“Halo Kak Angel Afifa!” Anna menyapa kakaknya yang ia lintasi.
“Halo, halo. Bahasa apa sih itu, Ann? Assalamu’alaikum dong, Anna!” Angel, Kakaknya Anna memperingatkan. Pandangannya fokus pada pakaian yang sedang ia seterika tanpa menoleh ke arah Anna yang berlari masuk.
Anna memasuki ruang tamu dan mendapati Ayahnya yang tengah duduk manis di sofa, segelas kopi tersaji di depannya.
“Hai, Ayah!”
“Mulai besok pakai jilbab, Anna. Rambutmu terlalu cantik untuk dilihat para lelaki di luaran sana!” titah Herlambang, Ayahnya Anna kemudian pandangannya kembali ke koran yang ia baca.
Anna tersenyum kemudian masuk ke kamar.
Lima tahun yang lalu Herlambang menunaikan panggilan mulia ke tanah suci Mekkah, ibadah haji. Sekembalinya ke tanah air, para tetangga memanggilnya dengan panggilan Haji meski ia kerap kali menolak gelar yang memang seharusnya tidak perlu ada.
Disamping mengenakan hijab adalah perintah agama, Herlambang juga malu mendengar tetangga yang menyebut anak seorang Haji tidak berjilbab. Oleh karenanya ia sering meneriakkan supaya Anna berhijab.
Kepada Angel, Herlambang tidak perlu lagi meneriakkan hal yang sama. Sudah sejak SMP, sulungnya itu mengenakan hijab karena memang Angel sekolah di Tsanawiyah dan melanjutkan ke Aliyah. Setelah lulus kuliah, Angel menekuni kegiatannya sebagai peternak bebek.
Berbeda dengan Anna yang menuntut ilmu di sekolah umum. Anna tidak pernah menjawab setiap kali Ayahnya memerintahnya memakai hijab, paling-paling hanya tersenyum simpul.
Herlambang meraih ponselnya yang berdering dan langsung menjawab. Dari calon besan.
“Selamat pagi, Pak William. Tentu, Pak. Saya akan luangkan waktu untuk membicarakan perjodohan antara putra Bapak dengan putri saya. Iya. Bisa, bisa, Pak. Saya akan membawa putri saya untuk bertemu. Sebelum mereka dinikahkan, tentu kita harus mempertemukan mereka terlebih dahulu. Putri saya pasti akan menikah dengan Alan William. Ya ya, Pak. Tentu.” Herlambang tersenyum bangga menatap ponselnya sesaat lawan bicaranya memutus telepon. Dia memang belum membicarakan hal itu kepada putrinya, tapi ia yakin putrinya pasti menerima kehormatan itu.
***
Lelaki berjas hitam mengolesi roti dengan selai rasa nenas. Penampilan klimis menandakan ia akan berangkat kerja. Istrinya yang juga berpenampilan rapi, memasuki ruang makan duduk di sisi lelaki berperut buncit itu setelah sebelumnya mendaratkan ciuman singkat di pipi suaminya. Wajahnya tampak lebih muda dari usianya.
“Belum berangkat, Pa?” tanya Laura seraya memotong burger yang sudah disediakan pembantu di meja makan panjang. Saking panjangnya bisa untuk amin tenis meja.
“Belum. Sarapan dulu. Alan mana?” Wiliam menanyakan putra sulungnya setelah sebelumnya menyapu seisi ruangan dan tidak mendapati sulungnya di sana. Hanya ada tiga pembantu yang berdiri di belakangnya mengenakan seragam pembantu berwarna hitam putih. Mereka siaga di sana, jika majikan membutuhkan sesuatu maka akan dengan cepat mereka menyajikannya.
“Alan aja yang ditanya, Stefi sama Clarita nggak ditanyain?”
“Alan kan anak kita yang paling ganteng,” sahut sang Papa yang memiliki perhatian lebih pada sulungnya. Disamping Alan dianggap yang paling bisa diandalkan serta penerus perusahaan yang ia kelola, tentu saja Alan dipandang seperti malaikat pengganti di rumah itu. Toh, tidak sia-sia ia mendidik Alan dengan didikan keras selama ini. Alan menjadi lelaki bertanggung jawab dan cerdas di mata Wiliam.
***
TBC alias to be continued. .
hehee.
Love,
EMMA SHU
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
cahaya 💝
👍
2022-04-02
0
Amira Yustisia
bagus sih novelnya, walaupun nama2 si tokoh kurang nyambung sm realita yg ada haha
2021-12-28
0
Eni Trisnawati Mmhe Winvan
aku pikir TBC penyakit 😂😂😂😂
2021-12-21
0