Enam tahun berlalu.
Seorang wanita cantik dengan dress mahal berkelas terlihat menjuntai menambah kesan anggun sang pemakainya yang baru saja menginjakkan kaki di Kota New York. Ketukan heels dengan lantai bandara tentu menjadi pengiring langkah mereka menuju area luar bandara. Tak lupa, di belakangnya terdapat dua bocah kecil yang berjalan dengan tenang sambil tangan mungilnya menarik koper masing-masing. Jika dilihat dari wajah, tentu semua orang bisa melihat bahwa mereka adalah anak kembar. Yang membedakan hanyalah jenis kelaminya saja.
Sesampainya di bagian luar bandara, wanita yang umurnya masih terlihat begitu muda itu segera merogoh tas dengan label mendunia untuk mengambil ponsel keluaran terbaru miliknya. Ditekannya beberapa angka hingga bunyi nada tersambung mulai terdengar. Matanya yang cantik menatap sekeliling mencari orang yang sudah disiapkan untuk menjemputnya. Namun, sampai sekarang, dia belum melihat batang hidung orang tersebut hingga membuatnya berdecak kesal.
"Mama, sampai kapan kita beldili disini?" kata bocah kecil dengan rambut berwarna coklat tersebut.
Wanita tersebut menoleh. Dia menatap putrinya yang sedang menopang kepalanya di koper dan terlihat gurat kelelahan di wajahnya. "Wait a minute, Honey. Supir yang menjemput masih dalam perjalanan."
Bocah lelaki yang sedari tadi diam perlahan mendekat. Dia mengambil ahli koper milik sang adik, hingga membuat sang empu tak terima.
"Jangan, Abang. Ini punya adek," tolaknya dengan kepala menggeleng.
"Venus capek?" tanya sang bocah yang dipanggil Abang oleh adik perempuannya.
"Iya, Abang Mas. Venus capek, kakinya udah pegal-pegal," ujar Venus mengadu dengan memperlihatkan kakinya.
"Mars, Adek!" nasehat Mars.
"Nama Abang susah. Lidah adek kejepit tau," sungut Venus kesal.
Interaksi kedua anak itu tak luput dari penglihatan sang Mama. Hatinya menghangat melihat anak-anaknya begitu akur dan saling menjaga satu dengan yang lain. Tak pernah sekalipun putranya marah pada sang adik. Bahkan seringkali, Mars menjadi penenang untuk Venus ketika sang adik mulai lepas kendali.
"Sudah-sudah. Mama minta kalian sabar sebentar, oke?"
Kedua anak kembar itu akhirnya mengangguk.
"Kita di sini berapa lama, Ma?" tanya Mars pada sang Mama.
"Setelah jadwal fotografer adek beres, jadwal panggung kita selesai dan pembicaraan tentang entertainment yang baru mengajak kita kerja sama juga siap, baru kita pulang," kata Sia menatap sang putra. "Memangnya kenapa? Mars gak suka di sini?"
Mars menggeleng, "bukan begitu. Dimana ada Mama dan Adek, di situ pasti ada Abang." Galexia mengangguk terharu.
Putranya ini walau terkesan diam dan cuek ketika berada di luar. Namun, dia selalu bersikap hangat pada mereka berdua. Hal itulah yang selalu membuat Galexia bersyukur memiliki keduanya. Saat mereka menunggu hampir sepuluh menit, tak lama datang sebuah mobil hitam Mercedes-Benz berhenti di depan mereka.
"Atas nama, Nona Galexia?" tanya pria tua yang mengenakan pakaian hitam dengan logat Indonesia kaku. Sepertinya pria itu memang orang asli New York karena wajahnya memang kebulean.
"Ya."
"Mari, Nona. Maaf atas keterlambatan saya. Tuan Riksa menghubungi saya agak terlambat tadi."
"Tidak apa-apa, Pak." sahut Galexia lalu dia mengambil ahli koper milik kedua anak kembarnya.
Setelah semua barangnya masuk ke dalam bagasi, perlahan kendaraan roda empat itu mulai melaju meninggalkan halaman bandara. Tanpa mereka sadari, sejak tadi ketiganya berdiri di dekat seorang pria tampan yang sama-sama menunggu sebuah jemputan. Pria dengan jas yang terdapat sebuah lambang GG Entertainment itu berdiri tak jauh dari Sia dan kedua anaknya. Namun, karena ramainya bandara, antara Sia dan pria tersebut saling tak menatap dan menyadari.
Tak henti-hentinya, mata Galexia dimanjakan dengan kemewahan kota besar ini. Sampai tanpa sengaja manik matanya menatap sebuah layar aktif seperti papan iklan terdapat nama dan foto dirinya bersama sang putra terpampang di sana. Ini semua dulu hanya bakat terpendam miliknya, tapi sekarang dari bakat terpendam dirinya ditambah sang putra, membuat mereka bisa berada di titik ini. Dulu mungkin hal seperti ini hanyalah sebuah angan untuk seorang Galexia. Namun, ternyata pertemuannya dengan seorang Antariksa menjadi awal mula kesuksesannya beserta kedua anak-anaknya.
Mengingat hal itu, pikiran Galexia kembali berputar pada kejadian ketika dirinya bertemu pertama kali dengan Riksa di kereta.
"Baiklah. Aku mau bekerja denganmu, tapi ingat! Aku juga sedang mengandung saat ini. Jadi harap memaklumi kesehatan bumil yang bisa berubah-ubah," ucap Sia membuat Riksa mengacungkan jempolnya.
"Tenang saja. Aku bisa mengerti dan akan menjagamu," ucap Riksa dengan wajah yakin. "Jika kau juga mencari ayah sambung. Aku siap menjadi ayah yang baik untuk anak-anakmu. Bagaimana?"
Mata Sia terbelalak lebar bahkan mulutnya menganga tak percaya. Menurutnya Riksa adalah orang aneh yang mengatakan ini dalam pertemuan pertama mereka.
"Jangan aneh-aneh. Itu gak bakal terjadi," ujar Sia sambil memukul lengan Riksa pelan.
"Kenapa? Takdir bukankah tak ada yang tahu?" tanya Riksa dengan menaik turunkan alisnya.
"Tapi itu tak akan terjadi," kata Sia pelan dengan pandangan tertunduk.
Setiap kali memikirkan nasib anak dalam perutnya yang tak didampingi sosok ayah, tentu membuat hati Sia merasa sakit. Kehidupannya yang tumbuh di panti asuhan, tentu membuat Sia tahu betul bagaimana rasanya hidup tanpa sosok keluarga. Namun, memberikan sosok keluarga utuh dengan cara seperti ini tentu bukanlah hal yang benar.
Ini bukan anak Riksa dan dirinya juga tak memiliki perasaan apa pun. Seluruh hatinya saat ini masih dipenuhi oleh cinta untuk mantan suaminya.
"Sudahlah lupakan. Biar waktu yang akan berbicara. Yang terpenting, kamu harus tahu, Sia. Bahwa aku akan turut serta menjaga bayi dalam perutmu."
Setelah hari itu, Riksa benar-benar membuktikan ucapannya. Dua hari setelah Sia berada di Surabaya dan menemukan rumah yang dekat dengan Cafe Riksa. Perempuan yang tengah mengandung itu mulai bekerja. Dia ditempatkan di bagian kasir oleh Riksa agar wanita itu tak terlalu lelah untuk berjalan.
Hingga setelah 2 bulan bekerja, Cafe Antariksa mengadakan pesta kecil untuk acara anniversary yang ke-2. Ruangan Cafe yang luas itu sudah disulap menjadi ruangan yang di bagian sisi kanan terdapat panggung kecil untuk hiburan. Riksa sendiri yang mengatakan pada Sia, bahwa ia mengundang penyanyi untuk mengisi acaranya.
Namun, entah apa yang terjadi, ketika Sia menyusun pot-pot bunga di meja pengunjung. Tanpa sengaja telinga Sia mendengar suara Riksa yang marah pada lawan bicaranya melalui telepon. Dia tak tahu apa duduk masalahnya. Namun, pendengarannya menangkap perkataan Riksa yang mengatakan tentang, harus ada penyanyi pengganti bila penyanyi utama tak bisa.
Setelah itu, Sia sudah tak mendengar apapun. Dirinya juga tak mau ikut campur hingga mengabaikan apa yang baru saja ia dengar. Setelah pekerjaannya selesai, Sia yang akan kembali ke kasir, melihat Riksa yang terduduk di salah satu kursi dengan wajah lesu melangkahkan kakinya untuk mendekat.
"Kenapa kamu terlihat lesu begitu, Riksa?" tanya Sia mengagetkan pria yang kepalanya tertunduk.
"Penyanyi yang kusewa tak bisa datang dan mereka mengatakan tak ada penggantinya. Lalu aku harus bagaimana? Siapa yang akan menyanyi di sana?" tanya Riksa menunjuk panggung yang ia buat.
Galexia merasa kasihan. Dia menatap wajah Riksa yang tadinya bercahaya mendadak suram. Dalam pikirannya, mungkin inilah saat yang tepat dia membalas budi pada pria tampan ini. Toh, selama ini, Riksa sudah begitu banyak membantunya.
"Bagaimana kalau aku saja yang menyanyi?" tawar Sia membuat Riksa tercengang.
"Emang kamu bisa?"
"Sedikit," jawab Sia dengan nada sedikit ragu.
"Sedikit atau banyak yang penting kamu bisa," cerocos Riksa membuat Sia terkekeh melihat sikap temannya kembali. "Kamu siap-siap aja. Pakaiannya sudah ada di ruangan aku, oke?"
Hingga akhirnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Galexia tak menyanyi. Dia mulai mengeluarkan suara emasnya kembali hingga membuat seluruh pengunjung cafe berdecak kagum. Bahkan setelah membawakan 3 lagu yang sudah dia nyanyikan, tepukan tangan mulai menggema membuat Sia begitu tersanjung.
"Suaramu sungguh luar biasa, Sia. Kamu harus meneruskan bakatmu ini."
"Meneruskan bagaimana?"
"Aku memiliki saudara dan dia menjadi juri ajang lomba menyanyi. Aku akan mendaftarkan kamu, oke?"
"Nona...Nona..." Suara supir yang mengejutkan membuat lamunan Galexia buyar.
"Ya, Pak?"
"Sudah sampai."
Galexia menghela nafas berat. Dia segera mengajak kedua buah hatinya keluar dan dia baru menyadari jika mereka sudah berada di depan apartemen yang akan menjadi tempat tinggal sementara dirinya.
Sebelum masuk, Sia menatap bangunan tinggi di depannya dengan mata berbinar. Jika melihat ini semua, ini adalah hasil dari kerja keras putra putrinya yang ikut bekerja membantu dirinya juga.
"Jika bukan karena Riksa mungkin aku dan anakku akan kelaparan di jalanan."
~Bersambung~
Sebagai informasi, novel ini alur maju mundur. Jadi setiap kejadian pasti ada sebab akibat toh dan pasti aku akan memberikan flashback cerita kenapa kok bisa jadi seperti sekarang.
Jangan lupa klik like dan komen yah sebagai bentuk apresiasi pada Author.
Yang minta crazy up harap sabar, author updatenya sesuai permintaan Editor. Jadi, harus nurut.
Support karya author dengan vote poin, koin atau vocher. Biar author makin semangat updatenya. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Ghaisan Rabani
suka ceritanya bagus
2024-09-25
0
Rina Rina Dadu
Wah oke
2024-07-07
1
Lilisdayanti
langsung paforit aja deh 🤭
2023-11-20
1