Jemari tangannya bergerak, meraba kaca jendela. Terlihat pemandangan perkotaan yang lebih besar. Tempat yang sudah lama ditinggalkannya, tepatnya setelah kedua orang tuanya berpisah. Kota besar dimana bisnya berhenti.
Mata Frea terlihat sembab, masih menggunakan pakaian panjang yang belum digantinya. Terlalu menyakitkan jika harus melihat wajah itu lagi, wajah yang mengisi kebahagiaannya hampir 5 tahun ini.
Air matanya yang semula mengering kembali mengalir. Asalkan dia tersenyum bahagia sudah cukup. Asalkan satu-satunya pemuda yang menyayanginya sepenuh hati bahagia, itu sudah cukup.
Dirinya tidak akan apa-apa, dapat melepaskan segalanya, layaknya melepaskan kedua orang tuanya bahagia.
Hiruk pikuk terminal bis terlihat, dengan wajah tanpa ekspresi, gadis itu mendekati toilet umum. Mulai membasuh dirinya menggati pakaiannya disana. Ingin rasanya menjerit menahan rasa sakit ini, namun dirinya bagaikan telah kehabisan tenaga.
Langkahnya terhenti, menonggakkan kepalanya menatap ke arah langit, terlihat langit berawan. Tanpa sedikitpun air hujan yang turun, Vincent, aku mencintaimu... Tetaplah bahagia dan tersenyum. Aku yang konyol ini, masih mencintaimu, bodoh bukan? Aku memberikan restuku...
Gerimis hujan mulai turun, seakan mengiringi rasa hatinya yang sesak. Terdiam mengikhlaskan segalanya, dalam bulir air mata.
***
Tangan Lidia mengerat setelah menemui suplayer. Ingin kembali menyaksikan keharmonisan pasangan muda-mudi. Namun, hal yang buruk disaksikannya. Putranya menjamah tubuh wanita lain, tanpa menyadari keberadaan kekasihnya.
Air mata Lidia mengalir, menutup laptopnya. Berjalan dengan cepat, hingga sempat terpeleset. Tidak ingin Frea yang sudah dianggapnya bagai anak sendiri merasakan sakit.
Anak perempuan yang datang melamar pekerjaan padanya 6 tahun yang lalu, dengan wajah murung. Anak perempuan yang kini sudah mulai bangkit, karena cinta putranya. Harus menyaksikan pengkhianatan? Konyol bukan.
Brak...
Pintu dibukanya kasar...
"Ibu?" Vincent tertegun gelagapan, segera membuang alat pengamannya, merapikan pakaiannya, menghentikan hal panas yang dilakukannya. Sementara, Dona hanya menunduk terdiam, mengancingkan kemeja kerjanya.
Lidia bagai tidak mempedulikan putranya, satu persatu bilik toilet dibukanya. Hingga terlihat salah satu bilik dengan kue cantik tergeletak di lantainya.
Lidia tertegun, penuh rasa iba, melirik ventilasi udara yang terbuka. Dapat menduga betapa canggungnya anak itu untuk keluar. Hingga harus memanjat ventilasi.
"I...ibu, maaf jangan katakan pada Frea," hanya satu kalimat yang keluar dari mulut Vincent menyaksikan ibunya yang tertegun diam.
"Tante, aku hamil, Vincent..." ucap Dona menyela, melanjutkan kata-katanya sebelumnya.
Vincent terdiam sesaat, "Aku tidak akan bertanggung jawab. Kita selalu menggunakan pengaman!! Dan..."
"Dan apa?" Lidia menatap sinis ke arah putranya, sembari memungut kue yang berada dalam bilik toilet."Selesaikan urusanmu dulu, setelah itu, pergi ke ruangan ibu," lanjutnya. Meninggalkan ruangan, membawa kue dengan langkah lemas.
***
"Vincent aku..." kata-kata Dona terhenti.
"Anakku? Kamu fikir aku bodoh? Walaupun kamu mengatakan tidak meminum obat kontrasepsi. Tapi setiap melakukannya aku selalu memakai pengaman!! Seperti malam ini," bentaknya menatap tajam, menunjuk ke arah tempat sampah. Tempatnya membuang sisa alat pengaman yang sengaja dibawanya, karena hal yang mereka lakukan siang tadi.
Tidak ingin teledor dan berakhir terjerat wanita, yang diberikan materi olehnya hanya untuk menumpahkan hasratnya semata. Menunggu pernikahannya dengan gadis yang dijaganya dengan baik terlaksana.
"Aku..." Dona menitikkan air matanya, tidak memiliki pembelaan.
"Aku apa!? Kamu tau kita hanya bersenang-senang. Belum ada dua minggu kita memulainya dan kamu hamil? Siapa yang akan percaya?" Vincent menatap tajam.
"Kamu mencintaiku kan?" wanita itu menggengam jemari tangan Vincent."Anak dalam kandunganku, memang bukan anakmu. Anak dari mantan kekasihku. Maaf, tolong nikahi aku..."
Plak...
"Jangan terlalu percaya diri, ingin menggantikan posisi Frea..." ucapnya menampar wajah Dona. Meninggalkan wanita yang baru satu bulan bekerja di restauran milik ibunya itu, wanita yang kini duduk di lantai sembari menangis terisak.
***
Vincent melangkah perlahan, sudah menduga tentang kemarahan ibunya. Namun semua harus dihadapinya bukan? Setidaknya memohon pada ibunya agar tidak mengadu pada kekasihnya.
"Ibu..." ucapnya membuka pintu ruangan Lidia.
"Urusanmu sudah selesai!?" tanyanya, menyenderkan tubuhnya yang lelah pada kursi putar.
Vincent hanya menunduk terdiam, menatap ke arah ibunya.
"Temui Frea, minta maaflah dengan tulus. Jika dia memutuskan untuk berpisah, hormati keputusannya..." ucap Lidia, menatap iba pada kue indah diatas meja kerjanya.
Pemuda itu tertegun, mengepalkan tangannya, Berpisah? Kenapa harus berpisah? Hanya menyembunyikan kenyataan kemudian tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi sudah cukup bukan...
"Ibu!!" ucapnya menatap ibunya, tidak ingin berpisah dengan kekasih yang benar-benar dicintainya. Gadis yang menghiasi hari-harinya 5 tahun ini.
"Apa jika menyaksikan ini, Frea dapat memaafkanmu?" tanyanya, memperlihatkan rekaman pada laptopnya. Rekaman dimana kekasihnya tersenyum, meletakkan kamera. Memakai kostum untuk menakut-nakutinya. Lengkap dengan sebuah kue ulang tahun di jemari tangannya. Memasuki salah satu bilik toilet.
Vincent tertegun diam, menyaksikan dirinya mulai mencumbu wanita yang hanya digunakannya untuk bersenang-senang. Dengan bodohnya tidak menyadari kekasihnya bersembunyi. Mungkin gadis itu menahan suara tangisannya.
Tangannya mengepal, meneteskan air matanya, tertunduk penuh rasa bersalah. Seakan mengetahui betapa menyakitkan perasaan kekasihnya.
"Aku akan menemuinya..." ucapnya berjalan cepat meninggalkan ruangan Lidia.
Vincent berlari, menitikkan air matanya. Tidak ingin berpisah dengan kekasihnya. Wanita polos, yang mencintainya tanpa meminta apapun. Tempat hangatnya dapat tersenyum dan tertawa dalam hati yang berdebar.
Menyesal? Tentu saja, luka yang ditorehkannya terlalu dalam. "Buat apa aku bersenang-senang, jika hanya dapat melukaimu? Frea maaf," gumamnya masih berlari menuju tempat tinggal kekasihnya.
Sejenak langkahnya terhenti, "Dek Vincent tidak beli bakpao untuk pacarnya?" tanya seorang penjual bakpao tua renta, langganan mereka.
Vincent berbalik, mengingat kekasihnya yang akan berhenti merajuk jika dibelikan cemilan,"Pak bungkus semua rasa..." ucapnya menyodorkan uang pecahan seratus ribu.
"Dek, bapak tidak punya kembaliannya," ucap sang pedagang bakpao, yang satupun bakpaonya belum laku.
Vincent menitikkan air matanya, kemudian tersenyum,"Untuk bapak saja, doakan pacar saya akan memaafkan saya," ucapnya.
Sang pedagang bakpao mengangguk sembari tersenyum,"Frea, itu baik. Tidak mungkin tidak memaafkan nak Vincent..."
"Semoga saja," Vincent berusaha tersenyum, menyeka air matanya. Berjalan dengan ragu mendekati tempat kost kekasihnya.
Tangannya gemetar,"Frea..." panggilnya, mengetuk pintu.
"Frea jangan marah terlalu lama," Vincent kembali mengetuk, matanya memerah, air matanya mengalir. Untuk pertama kalinya tidak mendapatkan jawaban dari kekasihnya.
Pemuda itu duduk di lantai, menyenderkan punggungnya pada pintu yang tertutup rapat,"Frea, aku membawakan bakpao, kita makan bersama ya? Tolong buka pintunya, nanti bakpaonya dingin," ucapnya terisak, dengan nada suara bergetar.
"Frea..." panggilnya kembali tanpa mendapatkan jawaban.
Sakit? Jika tau akan sesakit ini, seharusnya aku tidak mencari kesenangan lain. Menunggumu dengan sabar, mungkin hari ini kita akan duduk, menikmati kue yang kamu buat bersama...
Handphonenya tiba-tiba berbunyi, sebuah pesan masuk dari kekasihnya.
'Terimakasih sudah menyayangiku selama ini. Rawatlah anak kalian baik-baik, gunakan cincin yang aku letakkan di dalam kue untuk menikah. Sebagai restuku untuk kalian,'
'Frea'
Jemari tangan Vincent gemetaran, mencoba menghubungi kembali nomor kekasihnya, setidaknya menjelaskan tentang kehamilan Dona. Namun tidak ada hasil, nomor itu sudah tidak aktif.
"Vincent?" tetangga kost Frea keluar.
Pemuda itu menonggakkan kepalanya, menatap seorang wanita yang berdiri di hadapannya.
"Frea mau pindah ya? Tadi pergi bawa koper besar. Terus titip kunci kamar, minta dikembalikan ke tuan rumah..." tanyanya tidak mengerti.
"Apa Frea bilang akan pergi kemana?" Vincent penuh harap. Namun, wanita itu menggelengkan kepalanya.
"Boleh aku minta kunci kamar Frea?" tanyanya berharap menemukan informasi tentang keberadaan kekasihnya.
Sang wanita merogoh sakunya, mengambil kunci kemudian menyerahkan pada Vincent.
"Terimakasih..." Vincent meraihnya membuka pintu kamar di hadapannya. Kemudian menutupnya, tangannya menggeledah semua tempat berharap menemukan petunjuk. Sesekali menyeka air mata yang mengaburkan pengelihatannya.
Laci, bahkan lemari pakaian, semuanya kosong tanpa isi. Tidak meninggalkan sedikitpun jejak untuknya.
Sebungkus bakpao yang mulai mendingin masih dalam genggaman tangannya. Merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar 3x3 meter yang dua tahun ini ditempati kekasihnya. Aroma lembut yang tidak begitu harum masih tercium dari sprei, aroma lotion yang selalu digunakan Frea.
Kekasih yang selalu dirayunya, gadis yang membuatnya tertawa bahagia. Berhenti merajuk hanya dengan hal-hal sederhana.
"Frea..." ucapnya berteriak, menumpahkan emosi dan rasa kehilangannya.
Vincent mulai duduk di tepi tempat tidur, membuka bakpao yang dibawanya. Kemudian mengambil salah satunya. Air matanya mengalir, jemarinya membelah bakpao menjadi dua bagian.
Memakan salah satu bagiannya, sembari menangis. Meletakkan satunya lagi disampingnya, menunggu, berharap Frea akan pulang dan memakannya. Berharap gadis itu tersenyum penuh kasih seperti biasanya.
***
Pagi mulai menjelang, Vincent memasuki rumah dengan langkah gontai. Semua kenangan masih terlintas, tawa dan canda mereka. Indah bukan? Namun, semuanya sudah menghilang, Vincent berjalan menuju kamarnya.
"Frea memaafkanmu?" tanya Lidia pada putra satu-satunya.
Vincent menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya memerah, kembali menyeka air matanya yang hendak menetes.
"Kita makan kue ya?" ucap Lidia memaksakan dirinya tersenyum, menatap iba pada putranya.
Suapan demi suapan masuk ke dalam mulutnya. Kue yang dibuatnya Frea untuk melamarnya. Hingga sepasang cincin terikat benang merah ditemukannya pada lapisan selai blueberry, di sela yang menyatukan dua sponge cake.
Sepasang cincin yang masih kotor berbalut kue dan selai.
"Frea ingin melamarmu, dia bodoh bukan? Cincin itu dibeli dengan uang tabungannya sendiri..." ucap Lidia tertunduk, ikut meneteskan air matanya."Ibu sudah menganggapnya seperti putri ibu sendiri,"
"Maaf..." Vincent menggenggam jemari tangan Lidia, menatap ke arah sepasang cincin yang terikat benang merah.
"Aku akan mencarinya, semua akan kembali seperti dulu..." lanjutnya, berusaha untuk tersenyum.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
TDK SMUDAH ITU, INGAT VINCENT, WANITA MMG MUDAH MMAAFKN, TPI TKKN PRNAH MLUPAKAN, APALAGI PENGHIANATAN...
2024-01-20
1
NOiR🥀
semua nya kembali seperti dulu .oh no..lelaki ur mindset to easy.. solve the problem..omg what the fish..
2023-10-23
1
kavena ayunda
nyesek bgt bab ini
2022-10-05
2