2. Pertemuan Awal

Junior Roberts, seperti inilah bayanganku untuk sosok Elvan yaaa, cowok tampan yang memukau perhatian para calon mahasiswa di akhir bab ini.

--------------------------------------------------------------------

Beberapa hari setelahnya, kehidupan Renata hanya berkutat di dalam rumah kakek dan

neneknya. Perabot datang di hari keduanya di sana. Kakek dan neneknya jelas menghabiskan sebagian waktu di rumah juga, sementara omnya bekerja di sebuah perusahaan berbasis sains.

Agar tidak bosan, sekaligus mengalihkan pikiran dari kesedihan, dia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan.

Kakeknya gemar membaca. Dulu saat masih kecil, saat kehidupan masih sangat sulit, kakeknya kesulitan membaca dan mendapatkan buku yang ingin dibacanya.

Setelah dewasa, kakeknya pelan-pelan mulai bisa membeli buku-buku yan diinginkannya. Hingga saat sudah beranjak tua, koleksi buku beliau sudah memenuhi dua rak besar kayu jati di ruang perpustakaan keluarga.

Ruang perpustakaan itu tidak terlalu besar. Hanya ada dua rak buku tadi, sebuah meja kerja dan kursi dari kayu, dan sebuah sofa jika kakeknya ingin beristirahat sehabis membaca. Renata suka duduk di sofa itu, karena letaknya di sebelah jendela. Saat hari terasa panas, membuka jendela sangat menyegarkan tubuh dan pikirannya. Buku-buku koleksi kakeknya kebanyakan adalah sastra dan sejarah. Selain itu cuma koleksi majalah jadul yang dijilid sesuai tahunnya.

Renata menyukai koleksi sastra kakeknya. Dia sendiri memang berencana untuk kuliah di jurusan sastra Indonesia. Siang ini Renata memilih sebuah novel roman terkenal. Dia lalu duduk menyamping di kursi, menekuk lututnya, dan menaruh buku di sana.

Tak lama, dirinya hanyut dalam bacaan.

Angin yang masuk lewat jendela hampir membuainya dalam mimpi, namun Renata

memaksakan dirinya untuk terjaga. Dia menoleh ke jendela, bermaksud untuk menutupnya, ketika matanya melihat sekelibatan sesuatu yang rasanya tak asing.

Rumah itu. Rumah besar kuno di atas bukit itu. Di lantai dua itu kembali terlihat ada orang.

Kali ini dua orang. Pemandangannya tidak jelas karena jauh. Tapi kedua orang itu mula-mula

mendekat, lalu menjauh. Lalu mendekat lagi, dan menjauh. Beberapa saat kemudian kedua orang itu tidak tampak lagi.

Renata mengernyit. Perasaannya mengatakan bahwa kedua orang itu sedang bertengkar.

***

Ujian masuk universitas sudah hampir dimulai. Renata mulai bersiap untuk belajar. Di waktu-

waktu dia sedang belajar, terkadang neneknya masuk dan menyapanya.

“Belajar lagi ya?” tanya neneknya. Pertanyaan retoris.

Renata mengangguk.

“Kamu tekun sekali ya. Tadi abis makan langsung ke kamar, nggak mau istirahat dulu nonton tv?” tanya beliau lagi.

Renata menggeleng. Neneknya terdiam, bingung mau berkata apa lagi. Suasana langsung hening. Renata tak ingin memecah keheningan itu.

Sejak sampai di rumah neneknya, Renata memang tidak banyak mengobrol dengan anggota keluarga rumah. Dia ingin menyendiri, ingin memeluk kekosongan dalam dirinya sendirian. Dia juga tidak banyak bergabung saat semua orang berkumpul. Setelah sarapan bersama, dia langsung masuk kamar. Siangnya, dia menenggelamkan dirinya dalam perpustakaan. Setelah makan malam dia juga

langsung masuk kamar.

Renata tahu itu bukanlah hal yang sopan untuk dilakukan. Tapi sepertinya keluarga kakeknya mengerti. Mereka membiarkannya mendapat ruang pribadi sementara waktu.

“Ya udah nenek tidur dulu ya. Jangan begadang ya, nenek sayang kamu.” Neneknya lalu

meremas pundaknya dan mencium sisi kepalanya.

Tenggorokan Renata tercekat. Ibunya juga suka sekali mengucapkan selamat tidur padanya

dan mencium kepalanya. Sekarang dia tahu darimana ibunya mewarisi kebiasaan itu.

Tangan Renata bergetar di atas buku. Dia merasa ingin menangis.

***

Senin ini adalah waktu ujian masuk Renata. Dia terlihat pucat dan ***** makannya hilang. Dia

juga merasa mual. Dia hanya memainkan sendok di atas piringnya yang baru diisi nasi.

“Ini. Telur ceplok kesukaan kamu. Mau pakai kecap? Nenek siapin.” Neneknya

mengagetkannya dari belakang kursi.

“Ah, pakai cabe bubuk aja Nek,” jawab Renata begitu tersadar dari lamunannya.

“Oh ya udah. Tehnya diminum dulu gih,” kata neneknya lagi. Renata mengangguk lalu

mengambil teh hangat yang sudah disiapkan. Teh itu membuat perutnya terasa lebih baik.

“Makan yang cukup, biar nggak lemes waktu ujian.” Omnya datang dari kamar. Sudah

memakai pakaian kerja lengkap. Tasnya ditaruh di lantai di dekat kursinya sebelum dia duduk.

“Iya om,” jawab Renata sambil mulai mengunyah telur yang rasanya seperti karet di mulutnya yang mulai kering lagi.

“Nanti om jemput terus om ajak kamu jalan-jalan mau nggak? Om tahu kamu suka baca. Om juga pengin beli buku baru buat dibaca,” Om Wendra masih berusaha menjalin percakapan.

Renata menatap omnya. Dia merasa bahwa omnya sedang berusaha mengakrabkan diri

dengannya. Maka dia tersenyum dan mengangguk.

“Boleh Om.”

***

Renata menghembuskan napas perlahan. Dia merapikan rambut hitam panjangnya, yang tadi pagi diputuskannya untuk menjalinnya dalam cepol tinggi di atas kepala. Dia juga merapikan kemeja putihnya di atas celana jins hitamnya dengan gugup.

Ujian dilaksanakan di salah satu gedung di universitas dan bertempat di dalam sebuah ruang kelas yang besar. Renata masuk ke dalam ruang itu, yang sudah penuh dengan calon mahasiswa. Dia duduk di kursinya dan menunggu dengan gugup. Dia berusaha mengulang belajarnya di detik-detik

terakhir tapi tidak bisa memusatkan perhatian saking paniknya.

Maka alih-alih hafalan, yang masuk ke dalam pikirannya malah obrolan orang-orang di

sekitarnya.

“Eh, tahu nggak, katanya ada cowok ganteng yang daftar ulang juga tadi!” Cewek di

belakangnya sedang asyik gosip.

“Alah, cuma cowok. Kirain apaan.” Renata bisa mendengar jawaban tidak peduli dari lawan

bicara si cewek.

“Kamu nggak tahu sih wajahnya kayak apa. Coba bayangin idol Korea deh, atau aktor cowok Jepang. Nah mukanya kayak gitu! Anjir lah cakep pokoknya.”

“Halaaa.”

“Coba deh nanti dia masuk ruang apa waktu ujian. Semoga aja ruang ini sih.” Si cewek yang

masih asyik gosip terkikik kesenangan.

“Udah ah. Bentar lagi dimulai ujiannya.”

Renata menutup buku dan memasukkannya ke dalam tasnya. Dia lalu menutup wajahnya

dengan telapak tangan, merasa frustasi. Dia nggak ngerti lagi kenapa dalam situasi yang membuat stres ini, si cewek tadi sempat-sempatnya bahas cowok.

Para calon mahasiswa di sekitarnya kasak kusuk, membuat pikirannya makin kacau. Lalu

lambat laun, suara-suara mereka mulai memudar. Takut ketiduran, dia menurunkan tangannya. Bisa malu dia kalau ketahuan tidur di saat seperti ini.

Dia langsung mengernyit ketika menyadari bahwa suara-suara di sekelilingnya masih berhenti. Kebingungan, dia mencoba mencari penyebabnya, dan segera menemukannya.

Perhatian semua orang terpusat pada satu orang cowok yang sedang berdiri di depan pintu, kelihatan jelas dia baru saja masuk.

Cowok itu tinggi, perawakannya sempurna. Wajahnya putih bersih, matanya menyipit

kelihatan tidak peduli, rambutnya agak awut-awutan, namun justru sangat cocok buatnya.

Dia memakai kemeja putih di balik jaket hitam yang terlihat mahal. Sepatu hitamnya yang tanpa cela tidak menimbulkan suara ketika dia melangkah. Tangan kanannya memegang tali tas selempang hitam panjangnya sementara tangan kirinya menjuntai bebas di sisi tubuhnya.

Dia berjalan dengan santai lalu duduk tenang di kursinya, yang hanya berjarak dua kursi di

depan Renata, tidak menyadari atau tidak mau peduli pada pandangan seluruh orang di ruangan yang tertuju pada dirinya. Setelah duduk, kedua tangannya diletakkan di atas meja, pandangannya tertuju sepenuhnya ke depan.

Kelas masih hening selama beberapa menit setelahnya. Renata menoleh ke belakang dan

menyadari ada cewek yang sedang melongo sambil ngeces di belakangnya. Jangan-jangan ini cewek yang tadi, pikirnya curiga. Cewek di sebelahnya juga sedang melongo, walaupun lebih sopan tanpa air liur menetes dari mulutnya.

Keheningan itu baru pecah setelah penguji masuk. Dia menenteng sebuah map tebal yang tampak berat.

“Nah, bagus. Udah pada kumpul semua ya. Anteng lagi. Bagus. Saya senang, saya senang.” Si penguji tersenyum, tampak menganggap situasi itu wajar. Dia lalu mengeluarkan kertas ujian dari map sambil masih tersenyum.

Dari tempat duduknya, Renata melihat si cowok pendatang baru itu menyeringai dari sudut mulutnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!