Dara naik ke lantai atas dengan langkah perlahan, salah satu tangannya tampak memegang batangan gagang tangga yang mengkilat itu dengan enggan.
Tapi dia harus melakukannya, membangunkan Windu, apapun yang diterimanya nanti di sana.
Sudah hampir jam sebelas siang kurang setengah jam lagi, tak ada tanda-tanda Windu keluar dari kamar pribadinya di lantai atas.
Ketika Dara berada di meja makan bersama mertuanya Tuan besar Danuar, yang kini di panggilnya dengan papa itu, menanyakan keberadaan Windu yang tidak nampak ikut sarapan pagi, tentu saja Dara agak kelabakan.
"Nak, Win masih tidur?" Tanya Tuan Danuar.
Dara mengangguk dengan sedikit ragu, sambil mengangsurkan roti yang telah diolesinya selai ke piring ayah mertuanya itu.
Sejak Dara berada di rumah itu, dia terbiasa melayani Tuan besar dan nyonya besar dalam hal makan, kedua orang ini sangat senang dengan ketelatenan Dara, bahkan mereka tak lagi mengijinkan orang lain yang mengurus mereka dalam hal melayani mereka di meja makan.
Tak pernah satu orang pelayanpun yang pernah duduk makan semeja dengan majikan rumah besar ini, kecuali satu orang, yaitu Dara.
Dara yang manis dan lembut itu, begitu disayangi oleh orangtua Windu, mungkin karena mereka tidak mempunyai anak perempuan.
"Hari ini ada meeting dengan beberapa kolega distributor, kamu ingatkan suamimu itu ya, jam 11, papa tunggu di kantor."
"Baik tuan , eh...papa..."Betapa sulitnya membiasakan lidahnya memanggil tuannya itu dengan papa, tapi hal sedetil itupun tertulis di dalam wasiat mama Windu.
" Kalian baik-baik saja?" Pertanyaan papa Windu membuat Dara terhenyak, semua tidak ada yang baik-baik saja.
"Kami baik-baik saja, pa." Jawaban itu terdengar ragu, keluar dari bibir tipis Dara.
"Windu tidak tidur di kamar kalian?" Pertanyaan selanjutnya lebih membuat Dara merasa di cecar tanpa ampun.
"Dia sepertinya ada pekerjaan yang harus di selesaikan segera, tengah malam naik ke atas untuk mengerjakannya dan mungkin ketiduran di sana."
"Oh, begitu...minta dia segera menyusul. Ada beberapa klien ingin bertemu dengannya juga,
untuk beberapa rencana marketing yang harus direalisasi bulan depan."
Dara hanya mengangguk, meskipun separuh dari yang dibicarakan mertuanya itu tidak dimengertinya.
Langkah Dara terhenti di depan kamar Windu, kamar pribadi ini adalah area privat Windu jauh dari saat Dara melangkahkan kakinya memasuki rumah ini.
Windu bukan orang yang mudah dibawa berbicara, tak seorangpun yang bisa benar-benar mendekatinya.
Didikan ayahnya yang keras dan kemanjaan dari sang mama yang luar biasa, membuat dia menjadi sedikit angkuh bahkan terkesan arogan.
Tak ada yang menyangka jika akhirnya sang mama menjodohkan anaknya dengan Dara, gadis yatim saudara jauh Windu sendiri, bahkan ibu Dara hanya menumpang hidup di rumah keluarga Danuar, menjadi pembantu yang mengurus rumah tangga keluarga itu bertahun-tahun.
Seorang gadis bernama Novi itu adalah temannya dari SMA, hanya gadis itulah yang bisa membuatnya bersikap terbuka. Dan selama lima tahun terakhir menjadi kekasih Windu.
Perlahan Dara mengetuk pintu,
hening
Tak ada sahutan dari dalam.
Dara mengetuk lagi, sedikit lebih keras dan lebih panjang.
Tidak ada suara sama sekali.
Dara menarik nafasnya, jarum jam yang hampir di angka sebelas itu mengusik kepalanya.
Apapun yang terjadi dia harus segera membangunkan Windu, jika tidak, dia akan dipersalahkan untuk keterlambatan Windu ke kantor.
Dengan gemetar tangannya memegang gagang pintu, mencoba membukanya.
Pintu itu tidak terkunci.
Dara menahan nafasnya, matanya dipejam sebentar, menghalau rasa gugup yang datang menyergap.
Lalu, hampir tanpa suara pintu besar itu di dorongnya perlahan, di sambut ruangan besar bernuansa monokrom.
Dara mengedar pandangan dan mendapati sosok tubuh yang terbaring dalam keadaan tengkurap di atas tempat tidur besar di tengah ruangan.
Dara melangkahkan kakinya pelan, dia berusaha setenang mungkin. Apapun yang terjadi, dia harus membangunkan Windu meskipun mungkin laki-laki itu akan mengamuk padanya.
Bagian atas tubuh Windu polos tanpa sehelai kain, kemeja putih nya tadi malam tampak teronggok di lantai, beberap kancingnya malah tegeletak lepas, seolah telah di renggut paksa dan lempar begitu saja.
Windu hanya mengenakan celana panjangnya tadi malam.
Dara merasa semakin gugup melihat pemandangan di depannya, tapi dia harus melakukannya, membangunkan laki-laki ini segera.
"Kak Windu...." Suara Dara seperti tercekat di tenggorokan, memanggil nama laki-laki yang telah memp*rawaninya dengan paksa tadi malam.
Yang dipanggil sama sekali tidak memberi respon, hanya suar nafasnya yang terdengar teratur di telinga.
"Kak Windu, bangunlah...." Dara menambah volume suaranya, tapi yang dipanggil benar-benar tak bergeming.
Dara mengumpulkan keberanian dan melangaka menuju pinggir tempat tidur Windu.
Tangannya yang gemetar terulur dan menyentuh bahu Windu.
"Kak..."
Belum sempat dia meneruskan kalimatnya, tiba-tiba Windu berbalik dan menangkap pergelangan tangan Dara.
Tubuh ramping Dara ditarik dengan kekuatan seorang laki-laki, dalam sekejap tanpa sempat memekik dia terlempar ke atas tempat tidur.
Dara terbaring terlentang, sementara Windu sudah berada di atas tubuh gadis yang segera berubah pias dari terkejut menjadi ketakutan itu.
"Kenapa? masih belum puas?" Seringai itu begitu kejam, senada dengan cengkeraman kuat dipergelangan tangan kanan Dara.
"Aku...aku..."Dara tergagap, matanya yang besar tak berkedip, jemarinya terkepal dengan tegang.
"Berani sekali kamu masuk ke dalam kamarku tanpa seijinku..."Suara Windu terdengar menggeram.
"Aku hanya ingin membangunkanmu." Dara menjawab dengan bibir gemetar.
"Oh,ya...apakah kamu menjadi ketagihan untuk ku tiduri?" Windu masih melengkung setengah menindih di atas tubuh Dara, tanpa ada tanda-tanda akan melepaskan cengkeraman pada pergelangan tangan gadis yang pucat pasi seperti anak kucing tak berdaya
"Tuan besar menyuruhku membangunkanmu, karena jam 11 ini ada meeting. Kak Windu di tunggu di kantor..."Dara menjawab dengan cepat sambil menekan kegugupannya, seakan ingin segera menjelaskan semuanya supaya tidak ada kesalahpahaman.
Windu terdiam sesaat, wajah kusut baru bangun tidur itu tak menunjukkan ekspresi apa-apa, seperti es yang membeku.
Sesaat keduanya saling tatap, hanya desah nafas mereka bersahutan, dengan irama hampir sama cepatnya.
Windu melepaskan genggamannya dengan kasar, menarik tubuhnya dan segera bangun.
Di tatapnya sesaat Dara yang segera bangun sambil menutup dadanya, berdiri di depan Windu dengan kikuk.
"Kenapa tidak memberitahuku dari tadi?!" Windu melirik ke jam kecil di atas meja, kurang sepuluh menit jam sebelas. Mulutnya merutuk tidak jelas.
"Aku mau mem..."
Belum sempat Dara melanjutkan kalimatnya, Windu sudah membalikkan tubuhnya dengan muka masam dan berlalu meninggalkan Dara. Dengan keras dia membanting pintu kamar mandi, membuat Dara hampir terlonjak dari tempatnya berdiri.
Dara mengatur nafasnya, melangkah menuju ruangan khusus tempat pakaian Windu dan memeriksa baju-bajunya, menyiapkan beberapa pakaian yang mungkin di kenakan Windu. Memastikan sepatu-sepatu Windu sudah pada tempatnya.
Untuk hal ini memang sudah dikerjakannya sejak dulu, jauh sebelum dia menyandang status sebagai istri Tuan mudanya itu.
Menjadi istri Windu, jauh lebih sulit dari sekedar menjadi pembantu.
...Terimakasih sudah membaca novel ini❤️...
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan😊...
...I love you all❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Ela Suminar
selalu suka karya autor yg satu ini, tdk terlalu banyak ngehalu ... love love buatmu otor kuhhh
2023-01-08
1
Cinta Suci
kasar se x
2022-10-12
0
Endang Purwati
hhmmmm.. karakter yg keras dan memang arogan yaaaa... Windu...
berharap...Dara bisa jauuhh lebih sabar utk hal iniii...
dan iyaaa memang benar apa yg dibilang Dara...""lebih mudah jadi pembantu dripada jadi istri Windu""
Yg jelas...tidak ada beban kewajiban kecuali pekerjaan...beda dgn istri... hhaahh, sya paham bener apa yg di rasa Dara....sabaarrr yaa Dara....
2022-05-24
0