada tugas hari ini?"
Derrel spontan mengangguk, karena dia telah mengerjakan tugasnya. Jadi mau tidak mau, ia tidak bisa berbohong.
Lalu setelah menjawab, tiba-tiba Derrel merasakan aura menyeramkan di punggungnya. Seperti amarah semua orang dia resapi. Ditambah dengan hinaan serta caci maki yang dibisikan.
"Ya, mau bagaimana lagi. Aku sudah mengerjakan, otomatis aku mengangguk." Ucap batinnya pasrah. Derrel menghela napas, lalu mengeluarkan buku tugasnya dan memberikannya kepada guru dihadapannya.
Guru itu menerima buku Derrel. Lalu beliau memperhatikan muridnya. "Yang lain cepat kumpulkan ke meja ibu, ya!"
Dengan nada tak ikhlas mereka semua menjawab, "Iya ... Bu."
Satu persatu siswa maju. Sontak salah satu siswi meletakan bola kertas di meja Derrel. Lelaki itu diam-diam mengambilnya dan membacanya di bawah meja.
Semua hinaan, caci-maki serta sumpah serampah tercantum di permukaan kertas tersebut.
Derrel tidak menganggapnya serius karena ia sering mendapatkan banyak perkataan kasar seperti itu. Mentalnya sudah kuat untuk menerima itu semua.
Dia anak yang penyabar~
****
"Sekian pelajaran dari ibu, ya?" Guru di kelas Derrel menyelesaikan materi dan penjelasannya. Beliau membereskan barang-barangnya di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Namun sebelum pergi keluar kelas, ibu guru tersebut berpesan pada semuanya untuk segera mengerjakan PR yang dia berikan. Jika tidak dikerjakan, maka yang tidak mengerjakan itu tidak dapat mengikuti pelajarannya di kemudian hari dan tetap di ruang BK sampai bel istirahat.
Semuanya mengangguk. Guru itu pun pergi meninggalkan kelas. Tapi setelah guru itu pergi, tiba-tiba saja Derrel ditegor oleh salah satu teman kelas yang datang ke depan mejanya.
Sontak ia pun menoleh ke samping dengan wajah yang tenang, tapi sebenarnya ia mengumpat rasa takut yang berlebih dalam hati.
"Hei! Kau kan yang tadi bilang kalau ada PR. Sekarang ... kau kerjakan sendiri ya PR kami ini. Pokoknya besok harus udah selesai dan balikin bukunya ke kami lagi!" ucap teman sekelas Derrel yang merupakan ketua kelasnya.
Lalu ketua kelas itu memberikan tumpukan buku yang merupakan milik para teman-temannya. Setelah itu, ketua kelas memberi buku terakhir yang ia pegang. Ia memukul wajah Derrel dengan bukunya, lalu melemparnya di atas meja Derrel.
Derrel hanya terdiam sambil menyentuh pipinya yang sedikit memerah akibat pukulan keras dari buku itu. Ia juga menutupi setengah wajahnya dengan tangan.
Matanya sudah memunculkan air bening dari sela-sela mata. Tapi jangan sampai air mata itu mengalir melewati pipinya. Ia sangat takut sekali berada di tempatnya saat ini.
GRAB!
"Hei! Kau dengar, gak?!" Ketua kelas menjambak rambut Derrel lalu membentaknya dengan nada tinggi.
Derrel hanya mengangguk paham. Ia tidak kuat mengeluarkan suaranya. Karena jika dia bicara, maka yang keluar malah suara isakannya. Tapi tetap saja ekspresinya yang memalukan pun dapat terlihat.
"Hei lihat itu! Sudah besar masih menangis! Hahaha..." Seorang siswi menunjuk Derrel dan berteriak setelah ia melihat ekspresinya Derrel yang sekarang. Kemudian orang itu melempari sampah dari kolong mejanya ke arah Derrel.
"Huhu... anak emak, anak emak!"
"Sial ngakak, hahaha...."
"Sudah, ya anak emak! Sekarang kau kerjakan ini semua, oke!" ujar ketua kelas itu lagi. Kemudian ia melepaskan tangannya dari rambut Derrel dengan paksa, lalu memukul kepala belakang Derrel dengan santainya, setelah itu ia pergi kembali ke tempatnya.
Setelah ketua kelas itu pergi dan semua anak kembali ke urusannya masing-masing. Derrel pun didiamkan kembali dan sendirian duduk di depan.
Ia merapihkan rambutnya yang acak-acakan, lalu melirik ke arah tumpukan buku yang ada di depan mejanya.
"Aku tidak masalah mengerjakan PR orang sebanyak 29 orang ini. Yang aku takuti adalah... bagaimana jika kak Dennis dan Kak Rei tahu kalau aku harus mengerjakan ini semua?" Ia pun menunduk lalu mengepal tangan. "Mereka pasti akan marah lagi. Aku tidak mau teman-temanku kena omel oleh mereka."
"Ah, kalau begitu, apa boleh buat." Derrel kembali menatap tumpukan buku di atas mejanya. Ia akan terus menyembunyikan buku teman-temannya walau tasnya jadi mengembang dan semakin berat karena banyaknya buku yang ia bawa.
Namun bagi Derrel, itu tidak masalah selama teman-temannya dari kelas lain tidak tahu isi tasnya itu.
"Hei, nanti siang aku mau coba tembak seseorang ah. Aku naksir sama dia. Aduh malu rasanya."
Derrel mendengar seorang anak perempuan yang duduk di belakangnya sedang mengobrol dengan temannya yang lain. Perbincangan mereka telah menarik perhatian Derrel untuk tetap mendengarkannya secara diam-diam.
"Kau mau tembak siapa?"
"Itu, loh! Senior kita yang dari kelas sebelah."
"Ooh? Apa Kak Rei? Atau kak Leon?"
"Aduh... mereka berdua saingan banget sih gantengnya. Aku suka dua-duanya. Tapi aku mau coba sama Rei dulu, deh!"
"Beruntung banget cewek yang jadi pacar Rei. Pasti selalu dilindungi terus. Dia kan udah ganteng, baik, jago berkelahi juga lagi!"
"Makanya itu aku suka sama dia."
"Iya... gak kayak adik yang paling kecilnya tuh. Beda banget sama kakaknya. Padahal dari keluarga yang maju."
"Aduh kasihan banget sih. Aku mah ga mau jadi dia. Iwh!"
Derrel hanya bisa diam saja mendengarnya. Tapi ia sedikit terkejut saat mendengar kalau teman sekelasnya sendiri ternyata menyukai kakak tertuanya.
"Biarkan saja, lah! Lagian juga ... Kak Rei mana mungkin mau punya pacar." Batin Derrel.
*
*
*
To be continued–
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
ZANE
darell kasihan banget
ketua kelas nya tu songong bin jahat
2023-06-20
0
Ano-kun
saha
2022-03-13
0
[Anonim]
kasian :<
2022-02-09
0