Ternyata papa Freya benar-benar serius dengan ucapannya. Ia menepati janjinya pada Freya untuk segera meluncur ke Pekalongan, sebuah kota kecil di wilayah Jawa Tengah.
Saat ini kedua orangtua Freya dan juga Gio, sepupu Freya, sudah berada di depan sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren Nurul Huda, tempat di mana putri mereka 'terdampar'.
"Om sama Tante serius mau nitipin Freya di tempat begini?" Tanya Gio, dengan wajah sangat tidak yakin. "Gila aja, Freya mana betah tinggal di tempat kaya begini?" Lanjutnya, mengamati keadaan sekitar ponpes sambil bergidik. Membayangkan jika dia yang harus tinggal di sebuah tempat terpencil, jauh dari hingar bingar kehidupan kota.
Kedua orangtua Freya tidak berniat menjawab pertanyaan Gio. Mereka lebih memilih untuk mengeluarkan barang-barang Freya dari dalam mobil. Ada dua koper besar yang berisikan baju-baju yang semuanya baru. Maklum saja, baju-baju lama milik Freya jelas tidak ada satupun yang pantas dipakai di lingkungan pondok pesantren.
"Om, Tante, mending batalin aja niat kalian. Lihat deh, tempat ini nggak bakal cocok buat Freya. Freya nggak bakalan betah," kata Gio lagi.
"Dari pada Gio ngoceh terus, mending bantu keluarin barang-barang Freya. Gih, buru!" Tukas Astrid, mama Freya.
Gio mendengus, dan tidak mengindahkan perintah sang tante. Ia lebih memilih untuk pergi dan mencari keberadaan Freya, sepupu tersayangnya. Dengan gayanya yang cool dan tampilan khas remaja gaul ibu kota, Gio sukses membuat para santriwati yang melihatnya langsung terpesona. Tapi Gio cuek saja. Tidak berniat sedikit pun melirik para gadis berkerudung itu, sama sekali bukan selera Gio.
"Freya ada di mana ini, ya?" Gumam Gio, celingukan kesana-kemari mencari sosok Freya. Ia kemudian mencegat Zahra, yang kebetulan melintasinya. "Eh, stop dulu, stop!"
"Hah? Aku?" Zahra menunjuk dirinya sendiri. Matanya berkedip beberapa kali saat melihat sosok tampan di hapadannya. 'Ya Allah.. ganteng temen wong iki!' Batinnya.
"Iya, elo. Gue mau nanya. Lo tau nggak, Freya ada di mana?"
Zahra tidak fokus dengan pertanyaan Gio. Ia malah fokus memandangi wajah cowo itu, yang menurut Zahra adalah cowo paling tampan yang pernah ia jumpai sepanjang hidupnya di dunia. Bahkan lebih tampan dari Irsyad yang menjadi idolanya kaum santriwati di PonPes Nurul Huda.
"Heh, lo dengerin gue nggak, sih?" Gio berdecak lumayan keras, menyadarkan gadis berkerudung ungu di depannya.
"Hah? Iya? Sampean tadi nanya apa, ya?" Zahra menunduk, sedikit malu karena ketahuan melamun.
"Ck! Gue nanya, lo tau nggak Freya ada di mana?"
"Freya," Zahra membeo. "Si perempuan aneh yang bajunya kekurangan bahan itu? Yang anak kota nyasar di sini? Yang gayanya kaya wong bule itu?" Cerocos Zahra dengan raut wajah menyebalkan.
Gio menatap Zahra datar. Mendadak kesal dengan gadis itu. "Lo tau Freya di mana atau nggak?" Tanyanya lagi, kali ini terdengar lebih jutek.
"Kamu ngapain nyari perempuan itu? Memang kamu siapanya dia?"
"Kepo banget buset. Tinggal jawab aja, lo tau nggak Freya ada di mana?"
"Tadi sih, dia keliaran di pondok ini sambil ngoceh-ngoceh sendirian. Persis koyo cah edan!" Jawab Zahra acuh.
Gio makin kesal dengan Zahra karena dari tadi menghina sepupunya. Mulutnya sudah terbuka untuk sedikit mendamprat gadis itu. Tapi, suara teriakan seseorang lebih dulu menarik fokusnya.
"GIOOOO.."
Gio melihat Freya berdiri tak jauh dari tempatnya. Kemudian gadis itu berlari antusias ke arahnya. Gio pun langsung merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan dengan sigap menyambut sang sepupu yang langsung melompat memeluknya.
Freya memeluk Gio erat-erat, dan dibalas tak kalah erat pula oleh Gio.
"Astagfirullah!" Pekik Zahra dan beberapa santri saat melihat apa yang dilakukan Freya dan Gio.
Tapi kedua remaja kota itu sama sekali tidak perduli dan tidak mau ambil pusing. Masa bodo saja dan tetap berpelukan erat, merasa tidak ada yang aneh.
"Gio, tolongin gue, Gio, tolongiiinn!" Freya merenggangkan pelukannya, menatap Gio dengan wajah melas. "Gue nggak tau habis mimpi apaan, sampai gue bisa terdampar di tempat ini. Tolongin gue, tolongin, Gi..," Freya menarik-narik baju Gio.
"Husstt, tenang. Gue bakal tolongin lo, Frey. Tenang, oke?" Gio menangkup wajah Freya, mencoba menenangkan.
"Gue nggak mau di sini lebih lama. Gue nggak betah, Gi. Orang-orang di sini aneh. Bahasanya juga aneh. Gue nggak suka. Mau pulang aja.. mau pulang.."
"Iya, iya. Gue bakal bawa lo pulang. Gue juga nggak rela lo tinggal di tempat kaya beginian. Jangan takut, oke?"
Freya mengangguk dan kembali memeluk Gio sebentar.
Zahra terus beristigfar melihat apa yang dilakukan Freya dan Gio, "Astagfirullah, astagfirullah ya Allah, astagfirullah.."
Freya melirik Zahra yang terus menerus menggumamkan kalimat istigfar. Ia mendengus seraya memutar kedua bola matanya. "Heh, ngapain lo nyebut terus-terusan? Kaya kaset rusak aja, lo!" Ketusnya.
"Yang penting kelakuan aku nggak rusak kaya kamu," Sahut Zahra tak kalah ketus.
"Ngomong apa lo barusan? Atas dasar apa lo ngatain kelakuan gue rusak? Beneran gue cakar ya muka jelek lo!"
"Jelas atas dasar apa yang aku lihat. Kamu peluk-pelukan dan mesra-mesraan sama pacarmu tanpa tahu malu. Di tempat umum lagi. Belum muhrim, dosa. Kamu nggak tau dosa?"
Freya mencibirkan bibir bawahnya, "For your information aja nih ya, cowo ini bukan pacar gue. Tapi sepupu gue, SE.PU.PU. Tau arti sepupu, kan? Artinya itu, SAUDARA! Sampai sini paham?"
"Biarpun saudara, jika bukan sekandung tetap saja namanya bukan mukhrim. Tidak dibenarkan, laki-laki dan wanita dewasa bersentuhan seintim tadi." Itu bukan suara Zahra yang kembali menyahut. Melainkan Irsyad.
"Ah, ya ampun.. Ada calon imamku," Freya langsung mengerling genit pada Irsyad. Entahlah, ia senang sekali menggoda laki-laki berparas setengah Arab itu. "Honey mau kemana? Mau nyusulin aku, yah? Cari-cari aku, yah? Khawatir akunya hilang, yah? Uh ya ampun, so sweet banget..," Freya menangkupkan kedua tangannya di bawah dagu dengan ekspresi yang dibuat seimut mungkin.
"Iya, saya memang mencari kamu," jawab Irsyad, jujur.
"Ya ampun, pesona Freya memang luar biasa ternyata," Freya mengibaskan rambutnya dengan angkuh, "Baru sehari aja udah berhasil bikin si mamas ganteng ini jatuh hati dan takut kehilangan. Honey, aku padamu, muach!" Ia melemparkan kecupan jauh untuk Irsyad dengan gaya centil, namun sedikit jenaka.
"Saya memang mencari kamu. Itu karena melaksanakan perintah dari ustad Arifin. Kamu diminta segera ke ruangan beliau, orangtuamu sudah menunggu di sana," Kata Irsyad, menjelaskan. "Dan untuk kamu ketahui, saya sama sekali tidak perduli jika kamu pergi dari sini." Tukas Irsyad yang langsung berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Freya yang melongo serta Gio yang tertawa keras.
"Anjir, Frey, anjir! Lo dikacangin sama cowo model begitu? Jatuh pasaran lo, Frey!" Ejek Gio masih dengan tawa lebarnya.
"Kampret!!"
****
"Jadi, Ibu dan Bapak ini adalah kedua orangtua dari Freya?" Tanya ustad Arifin, kepada sepasang suami-istri yang sekarang sedang duduk berhadapan dengannya.
"Benar," Baskoro yang menjawab sambil menganggukkan kepala. "Saya Baskoro, dan ini istri saya, Astrid. Kami berdua orangtua dari Freya," lanjutnya memperkenalkan diri dan sang istri.
Ustad Arifin tersenyum, "Saya Arifin," ujarnya ikut memperkenalkan diri. "Ini Bapak dan Ibu dari Jakarta langsung kemari setelah mendapat telfon dari Freya?" Lanjutnya, membuka obrolan.
"Iya, Ustad. Tapi tadi sempat singgah dulu di Semarang dan Setono. Mencarikan makanan dan baju-baju baru untuk Freya," jawab Baskoro.
Ustad Afirin melirik sekilas ke arah dua koper besar yang tadi dibawa sepasang suami istri itu. "Sebanyak itu, semuanya baru? Kenapa tidak membawa baju yang sudah ada saja? Apa tidak terlalu buang-buang uang?" Tanyanya, heran.
Baskoro menjawab sambil terkekeh kecil. "Baju lama anak saya tidak ada satupun yang memungkinkan untuk dibawa. Sangat tidak layak untuk dikenakan di tempat seperti ini, Ustad. Semua baju anak saya, ya.. begitulah. Khas pakaian remaja kota,"
"Oh, begitu.." ustad Arifin mengangguk paham, "Maaf sebelumnya. Tapi kalau saya tidak salah tafsir, apa benar Bapak dan Ibu berniat untuk menitipkan Freya di pondok pesantren ini?" Tanyanya yang kali ini mulai serius.
"Ya, Ustad. Itu benar," Baskoro mengangguk mantap, "Saya ingin putri saya dididik di tempat ini. Supaya Freya tidak semakin menjadi dan makin terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Saya ingin Freya memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang baik," tuturnya.
"Saya sudah mendengar apa yang sebenarnya terjadi sampai putri Bapak dan Ibu bisa sampai berada di tempat ini. Freya sudah menceritakan semuanya," ustad Arifin menjeda sejenak kalimatnya. Mempersilahkan Irsyad yang baru tiba untuk masuk dan kembali bergabung bersama mereka.
"Saya sangat prihatin sebenarnya mendengar pergaulan putri Anda yang, maaf, sudah di luar batas. Menurut Freya itu adalah hal biasa yang sangat wajar di lakukan para remaja ibu kota. Tapi, sebagai seorang yang beragama islam, itu sangat tidak diwajarkan, bahkan diharamkan. Dari segi penampilan saja sebenarnya sudah tidak pantas. Wanita muslim tidak sepantasnya mengenakan pakaian yang bisa mempertontonkan auratnya. Itu dosa, haram hukumnya. Karena semua wanita muslim diwajibkan untuk memakai pakaian tertutup dan berhijab," sambung ustad Arifin.
Astrid merasa tersindir mendengar ucapan ustad Afirin barusan. Pasalnya, ia sendiri juga tidak mengenakan hijab.
"Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyinggung Bu Astrid," ustad Arifin berkata dengan wajah tidak enak hati. Baru tersadar jika ibunda Freya juga tidak mengenakan hijab.
"Tidak apa-apa, Ustad," kata Astrid, mengangguk mengerti. "Saya sadar, penampilan Freya sedikit banyaknya memang mencontoh pada saya. Tidak tertutup dan gemar mengikuti tren fashion luar negri,"
"Tapi untung saja Freyya tidak terjerumus kedalam paham **** bebas. Dia juga masih tidak berani mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Alhamdulillah, yah?" Ujar Irsyad sambil terkekeh kecil, supaya suasana sedikit mencair.
"Ya, Alhamdulillah," Baskoro ikut terkekeh singkat. Ia kemudian menghela nafas panjang dan bertutur, "Sebenarnya, semua yang terjadi pada Freya adalah tidak lepas dari kesalahan saya. Sebagai seorang papa, saya terlalu memanjakan Freya. Menuruti semua yang dimau oleh Freya. Saya membesarkan Freya dengan limpahan materi dan kasih sayang berlebihan. Terlalu membiarkan Freya untuk menikmati masa mudanya dengan mengikuti arus perkembangan jaman. Yang saya mau, yang penting putri saya senang, putri saya bahagia, itu saja. Dan sekarang saya sadar, cara didik saya itu lah yang membentuk karakter Freya menjadi sosok yang luar biasa manja dan tidak tau aturan seperti sekarang. Dan kesalahan terfatal saya, adalah tidak pernah membekali Freya dengan ilmu agama sedari dia kecil. Jadinya begini, putri saya malah terjerumus dalam pergaulan yang mengerikan," Baskoro menunduk dalam setelah usai bercerita panjang lebar.
"Ini juga salah saya. Bukannya mengajak putri saya untuk berpenampilan tertutup dan mengenakan hijab, saya malah sering mengajak putri saya mempercantik diri. Mewarnai rambut, membeli baju-baju terbuka, yang penting tampil cantik dan tidak ketinggalan jaman. Mengajarkan salat dan mengaji pun, saya tidak pernah," Astrid mengimbuhi. Suaranya terdengar pelan penuh sesal.
"Maaf jika pertanyaan saya akan menyinggung. Tapi, apa Bapak dan Ibu sendiri menjalankan kewajiban utama dalam islam?"
"Maksud Ustad, salat?"
"Ya, Pak,"
Baskoro dan Astrid saling melirik satu sama lain. Lalu kompak menjawab dengan sangat pelan dan malu luar biasa. "Tidak Ustad."
"Astagfirullah.." gumam ustad Afirin dan Irsyad bersamaan. Sama-sama menggeleng prihatin mendengar kejujuran orangtua Freya.
"Salat adalah tiang agama. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, amalan yang pertama kali dihisap pada saat hari penghitungan amal selepas kiamat datang adalah salat. Dosa besar jika kita sebagai seorang muslim dengan sadar meninggalkan salat!" Tutur ustad Arifin dengan serius. "Maaf, menurut saya bukan hanya Freya yang butuh pendidikan agama. Tapi saya rasa, Bapak dan Ibu juga membutuhkannya. Tidak bermaksud untuk lancang, tapi Bapak dan Ibu memang perlu mempelajari ilmu agama seperti kemauan kalian pada Freya. Supaya kalian bisa sama-sama kembali ke jalan Allah subhanahu wa ta'ala." Tukas ustad Arifin, tegas.
"Ya, Ustad. Kami memang sudah berencana untuk melakukan itu," Jawab Baskoro dengan mantap. "Semalam setelah mendapat kabar dari polisi mengenai Freya, kami langsung kalang kabut. Kami menghubungi orangtua saya yang kebetulan asli orang Jogja. Kami menceritakan perihal Freya dengan tujuan meminta tolong untuk ikut mencari keberadaan purti kami. Dan hal pertama yang saya dapat adalah semburan kalimat menyalahkan dari ibu saya, yang langsung menampar telak hati saya. Ibu dan ayah saya sudah berkali-kali mengingatkan untuk mendidik Freya dengan baik dan membekali ilmu agama. Tapi selalu saya abaikan. Dan sekarang, saya merasa malu dan menyesal."
"Maka dari itu, setelah merenung semalaman, kami memutuskan akan segera mencari ustad terbaik di Jakarta. Yang akan membimbing keluarga kami untuk kembali ke jalan Allah. Dan setelah mendengar kabar jika Freya ternyata ada di pesantren, suami saya langsung mantap menitipkan putri semata wayang kami untuk di didik di tempat ini saja." Astrid menambahi.
BRAK!
Suara pintu ruangan ustad Arifin yang dibuka dengan kasar, membuat semua yang ada di dalamnya melonjak kaget. Mereka semua menoleh untuk melihat siapa si pelakunya. Dan ternyata Freya.
"Papaaa, Mamaaa!" Freya memekik kesenangan. Berlari dan langsung menerjang kedua orangtuanya dengan bahagia. "Papa sama Mama beneran langsung ke sini jemput Freya? Kalian memang the best!"
Bagaskoro mengusap lembut kepala anaknya seraya berkata, "Papa dan mama memang kemari. Tapi, tidak untuk membawa Freya pulang ke Jakarta. Papa yakin, Freya masih ingat apa yang papa bilang di telfon,"
"Iya, Freya ingat," Freya mengangguk bersemangat, "Papa bilang, Papa mau ajak Freya liburan dulu ke Lombok, sebelum pulang ke Jakarta. Biar Freya nggak stress. Papa memang terbaik," Cerocosnya asal. Pura-pura lupa dengan ucapan papanya di telfon. Dan pura-pura tidak mendengar apa yang tadi orangtuanya bicarakan dengan ustad Arifin. Karena sebenarnya, Freya sudah menguping sebentar dari balik pintu.
"Freya..,"
"Iya, Mama. Freya setuju, kok sama usul papa. Yuk, kita pergi dari sini?" Freya menarik kedua tangan orangtuanya untuk berdiri.
"Sayang, nggak ada liburan ke Lombok. Kamu akan kami titipkan di pesantren ini untuk---"
"NO, NO, NO!! Freya nggak dengar apa yang barusan Mama ucapin!" Freya memotong cepat ucapan sang mama. "Ayo, sekarang Mama sama Papa berdiri. Kita pergi dari sini!" Freya kembali menarik kedua tangan orangtuanya. Tapi kedua orangtuanya tidak bergeming sama sekali.
"Freya sayang, Freya sudah besar. Freya sudah selayaknya mengerti tentang agama. Karena Papa dan mama sama zonknya soal agama, maka kami memutuskan untuk menitipkan kamu di pesantren ini. Supaya kamu bisa belajar agama dan memperbaiki diri, Sayang.." Baskoro coba menjelaskan dengan lembut.
"Apaan, sih? Nggak penting banget!" Freya mengibaskan tangannya di udara dengan tidak perduli.
"Sayang, dengarkan Mama! Mama dan papa sengaja ingin--"
"NGGAK MAU DENGAR!" Freya meninggikan suara. Kedua tangannya bergerak menutup kedua telinganya rapat-rapat.
"Freya, dengar! Papa--"
"FREYA NGGAK MAU DENGAR! FREYA CUMA MAU PERGI DARI TEMPAT INI, NGGAK MAU DISINI, TITIK!!" Freya memekik dengan histeris.
Gio yang sejak tadi berada di ambang pintu, segera masuk dan meraih Freya. Ia mengusap-usap punggung sepupunya, mencoba menenangkan. "Frey, tenang, Frey. Lo harus tenang,"
Baskoro menatap ustad Arifin dengan serius. "Saya mohon kepada Ustad dan semua pengajar di pesantren ini, untuk mau menerima Freya. Tolong, tolong didik putri saya dengan sebaik-baiknya. Perlakukan putri saya selayaknya kalian semua memperlakukan para santri di tempat ini. Saya mohon dengan sangat amat, bimbing putri saya supaya menjadi pribadi yang baik dan mengerti agama. Saya ingin putri semata watang saya ini, berubah menjadi gadis yang soleha," Pintanya tulus dari dalam hati.
"Papa udah selesai ngobrolnya sama bang ustad, kan? Ayo! Sekarang kita permisi dari sini!" Freya lagi-lagi menyeret tangan kedua orangtuanya untuk berdiri. Menolak dengar ucapan sang papa.
Baskoro tidak menggubris putrinya. Ia masih menatap ustad Arifin dengan serius. "Saya mohon, terima putri saya untuk belajar agama disini, Ustad,"
"Iya, Ustad. Tolong terima dan didik Freya dengan baik disini," Astrid menimpali.
Ustad Afirin memandang bergantian Baskoro dan Astrid. Sepasang suami-istri itu menatapnya penuh harap. Ia kemudian melirik ke arah Freya yang langsung dihadiahi pelototon sadis dari gadis remaja itu. Di tambah lagi Gio, yang ikut-ikutan memasang wajah galak sambil mengacungkan kepalan tangan padanya. Hal tersebut membuat ustad Arifin terkekeh geli, ada -ada saja.
Irsyad geleng kepala melihat kelakuan Freya dan Gio. Benar-benar sepasang manusia yang tidak tahu sopan santun menurutnya. Ia lantas menghela napas panjang, dan berujar, "Menurut saya Freya memang benar-benar krisis agama. Dia tidak tahu sopan santun. Maka saya simpulkan, Freya sangat butuh tinggal di pesantren."
Ustad Afirin tersenyum mendengar ucapan Irsyad. Ia lantas menoleh lagi pada Baskoro dan Astrid, kemudian mengangguk dan berujar dengan mantap. "Saya bisa pastikan, putri Bapak dan Ibu akan mendapat bimbingan agama sebaik mungkin di pesantren ini. Insya Allah, kami akan membantu Freya untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Saya menerima dengan baik Freya menjadi santriwati di pesantren ini."
Dan keputusan pun sudah final, tidak dapat diganggu gugat. Freya benar-benar dititipkan di pondok pesantren. Freya akan menjalani hari-hari barunya di sebuah tempat yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan seumur hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Wanda Revano
suka bgt.semangt kk nulisnya👍😊
2021-12-25
0
Ibenk Marisyafa
ealah beli bajunya digrosir setono, bapak uangnya banyak kenapa gak beli diramayana/matahari mall mumpung banyak diskon lhoo pak.🤭
2021-12-15
0
Mia Ijaya
percaya sich awaly pasti berat d ttipin d ponpes...rsy pgen jerit y fre
2021-12-14
1