Perasaan lelah, kesal dan marah menjadi satu. Laska menatap sekitar dengan nanar, lantai kotor dipenuhi plastik-plastik jajan. Ingin sekali dia berteriak sembari memarahi gadis yang tengah tertidur pulas di sofa. Tetapi tak tega ketika melihat wajah damai itu, justru membuat Laksa kasihan.
Ia beranjak meletakkan tasnya di sofa, menggulung lengan bajunya hingga atas. Mengambil sapu, Laska segera menyapu seluruh ruangan yang dikotori oleh Amira. Mengusap peluh yang menetes di kening, Laska menghembuskan napas kasar ketika melihat lantai sudah bersih.
Ia menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di sofa tunggal, tubuhnya terasa remuk redam. Sudah lelah kerja di kantor, harus membersihkan rumah lagi. Dan pastinya, dia juga harus memasak setelah ini.
Dia sempat berpikir, apa kerjaan Amira dari pulang sekolah hingga malam? Rasanya semua tak ada yang beres.
“Om.” Amira mengerjapkan matanya perlahan, lalu bangkit dari tidurnya. “Baru pulang?” tanyanya sembari terus mengucek mata.
Laska tak menjawab, memilih mengambil tas dan berniat untuk ke kamar.
“Om! Lapar!” Amira berteriak layaknya anak kecil, mengejar Laska dan langsung memeluk lengan pria itu dengan erat.
Tentu saja Laska marah, ia menggeram menahan gejolak dalam dada agar tak meluap. Menghirup napas dengan pelan lalu menghembuskannyaya dengan kasar, ia berbalik menatap Amira yang tengah menatapnya juga. Dia sedikit terkejut tak kala mendapati wajah pucat gadis itu, namun detik berikutnya, ia langsung beranjak ke dapur.
Mengambil telur dari kulkas dan menceploknya. Setelah meletakkan telur ceplok di piring, Laska melihat rice cooker. Ada nasi di sana, lumayan juga.
“Aku yang memasaknya, tidak tahu enak atau tidak,” ucap Amira, mendekati Laska dengan membawa piring berisi telur ceplok.
Setelah memastikan Amira makan, Laska langsung beranjak pergi tanpa mengucapkan satu kata pun. Ia menatap malas Amira sekilas.
“Dasar Om-om! Percuma tampan, tapi dingin!” umpat Amira, ikut beranjak menuju kamarnya.
Bingung ingin melakukan apa, Amira keluar dari kamar. Kini tatapannya fokus pada pintu di sebelah kamarnya. Tiba-tiba ide licik menguasai pikirannya, tanpa mengetuk pintu, Amira membuka pintu kamar Laska. Ternyata benaran enggak di kunci.
Kamar bernuansa biru langit terlihat sepi. Sang pemilik tak terlihat di ranjang maupun meja kerja. Amira terus berjalan, menyusuri setiap sudut kamar dengan perasaan kagum. Sangat berbeda dengan kamarnya yang agak sempit, justru kamar ini lumayan lebar. Bahkan terdapat dua rak berukuran sedang yang berisi banyaknya buku. Amira yakin, pasti buku-buku tentang perusahaan, yang tak dia mengerti sama sekali.
Tangannya meraih satu foto yang terletak di meja samping tempat tidur Laska, terlihat jelas seorang wanita berhijab, anak kecil serta pria di dalam foto itu. Amira mencoba mengingat, ya, itu adalah mertuanya. Ya ampun, dia sampai lupa.
Umi terlihat cantik mengenakan hijab, apa aku juga akan cantik saat mengenakan hijab ya?
“Ngapain kamu?”
Amira terkejut, hampir saja foto itu jatuh ke lantai kalau Laska tidak menangkapnya. Pria itu menggeram marah, wajahnya merah padam dengan rahang mengeras. Amira jadi takut, tanpa memandang ia meminta maaf.
“Maaf Om, enggak sengaja.”
“Lain kali jangan masuk kalau tidak diizinkan!”
“Om ‘kan enggak ada, ya aku masuk aja. Lagian pelit banget sih!” Amira menggerutu kesal. Memandang malas Laska yang memandang dia dengan tajam.
“Ganteng-ganteng galak!”
“Apa kamu bilang?” Laska maju selangkah mendekati Amira, sontak membuat gadis itu memundurkan langkah kaki.
Lama pandangan keduanya bertemu, Amira tersenyum dengan jahil. Ia menginjak kaki Laska dengan sangat kuat hingga membuat pria itu mengaduh sakit.
“Rasain, wlee!” ejek Amira terus berlari masuk ke dalam kamarnya, tak lupa mengunci pintunya.
Sungguh, ingin sekali Laska menangkap gadis itu dan membuangnya jauh-jauh. Dia sudah tak bisa bersabar lagi, tingkah bar-bar Amira sungguh membuatnya pusing dan tersiksa.
**
Pukul 23.00, Laska mendapat panggilan dari sang abi. Memberi tahu bahwa uminya masuk rumah sakit karena tifus. Dengan perasaan yang begitu khawatir, Laska pergi meninggalkan Amira di rumah sendirian. Ia lupa kalau ada gadis yang tidur di kamar sebelah kamarnya.
Pukul 23.40 Laska sampai di rumah sakit, dia langsung menuju resepsionis untuk bertanya di mana ruangan sang umi.
“Atas nama Kia Putri Nagira,” ucap Laska.
Setelah mendapat jawaban, dia langsung berlalu mencari ruangan tempat Kia di rawat. Tanpa mengucap salam dia membuka pintu.
“Wa’alaikumussalam Alaska Lencana,” ujar Akbar dan Kia bersamaan. Sedangkan sang anak, hanya bisa cengengesan.
“Bagaimana keadaan Umi?” Laska menghujani Kia dengan ciuman, membuat wanita itu tersenyum menatap anak semata wayangnya.
“Alhamdulillah sudah baikan,” jawab Kia dengan pelan.
“Amira bagaimana, Ka?” Pertanyaan sang abi membuat Laska lekas berdiri dari duduknya. Pria itu menatap kedua orang tuanya sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal.
“Lupa,” ucap Laska sambil tersenyum bodoh.
“Terus gimana, kalau nanti dia nyariin? Pasti dia ketakutan di rumah sendirian,” tukas Akbar dengan nada khawatir.
“Benar Sayang. Kasihan menantu Umi.”
Laska sendiri bingung, tidak mungkin dia balik ke rumah. Rasanya sangat tidak tega harus meninggalkan sang umi yang sedang sakit. Walaupun ada abi yang menunggui.
“Dia sudah terbiasa kok Mi,” kata Laska, menepis segala pikiran tentang Amira.
“Kamu tidak bisa begitu, Nak. Bagaimanapun, Amira adalah istrimu. Pulanglah, temani dia di rumah. Umi sudah tidak apa kok,” suruh Kia sembari mengelus punggung tangan Laska dengan lembut.
“Benar itu, jangan khawatir. Lebih baik kamu pulang,”
Akhirnya Laska menurut, ia memilih pulang. Dalam perjalanan, ia mampir terlebih dahulu di warung martabak yang masih buka. Memesan dua porsi martabak dengan rasa yang berbeda. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan.
Benar saja, sampai di rumah, dia mendapati Amira tengah meringkuk di atas sofa dengan linangan air mata.
“Om dari mana saja? Kenapa ninggalin aku? Dasar jahat!” Amira terus memukuli dada bidang Laska. Menangis sesenggukan.
“Bar-bar tapi cengeng,”
“Masalahnya itu, karena sepi. Kalau sampai ada hantu atau maling. Gimana?”
“Kabur.”
“Om mah gampang ngomongnya, aku yang takut!” Amira terus menangis, sesekali memukuli Laska. Pria itu memilih diam saat Amira menyerbunya dengan pukulan.
“Sudah, jangan nangis. Ini martabak,” ucap Laska seraya meletakkan dua kotak martabak di meja. “Makan,” titahnya lagi.
“Hmm.”
Tak menyia-nyiakan, Amira mengambil satu kota martabak dan membawanya di sofa. Laska yang melihat itu, hanya bisa tersenyum simpul sembari mengikuti Amira duduk.
“Om dari mana? Kerja?” tanya Amira dengan mulut penuh.
“Mulut penuh jangan ngomong,”
“Iya iya.”
Selesai menghabiskan separuh martabak, Amira menenggak air putih yang baru saja di ambilkan Laska. Lalu meletakkan kembali gelas yang sudah kosong. Menguap berkali-kali, Laska mencoba menahan kantuk.
“Aku nebeng tidur di kamar Om ya, takut mau tidur sendiri.” Tanpa menunggu persetujuan Laska, gadis itu sudah berlari memasuki kamar pria itu, membuat mata Laska melotot sempurna.
“Amira! Keluar!”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Julisda Lisda
seruu bagett lanjit thorr
2022-04-06
1
Aya SiJutek Cuy
wuih.... seru ini, tar ngangenin sifat bar2nya amira
2021-12-22
1
Othor Kalem Fenomenal
Laska yang sabar yaa
2021-12-03
0