...Kemah Terakhir...
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam... Molly mulai menghitung saat matanya makin lama makin berat. Suara gitar dan nyanyian teman-teman yang terdengar gembira perlahan memudar. Tiba-tiba berganti menjadi pemandangan gelap. Beberapa saat ia nggak bisa melihat apa pun sebelum sebuah pintu terbuka, menuntun Molly ke dunia yang selalu ia rindukan setiap malam. Membuka satu-satunya pintu dalam ruang gelap itu, Molly disambut oleh padang rumput hijau di mana ia bisa berlarian dengan bebas sambil tertawa. Langit cerah sampai awanpun nggak kelihatan.
Molly duduk di atas rumputnya yang hijau seperti permadani, memandangi langit. Nggak ada yang lebih menyenangkan dari saat ia bisa duduk sendirian dengan tenang, menatap langit yang nggak pernah ia temukan di mana pun selain di sini. Sambil menarik nafas lega, dengan rebahan pelan, tubuhnya yang lelah merasakan semangat baru merasuk ke paru-parunya. Namun di tempat itu ia sendirian. Begitu tersadar ia harus pulang, ia menoleh ke sekitarnya. Kosong. Rasanya ia udah terlalu lama di sini
Tempat seindah apa pun, jika kita sendirian di dalamnya, tetap terasa menyedihkan. Molly mulai cemas saat mengelilingi padang rumput tapi nggak melihat pintu yang akan membawanya pulang. Nggak ada apa-apa selain rumput hijau, langit biru dan awan putih. Hanya angin yang tetap bertiup menghembuskan hawa dingin. Pada akhirnya ia menangis.
Perasaan sedih Molly menyentuh tubuhnya yang tiba-tiba bergerak oleh goncangan hebat yang membuat kepalanya terantuk ke kaca.
Jok abu-abu lusuh di depannya masih ada. Meski nyanyian dan gitar nggak terdengar lagi, namun ini masih tempat yang sama pernah ia tinggalkan sejak dua jam lalu.
"Molly? Lo nggak turun?" tegur Chika , teman satu tempat duduknya yang sudah bersiap untuk turun bersama tasnya. "Gue duluan ya"
Molly baru menggeliat saat Chika turun bersama teman-teman mereka yang lain. Begitu bangkit dari joknya, Molly mulai mengingat-ingat di mana ia menyimpan tasnya. Dengan perlahan ia membuka bagasi atas dan sebuah tas tiba-tiba meluncur keluar!
"Awas!" seseorang memekik sementara Molly malah memejamkan mata; menantikan benda itu mendarat di kepalanya.
Perlahan ia membuka mata dengan ragu-ragu. Seseorang sudah menggenggam tas itu dengan ekspresi kaget dan cemas.
"Hampir aja...," kata cowok itu mulai tertawa. Ia melirik Molly yang jadi terpana padanya. "Apa?" tegurnya risih dipelototi.
Molly diam. Membalas pandangan teman sekelasnya itu tanpa berkedip.
"Hoi!" tegur anak lelaki itu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Molly yang kosong. "Kamu syok ya?"
Cowok itu mulai bingung dan risih dipandangi sampai segitunya.
Molly sadar, di depannya sekarang hanyalah Getta, teman sekelas yang duduk nomor dua di belakang dari bangkunya, bukan Ben Joshua - walaupun sekilas rada mirip. Tapi tetap saja bikin Molly agak deg-degan berdiri di depannya. Kenapa baru sadar sekarang ya?
"Nyaris...," suara Molly gemetaran, ia menarik nafas panjang dengan sedikit malu memandangi Getta yang udah bisa tertawa lega.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya cowok itu lagi dengan penuh perhatian dan Molly tersenyum sambil menggeleng. "Bagus kalau gitu..."
Tersanjung, Molly meraih tas miliknya dari genggaman Getta yang ikut grogi. "Makasih ya, Get...," ucapnya masih canggung dan malu-malu.
Sambil garuk-garuk belakang kepala dan tersenyum bodoh, Getta berusaha bersikap biasa. "Aah, biasa, aku kan duduknya di belakang...," Getta ikut canggung dan melirik ke jok di belakang jok tempat Molly tadi ketiduran.
Melihat sekeliling mereka udah kosong, mereka menyadari yang lain sudah berkumpul di luar. "Kita turun yuk," ajak Getta yang ingin mengakhiri saat-saat yang jadi mendebarkan setelah setahun mereka jadi teman sekelas yang nggak terlalu akrab.
Molly menyeret tasnya dan melangkah ke pintu bus lebih dulu sementara Getta di belakangnya.
"Berat ya?" tegur Getta saat Molly agak kerepotan turun dari bus.
"Nggak kok," tawa Molly masih terdengar canggung.
Namun di depan mereka, teman-teman yang lain sudah berbaris untuk mendengarkan arahan guru soal peraturan kemah. Molly masuk ke barisan anak perempuan sedangkan Getta tampak menyusup di antara teman-temannya yang berada di tengah.
Molly tersenyum untuk dirinya sendiri dan matanya menemukan Getta sedang memandangi senyum itu.
Dengan sedikit malu ia memalingkan wajahnya untuk menoleh lagi ke belakang, di mana Molly pura-pura nunduk tapi bibirnya masih senyum- senyum nggak jelas kayak kesurupan.
****
"Chika!" seorang cowok memanggil saat Molly dan Chika duduk di depan tenda.
"Eh, Jo? Ada apaan?!" sahut Chika, yang langsung berdiri.
"Dekat sini ada sungai lho! Airnya bagus banget! Kita semua mau main di sana, lo mau ikut nggak?!" ajak Jonas, cowok itu.
"Mau! Molly boleh ikut kan?!" tanya Chika sambil melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di depan Jonas. Ia mngulurkan tangannya pada sahabatnya yang pemalu. "Yuk!"
Jonas mengangkat bahu saat Molly meraih tangan Chika dan berdiri dari tempatnya. "ya asal dia jangan ketiduran aja...nanti kita semua bisa dapat masalah kalau dia tiba-tiba hanyut...," komentarnya lalu pergi.
Chika mulai berlari tanpa melepaskan tangan Molly dari genggamannya. Berlari melintasi halaman rumput yang hijau itu, mengikuti Jonas di depan mereka dengan penuh semangat.
"Chika!" suara Jonas kembali terdengar. Separuh badan cekingnya udah nyebur ke air duluan saat Chika dan Molly baru sampai di pinggiran. Lalu Chika dengan semangat masuk ke air yang membuat ekspresi gembiranya menjadi kedinginan. Tapi, ia terlalu girang waktu mencipratJonas dan mulai main perang air.
Molly masih berdiri di pinggir memperhatikan mereka sambil ikut tertawa dari kejauhan. Udara Bukit Halimun yang dingin ini membuatnya harus menahan keinginan untuk bergabung di dalam sungai. Ia hanya menyimpan kedua tangannya yang gemetaran dalam saku jaketnya, karena nggak siap untuk basah. Airnya pasti lebih dingin dari udaranya. Ia nggak ingin sakit di saat-saat berharga seperti ini. Lagipula, ia harus menjaga kesehatan karena mudah sakit dan sebelumnya ia sempat dilarang pergi. Tapi, memandangi Chika saja sudah membuatnya senang. Dia selalu membawa keceriaan ke mana pun ia pergi.
Siska Olivia adalah sahabat Molly. Dia yang biasa dipanggil Chika. Cantik, pintar dan kaya. Dibilang feminin, dia hampir nggak pernah kelihatan memakai rok selain ke sekolah, dibilang tomboy, rambutnya panjang dan terurus. Sifatnya periang dan mudah bergaul. Dia disukai banyak orang termasuk anak cewek. Hebatnya, Chika mau bersahabat dengan Molly, yang semua tentang dirinya adalah kebalikan dari Chika. Molly yang sibuk dengan harapan-harapannya lagi-lagi menatap dengan hampa, sambil menyusun beberapa kalimat dalam kepalanya yang diawali dengan kata seandainya...
"Gettaaaaa!!" suara Jonas kembali terdengar.
Pandangan Molly mendapatkan fokusnya kembali. Masih di tempat ia berdiri sambil ngelamun, ia menemukan Getta sebenarnya nggak jauh dari Chika dan Jonas yang udah basah sama sekali. Ia terlihat bersama beberapa anak cowok yang telanjang dada berenang di tempat yang agak dalam.
Getta menoleh kepada temannya dengan sedikit lambaian tangan. Rambut hitamnya yang agak gondrong tampak basah oleh air yang membuat sosoknya bersinar di bawah cahaya matahari. Separuh tubuhnya tenggelam di dasar air, dan ia tertawa hingga matanya nggak kelihatan.Molly nggak pernah menyadari bahwa Getta ternyata keren juga selain karena bertubuh tinggi. Ia jadi ingat ketika berdiri di dekatnya, ujung kepala Molly berada di bahunya Getta.
Seperti punya perasaan yang sama tiba-tiba Getta menoleh ke belakang, menemukan Molly tengah memandangnya. Lalu sama-sama menyimpan rahasia yang hanya mereka tahu berdua. Di saat yang sama, mendapati pipi Molly memerah, Getta sedikit bingung. Namun, sekali lagi ia menoleh ke belakang ekspresi gadis lucu itu belum berubah.
"Chika?!" suara Jonas yang ketakutan mengalihkan perhatian mereka dalam sekejap dan Chika menghilang!
Beberapa saat dalam kepala Molly hening, tapi matanya berusaha menemukan sosok Chika yang tadi tertawa di antara bebatuan.
"Ada yang hanyut!" seru salah seorang entah dari mana dan semua orang yang berada di sekitar sungai tampak panik. Mereka menunjuk ke satu titik di mana arus sungai membawa seorang anak perempuan yang berusaha menggapai-gapai, sesekali kepalanya muncul pada permukaan bergelombang.
Itu Chika! Dia berteriak. "Tolong!" tapi suaranya menghilang oleh gesekan batu dan air beraliran deras.
Molly menjerit ketakutan sambil berlari menyusuri pinggiran sungai. "Chikaaaa!!" panggilnya histeris. "Chikaaaa!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments