"Ayah dan Ibu pergi ke perkebunan," kata Arya yang masuk dengan tubuh berkeringat. Biasa. Motor baru semangat juga baru. Kotor sedikit dicuci. "Sebentar lagi pulang."
"Ya," jawab Al singkat.
Dia sedang melihat-lihat keadaan rumah. Interior memantulkan kemewahan dengan lampu kristal antik. Beberapa lukisan kaligrafi dan naturalisme gotik menambah indah dan menarik. Banyaknya foto jeruk dengan berbagai perspektif. Dia hampir tak percaya kalau rumah ini adalah rumah mantan tukang pos.
"Ayah sekarang jadi crazy rich," ujar Arya. "Motor bututnya sudah dipensiunkan sejak harga jeruk impor booming. Sebagai gantinya, dia naik Nissan Elgrand."
Al terbelalak. "Pergi ke kebun bawa mobil? Sekalian saja pakai jas! Dasi!"
"Abad 21."
"Buang hajat juga ada tarifnya, begitu?"
"Mobil second, harganya tidak seberapa."
"Biar second, Nissan loh bukan batu nisan?"
"Ayah masih terbilang irit dibanding tetangga."
"Jadi Ayah menghamburkan uang karena tetangga?"
"Kamar kakak di lantai atas kalau mau istirahat," kata Arya seolah ingin menghindari perdebatan. "Aku bangunkan nanti kalau Ayah sama Ibu pulang."
Al sudah tahu yang mana kamarnya. Foto dari masa ke masa terpampang di dinding hijau daun itu. Pasti Ibu yang menyiapkan untuk menyambut kedatangannya.
Banyak di rumah ini yang tidak cocok dengan hatinya, pikir Al seraya rebahan di kasur empuk. Ayah sudah jadi petani sukses. Tapi hasil suksesnya digunakan untuk membeli barang sesuai keinginan, bukan sesuai kebutuhan.
Sayup-sayup terdengar suara orang tuanya di lantai bawah. Al segera keluar kamar dan menuruni anak tangga menemui mereka.
"Kamu sudah pulang?" seru Bu Haikal girang. "Kok nggak ngebel dulu, biar dijemput sama sopir di pertigaan?"
"Lowbat," jawab Al sambil mencium tangan ibunya. "Lagian aku biasa jalan kaki."
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Pak Haikal saat Al mencium tangannya. "Dapat yudisium SM lagi?"
Al diam. Selalu, pertanyaan itu yang pertama menggelinding di setiap pertemuan mereka. Yang mengisi baris pertama surat yang dikirim ke Yogya. Satu-satunya pertanyaan milik ayahnya.
Pak Haikal curiga. "Kenapa? IPK jelek?"
"Mana berani aku pulang kalau ada nilai yang remedial," sahut Al tanpa semangat.
Hampir lima bulan mereka tidak bertemu, sejak terakhir kali ayahnya membawa sekeranjang jeruk sunkist. Tapi sedikitpun dia tidak mengungkit rasa rindunya.
Pak Haikal tersenyum bangga. "Bagus. Kamu sungguh pandai menghargai keringat orang tua. Prestasimu adalah sembah sujud yang terbaik."
"Ayah mau lihat transkrip nilainya?" tanya Al tanpa gairah.
"Boleh."
"Sudahlah," tegur Bu Haikal lembut. "Anak kita pulang bukan cuma buat laporan."
Berbeda dengan ibunya. Dia lebih pengertian. Kuliah bukan hanya menghadapi tebalnya diktat, banyak rintangan menghadang. Dia selalu memberi motivasi yang cukup setiap kali anaknya menghadapi masalah.
Maka itu Al banyak mengadu kepada ibunya kalau ada apa-apa, termasuk semua kejutan yang didapatnya hari ini.
"Sebenarnya apa yang Ayah cari?" tanya Al sambil memperhatikan ibunya membantu juru masak. Rumah sebesar ini tidak bisa diurus seorang diri, butuh beberapa asisten. Biaya lagi. "Kemuliaan hidup atau pujian orang?"
"Kemuliaan hidup didapat dari pujian orang," jawab Bu Haikal seolah membela suaminya. "Maka itu Ayah berhenti jadi tukang pos untuk membangun mimpi yang lebih baik. Salahkah dia mewujudkannya ketika ada kesempatan?"
"Tapi buat apa pasang parabola? Berlangganan channel? Globalisasi bukan untuk kalangan seperti kita, untuk orang yang membuat istilah itu."
"Omonganmu ketinggian."
"Pakai tangga."
"Panen apel pakai tangga?" balik Bu Haikal. "Arya minta. Katanya nonton televisi lokal pete ..."
"Bete," ralat Al.
"Tidak jauh dari sinetron dan pencitraan."
"Terus pasang WiFi?"
"Yang suka loncat di pohon itu ya?"
"Tupai."
"Semua itu keinginan Arya. Lagi Ayah suka pakai juga buat cari informasi. Dia kan ketua KUD, ketua BPD juga."
"Ibu jangan terlalu memanjakan Arya. Bisa-bisa dia jadi generasi terkontaminasi."
"Ibu pusing kalau tidak dipenuhi, segala apa disebut-sebut. Ibu jadi bete. Tapi Ibu paham maksudnya. Dia ingin kayak orang-orang."
"Ayah diam saja?"
"Kayak tidak tahu ayahmu saja. Yang penting rajin belajar."
"Cuma buat Arya."
"Buat kamu juga. Itu gempor bini ..."
"Lamborghini."
"Buat kamu itu."
Al tidak terkesan. Dia sudah melihat mobil itu di garasi. Edisi terbaru dan harganya sangat mahal.
Bu Haikal menoleh dengan penasaran. "Memangnya kamu ingin apa?"
"Aku ingin Ibu hati-hati sama Arya."
"Susah."
Arya tidak bisa hidup prihatin. Dia hanya mau sekolah jika uang jajan cukup. Prestasinya amat bergantung pada fasilitas. Untung Ayah sekarang bersahabat dengan uang. Dia tidak perlu banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya.
Diam-diam Al merasa iri. Dia makan enak paling banter kalau ada yang traktir. Telur mata sapi adalah santapan sehari-hari. Tapi mereka makan seolah mau buka restoran, dari lobster sampai salmon asap tersedia.
"Jadi kehidupan seperti ini yang coba disembunyikan oleh Ayah?" sindir Al seraya menarik kursi untuk duduk. "Sampai kirim kabar saja pakai cara tradisional. Sekalinya ngebel kehabisan pulsa."
"Ayah ingin kamu belajar prihatin," kata Pak Haikal. "Apa yang kamu lihat sekarang berasal dari prihatin."
"Sesekali tak ada salahnya dikirim uang lebih."
"Sering kan?"
"Itu buat acara seminar."
"Terus buat apa lagi?"
"Acara kan tidak cuma seminar."
"Uang bukan sahabat yang baik. Bisa berkhianat di manapun kamu berpijak, apalagi kamu jauh dari orang tua."
"Ayah tidak percaya padaku?"
"Ayah tidak percaya pada uang."
"Lagi percaya itu sama Allah," sela Arya. "Jangan sama uang."
"Anak seumur kamu baru bisa bermain kata-kata," sergah Al. "Dan rajin memindahkan kurikulum ke jalanan, mall."
"Aku sebentar lagi tamat SMA, sudah gede."
"Apalagi sudah gede! Tambah gede lagakmu!"
"Sudah," potong Bu Haikal. "Kalian semua anak Ibu, sama-sama Ibu sayangi."
Tapi mereka pilih kasih, pikir Al tawar. Dia selalu jadi nomor dua. Selalu dapat sisa. Hanya karena Arya anak bungsu! Anak manja!
"Sebagai kakak, kamu harus memberi contoh yang baik buat kemajuan studinya," ujar Pak Haikal.
"Aku sudah banyak kasih contoh. Hasilnya Arya lebih kenal Justin Bieber daripada Justin Webber."
Justin Bieber adalah seorang penyanyi berkebangsaan Kanada, sedangkan Justin Webber adalah fisikawan berkebangsaan Jerman.
"Ayah sudah hidup enak," kata Al. "Apa lagi yang diharapkan dariku?"
"Jadi kamu mengejar prestasi cuma ingin membuat Ayah bangga? Tidak punya cita-cita sendiri?"
"Cita-citaku adalah menjamin kebahagiaan Ayah dan Ibu. Kini rasa-rasanya hidupku yang terjamin."
"Harta tidak menjamin kebahagiaan seutuhnya. Hidup butuh pengakuan."
"Dari jaman ke jaman yang berkuasa adalah orang kaya, bukan doktor atau profesor."
"Karena pola pikir mereka masih berkutat sekitar perut. Orang kaya bisa mengenyangkan."
"Nah, ikuti saja ke mana air mengalir. Pandai-pandailah cari kehormatan, cari kedudukan, dan cari kambing hitam biar selamat."
"Jadi itu hasil kuliahmu di Yogya?"
Al tersenyum. "Mungut di halaman depan."
Senyum Al mendadak surut. Seorang perempuan muda dan seksi muncul dengan senyum maafnya.
"Telat ya?"
Ayah tersenyum ceria, Ibu memasang muka perang.
"Tidak ada kata telat buat kamu," jawab ayahnya.
Al memandang heran. Siapa perempuan ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
grandpa
wk wk wk
2024-08-19
0
N Hayati
thor ngakak pas bilang lamborghini jadi gempor bini 😂😂😂
2022-03-22
1