Saat ini, Delora tengah berada di sebuah ruangan luas yang terasa begitu asing baginya. Tubuhnya berdiri tegak, meski gemetar, tepat di depan sepasang suami istri setengah baya yang duduk di kursi bergaya klasik dengan ukiran emas mengilap. Raut wajah keduanya terlihat kaku, namun penuh wibawa. Di sisi kanan pasangan itu, berdiri tegak John, pria berbadan tinggi yang sejak tadi menemaninya sejak turun dari mobil.
“Nama kamu siapa, Nak?” tanya sang wanita, dengan senyum tipis yang belum sepenuhnya menunjukkan perasaan sebenarnya.
“Saya… Delora, Buk,” jawab Lora dengan gugup. Suaranya terdengar kecil, nyaris tak terdengar.
Namun, begitu nama itu keluar dari mulutnya, ekspresi wajah sang wanita berubah drastis. Senyum itu menghilang, berganti dengan tatapan tajam penuh amarah. Bahkan sang pria di sampingnya ikut menegang, rahangnya mengeras, dan matanya menatap Lora tajam seolah menyimpan kemarahan yang tak terbendung.
“Nama lengkap kamu siapa?” tanya sang wanita lagi, kini dengan nada dingin dan menuntut.
“De… lora Laraynna,” jawab Lora terbata, semakin merasa tidak nyaman dengan perubahan suasana yang begitu cepat.
Tiba-tiba, sang wanita berdiri dengan napas berat. “John! Maksudnya apa ini, hah?!” bentaknya dengan suara tinggi. Lora tersentak. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ada yang salah. Ada sesuatu yang besar dan tak ia mengerti.
Wajah sang pria pun tak kalah tegang. Matanya memicing, mulutnya mengatup rapat, namun jelas terlihat amarah menggelegak di dalam dirinya.
“Hal yang Mama tunggu-tunggu dari dulu…” ucap seseorang dari belakang ruangan, membuat Lora menoleh perlahan. Suara itu begitu familiar, tapi ia sangat berharap itu bukan siapa yang ia pikirkan.
Namun harapannya kembali hancur. Tubuhnya gemetar saat melihat sosok Sean berdiri dengan jas hitam rapi. Ia terlihat sangat tampan dan penuh kharisma, namun aura yang dipancarkannya begitu dingin, menusuk ke tulang.
Lora ingin memanggilnya, tetapi sebuah tatapan tajam dari Sean membuat kata-kata itu menguap di tenggorokannya. Ia hanya bisa menunduk dengan mata berkaca-kaca, menahan isak yang hampir pecah.
Ia berdiri seperti orang bodoh di tengah ruangan itu, dikelilingi orang-orang yang entah siapa mereka, dan mengapa semua sikapnya seolah penuh kebencian terhadapnya.
“Apakah benar ini dia?” tanya sang wanita dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar.
“Iya,” jawab Sean datar.
Namun Lora masih tidak mengerti apa maksud percakapan mereka. Ia merasa seperti boneka yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam permainan yang tak pernah ia pahami.
Wanita itu maju beberapa langkah hingga berdiri tepat di hadapan Lora. Dalam satu gerakan cepat…
Plakkk.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lora, membuat wajahnya menoleh ke kiri. Dunia seolah berhenti sejenak. Suara tamparan itu menggema di kepalanya.
Lora mendongak dengan mata yang kini mulai basah oleh air mata.
“Jangan harap kamu bisa hidup dengan tenang. Selama kamu masih bernapas, selama itu pula penderitaan akan menjadi bagian dari hidupmu,” ucap wanita itu dengan suara tajam dan penuh amarah.
“Apa salahku?” tanya Lora, suaranya bergetar. Air matanya mengalir tanpa henti. Ia merasa hancur, terlebih saat melihat suaminya hanya berdiri diam, tak menunjukkan sedikit pun empati padanya.
“Kamu tidak perlu tahu apa kesalahanmu!” teriak wanita itu lagi.
“Itu tidak adil! Aku ingin pulang!” teriak Lora sambil berusaha berlari ke arah pintu, namun langkahnya tertahan saat Sean mencekal kuat lengannya.
“Lepaskan! Sakit!” jerit Lora. Tangannya memerah, ia berusaha memberontak. Namun dari arah lain, John juga datang dan memegang lengan satunya.
Tubuh Lora yang kecil tercekam erat oleh dua pria bertubuh tegap. Ia tak berdaya, hanya air mata yang bisa ia keluarkan saat ini. Ia menatap sekeliling, berharap ada satu orang yang mau membelanya. Tapi tak ada.
Tak lama kemudian, Sean melepaskan tangannya. Namun tepat setelah itu, dua pria berbadan tinggi besar, berpakaian serba hitam layaknya pengawal pribadi, masuk ke ruangan.
John juga akhirnya melepaskan cekalannya. Lora baru saja menarik napas lega, tapi kemudian kedua pria baru itu langsung mencengkeram kedua lengannya lagi, lebih kuat dan lebih kasar.
“Lepasin! Aku mau pulang!” bentaknya dengan suara keras, wajahnya memerah. Urat di lehernya terlihat menegang.
Tak ada reaksi dari mereka. “Bawa dia ke mes lama,” ucap Sean dingin.
Lora menatapnya penuh kekecewaan. Benarkah ini pria yang ia nikahi? Pria yang dulu memanggilnya ‘sayang’? Apa arti dari pernikahan mereka jika hanya menjadi pintu masuk ke neraka?
Lora menyeret kakinya saat mereka menariknya paksa keluar dari ruangan mewah itu. Ia tak ingin bertarung lagi. Lebih baik ikut, daripada menerima luka lebih parah.
“Kalian mau bawa aku ke mana? Aku ini cuma gadis miskin dari desa. Aku nggak punya apa-apa!” ucapnya pasrah.
“Diam!” bentak salah satu dari mereka.
Lora langsung terdiam. Selama ini hanya bibiknya saja yang sering membentaknya, bahkan kadang memukulnya. Tapi perlakuan orang-orang ini terasa jauh lebih kejam. Hatinya benar-benar hancur.
Mereka berjalan menuju halaman belakang rumah besar itu. Di sana terlihat beberapa bangunan kecil. Tapi satu bangunan menarik perhatian Lora. Bangunan itu terlihat kumuh, berdiri terpisah dari yang lain. Dindingnya ditumbuhi tumbuhan merambat. Lora menatapnya dengan hati berdebar.
Ia berharap mereka tidak membawanya ke sana.
Namun harapannya kembali hancur. Pintu bangunan itu dibuka. Di dalamnya terdapat tiga kamar. Mereka mendorong Lora masuk ke salah satunya. Tubuhnya terjatuh ke lantai berdebu. Pintu ditutup dan terdengar suara kunci dari luar.
Kamar itu gelap. Tak ada jendela, tak ada ventilasi. Lora bangkit perlahan dan berlari ke arah pintu, menggedor-gedor sekuat tenaga.
“Tolong! Bukain! Aku mau keluar!”
Tak ada yang menjawab.
Ia terduduk di lantai. Tangannya kotor oleh debu. Di pojok ruangan, ia melihat saklar dan sebuah bohlam kecil tergantung di langit-langit. Ia bangkit dan menekan saklar itu. Lampu menyala, namun cahayanya sangat redup.
Lora mengambil tikar yang tergulung di sudut tembok dan membentangkannya di lantai. Ia duduk, membuka ranselnya, lalu mengambil sebuah ponsel jadul, Nokia tua yang hanya bisa menelpon dan SMS.
Dengan tangan gemetar, ia menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Halo, Pak…” suaranya terdengar tegar, tapi air matanya mulai jatuh deras ketika mendengar suara tua di seberang sana.
“Iya Pak, baru aja Lora sampai…”
“…Kak Sean lagi kerja, Pak,” katanya, berbohong.
“Lora kangen, Pak. Bapak jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa minum obatnya. Lora di sini nggak akan lupa doain Bapak.”
“Iya, Pak…”
Tuuutttt…
Telepon terputus. Ayahnya pamit untuk ke kebun. Lora menunduk, menangis dalam diam. Ia merasa sangat kecil. Ia malu pada dirinya sendiri. Perlahan, ia bangkit dan mematikan lampu. Biarlah ia hidup dalam kegelapan.
Sementara orang lain menikmati terang matahari, Lora hanya bisa menangis sendirian dalam kegelapan.
Ia kembali menyalakan ponselnya dan membuka sebuah foto lama. Layar ponsel itu kabur, tapi gambarnya masih terlihat.
“Maaf… aku minta maaf… Aku nggak sengaja… Sungguh… Tolong maafin aku…” ucapnya sambil terisak.
Pikirannya melayang ke masa lalu. Ia menggelengkan kepala keras-keras. Setiap kali sendirian, pikirannya selalu kembali ke masa kelam itu. Seolah bayangan itu mengejarnya terus-menerus.
“Aku minta maaf… Tolong maafin aku… Aku berdosa…” Lora terus menangis, memohon pada seseorang yang tak ada di hadapannya.
“Aku pantas dapat ini… Aku pantas…”
Tanpa sadar, seorang pria berdiri di balik pintu kamar itu, menatap datar ke arah gadis yang sedang hancur di dalam. Ia membuka pintu dan menghidupkan lampu.
Lora yang tidak menyadari kehadiran pria itu langsung berlari ke arahnya dan memeluk kakinya.
“Maaf… tolong maafin aku… aku salah… aku berdosa…”
Namun pria itu menepis pelukannya dengan kasar. Lora tersungkur ke lantai.
Meski begitu, dengan penuh luka dan air mata, ia kembali berdiri, menatap pria itu dengan mata sembab.
Ia mencoba memeluknya lagi, tapi pria itu justru mendorong tubuh Lora dengan kasar hingga ia terjatuh. Kepalanya membentur sudut nakas. Darah mulai mengalir dari pelipisnya.
Dalam hitungan detik, pandangan Lora mulai kabur.
Ia menatap samar ke arah pria itu, mencoba mencari wajah yang ia kenal dulu. Tapi yang terlihat hanya sosok dingin tanpa rasa. Lalu segalanya gelap.
...****************...
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Herni
apa ya masalahnya?
apa dia bunuh pacarnya itu yg ajak ke apartemennya?
2022-01-01
0