Ai P. O. V
“Pagi, Oma?” Sapa ku pada wanita paruh baya yang kini sedang menjabat sebagai bos di tempat ku bekerja. Menepikan sepeda, aku kemudian membawa langkah ku mendekati Oma yang kini sedang sibuk merangkai buket bunga Peony yang indah dan berbau harum yang menyegarkan.
“Pagi.” Jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari buket bunga tersebut. Setelah itu tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara kami dan terasa begitu canggung untuk ku. Ya, aku mengatakan ini karena ia adalah bos ku di tempat ini jadi keramah tamahan harus tetap terjaga untuknya.
Tidak ingin mengganggu aktivitasnya, aku mengedarkan pandangan ku ke segala arah untuk mencari sesuatu yang amat sangat ingin ku lihat saat ini. Setelah menatap secara acak akhirnya aku temukan apa yang ku cari di antara bunga-bunga impor yang masih segar dan wangi. Mendekatinya dengan pandangan takjub, mata ku rasanya begitu enggan untuk sekedar berkedip.
Ya, aku menyukainya bahkan sangat menyukainya. Meski fisik ku seperti ini tapi sejatinya aku adalah perempuan mereka bilang. Ada sisi feminim yang tidak dapat dihilangkan dari diriku, seperti perempuan pada umumnya aku juga menyukai bunga. Tidak semua untuk saat ini karena selama bekerja di sini mata penuh kekaguman ku hanya berlaku pada bunga Tulip kuning. Bunga yang indah dan mempesona ini hanya ada di Belanda dan beruntungnya toko bunga tempat ku bekerja saat ini selalu mengimpor bunga ini 3 hari sekali untuk menjaga kualitas dan kesegarannya. Bunga tulip yang di impor juga bukan hanya warna kuning akan tetapi ada berbagai warna yang tidak kalah bagusnya dengan kuning. Namun sayang, sebagus apapun mereka aku sama sekali tidak tertarik dengannya. Entah, tulip kuning seakan punya magnet tersendiri untuk ku. Aku hanya menyukainya dan tetarik pada bunga ini da-
“Ya Tuhan, Ai!” Teriak Oma membuat ku tanpa sadar mundur beberapa langkah ke belakang.
Berjalan tergesa-gesa mendekati ku, “Jauhkan tangan mu dari bunga-bunga ini, bunga ini impor dan kau tak akan sanggup membayar ganti rugi untuk biaya kerusakan yang kau buat.” Marahnya kepada ku. Tidak, aku masih belum menyentuhnya jadi bunga ini tidak akan rusak hanya karena aku melihatnya terus.
“Maaf Oma, aku tidak menyentuh bunga ini sama sekali jadi aku rasa kau salah pa-“
“Bahkan sekalipun kau mengatakan tidak aku tidak akan percaya, ya Tuhan laki-laki mana yang begitu fanatik melihat bunga seperti ini. Menakutkan, kau menakuti ku.” Ia berbicara semaunya, mengatakan hal-hal seperti ini adalah sudah biasa bagi ku dan bodohnya aku masih saja merasakan sakit setelah mendengar omong kosongnya ini. Aku bahkan lebih bodoh lagi dari ini ketika aku tahu bahwa melihat bunga sedekat ini pasti membuatnya marah besar akan tetapi aku tetap tidak perduli dan selalu mendekati bunga ini setiap kali aku temukan di toko bunga. Aku hanya melihat dan tidak menyentuhnya, akan tetapi Oma selalu memberikan reaksi berlebihan jika melihat itu seakan-akan aku adalah hama yang akan merusak bunganya.
“Maafkan aku, Oma.” Hanya ini yang bisa aku katakana untuk meresponnya. Membantah tuduhannya sama saja aku mengakui hal yang tidak pernah aku lakukan, percuma saja.
“Menyingkirlah dari bunga-bunga ini.” Suaranya memperingati yang ku balas dengan anggukan enggan. Menjaga jarak dengan bunga-bunga itu akhirnya Oma bisa sedikit tenang dan kembali sibuk merapikan buket bunga peony yang sempat ia tinggalkan beberapa waktu lalu.
“Oma, aku ingin membeli bunga tulip itu-“
“Berapa batang yang kau beli?” Tanyanya cepat tanpa menunggu ku selesai bertanya.
Meneguk ludah ku kasar, “Berapa harga perbatangnya, Oma?” Tanya ku hati-hati. Walaupun aku bekerja di sini tugas ku hanya sebagai pengantar pesanan jadi wajar bila aku tidak tahu apa-apa tentang harga bunga-bunga yang ada di sini apalagi jika itu adalah bunga impor, aku benar-benar tidak tahu sama sekali tentang harga mereka.
“Memangnya berapa batang yang kau beli?” Tanyanya masih acuh dan fokus pada buket bunga peony tersebut.
“Jika bisa satu batang maka-“
“Tidak bisa, aku tidak menerima pembelian seperti itu.” Suaranya tajam.
Meremat kedua tangan ku, aku berusaha agar tidak gugup dan terlihat tenang.
“Bagaimana jika dua batang-“
“Apa kau tidak mengerti apa yang aku katakan? Aku sama sekali tidak menerima pembelian seperti ini.” Lagi, ia memotong ucapan ku dengan kasar.
Terdiam cukup lama aku berusaha memutar rencana ku agar aku bisa mendapatkan bunga yang aku sukai bahkan walaupun itu hanya satu batang saja aku akan sangat bersyukur dengan itu.
“Oma, apa aku bisa menggunakan gaji ku untuk bulan besok sebagai bayaran untuk bunga yang ku beli?” Tanya ku putus asa. Jika tidak bisa membeli satu atau dua batang maka aku akan membeli satu buket langsung sebagai gantinya.
Tidak seperti beberapa waktu lalu, Oma kini tidak merespon apapun. Menunggunya untuk menyelesaikan aktivitasnya, aku tidak ingin mengulangi pertanyaan yang sama. Aku takut membuatnya terganggu dan berakhir marah kepada ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Armasa Dewi
knp ai suka tulip kuning ?
2021-09-25
0
Adhe Dhebo
semangat ai, semangat juga kak othor
2021-09-25
0