Hampir sebulan Dylan bekerja di perkebunan kelapa sawit, ia mulai menikmati setiap perannya.
Telapak tangannya sudah mulai kapalan ia tidak peduli lagi yang penting tidak terasa sakit juga tidak terluka lagi.
Kumis, jambang, juga janggutnya, sudah memenuhi hampir seluruh wajahnya, ia sudah tidak lagi mempedulikan penampilannya.
Hari- hari masih seperti biasa pulang pergi bersama Lili terkadang mereka bercanda, terkadang mereka hanya diam saja.
Dylan mulai memahami Lili sebenarnya dia wanita yang lembut, periang dan sangat cerewet.
Dari Mak Upik Dylan mampu mengobati sedikit rasa kehilangan sosok mamanya, dari keduanya Dylan mendapatkan kasih sayang.
"Gunakan ini, untuk mencukur kumis dan janggutmu. Aku sudah tidak bisa membedakan, yang mana kambing dan kamu, Cok." Lili Memberikan silet dan alat cukur.
"Enak, saja kalau ngomonk!" Ucap Dylan sambil tersenyum.
Lili sedikit kasar bila berbicara kepada Dylan namun, Lili selalu penuh kejutan dan perhatian.
Lili selalu memberi perintah, seperti seorang komandan kepada bawahannya. Akan tetapi Dylan selalu saja mengerjakan semua perintah itu, karena Dylan merasa itu bukan perintah tapi wujud dari kasih sayang Lili. Dylan mencukur habis jambang dan kumis serta janggutnya
saat ia menatap cermin, ia sendiri pun sudah tidak mengenali wajahnya.
Hari ini juga masih seperti biasa tidak ada yang istimewa Dylan dan kelompoknya bekerja di bagian penanaman bibit, Mereka menyusun bibit ke dalam angkong lalu mendorongnya, menjatuhkan setiap bibit di setiap lubang dan menimbunnya dengan tanah galian.
Mereka terus melakukan pekerjaan sesuai dengan target yang diberikan si mandor, mentari menyengkat kulit dengan luar biasa panas. Bekal air minum sudah habis, sementara waktu pulang masih beberapa jam lagi.
"Ariii, bagi air minum!" Teriak Dylan.
Ari mengangkat botol minumannya yang juga kosong. Parmin menghampiri Dylan dengan tergopoh-gopoh.
"Cok, bagi air minummu!" Ujar Parmin.
Dylan mengangkat botolnya juga kosong.
Botol air minum mereka, kosong melompong semuanya.
Iwan sebagai mandor kebetulan mengawasi kelompok lainnya yang jaraknya beberapa hektar di depan mereka.
Mereka saling pandang berbicara dengan pikiran masing-masing, akhirnya kesepuluh pria itu membuka baju mereka dan berlari ke parit di sekitar mereka.
Membentangkan baju seperti saringan dan mengambil air di atas baju mereka, yang sedikit bening dari aslinya yang seperti teh.
Memasukkannya ke dalam botol masing-masing, setelah di rasa penuh mereka naik dari parit.
Meminum air gambut itu.
Sejenak ... keheningan tercipta. Kesepuluh pria itu menikmati cita rasanya.
"Seperti ... minum teh manis dinginn!" ucap Ari membuat yang lain tertawa.
Kesepuluhnya dengan memakai baju basah, kembali melakukan pekerjaannya.
Begitulah yang mereka lakukan berulang-ulang, jika isi botol air minum mereka habis.
"Matahari ... benar-benar luar biasa hari ini." Ujar Parmin
"Sabarr, semua ini adalah ujiaannn " Arif menirukan salah satu iklan di Tv.
Dylan tertawa, ia kembali rindu peradapan.
"Sudah terlalu banyak dosa!. Jadi ya ... begini, inilah. Hukuman dari_Nya." Ucap Sofian
"Bagaimana setelah ini, kita mencari ikan. Di bagian selatan, air parit sudah mengering. Aku lihat tadi pagi, banyak ikan yang mulai megap-megap." Karsono menimpali.
"Kau ikut Cok, lumayan buat lauk...." Ajak Tama.
"Ayoo, siapa takut!" Jawab Dylan.
Jauh di dalam hatinya ia sedikit ragu
Ia tidak tahu, "Bagaimanakah caranya?" batin Dylan penasaran.
"Aku akan belajar bagaimanapun caranya?" Batin Dylan menguatkan keberaniannya.
Pekerjaan lebih cepat selesai dari biasanya.
Seperti kesepakatan mereka, Dylan dan kelompoknya menuju parit di bagian selatan perkebunan.
Mereka beramai-ramai memasuki parit, yang sudah tidak berair lagi.
Dylan memperhatikan kawan-kawanya, mereka menangkap ikan dengan lincahnya seperti berang-berang.
Ikan-ikan yang sudah ditangkap, di tusuk ingsangnya ke sebuah tanaman perdu kecil hingga berjuntai panjang, hingga ikan bersusun memanjang.
Dylan mengikuti apa yang dilakukan semua temannya.
Dylan merasakan kebahagiaan yang luar biasa, yang belum pernah ia rasakan sepanjang hidupnya.
Hatinya berteriak senang. Saat seekor ikan besar berhasil di tangkapnya.
"Aku dapat, aku dapat !" teriak Dylan penuh kemenangan.
Mereka hanya saling pandang dan kembali tertawa.
Dylan sudah mendapatkan hampir dua puluh ekor ikan besar.
Hasil tangkapan ikannya, ia juntaikan seperti yang dilakukan kawan-kawan seperjuangannya.
Mereka menyudahinya, karena hari sudah mulai senja.
Mereka kembali masuk ke dalam air gambut, untuk membersihkan lumpur-lumpur gambut yang menempel di sekujur tubuh masing-masing. Kembali ke kantor, untuk mengisi absen dan pulang dengan senyum lebar.
" Makan besar! Makan besarrrrr .... !!" ulang Ari berulang-ulang.
"Pasti, senang Gadis kecilku." Ujar Sofian
"Sengsara membawa nikmat!" Ucap Parmin.
Dylan setengah berlari menuju ke sekolah ia takut Lili menunggunya, sudah terlalu lama, Dylan melihat dari kejauhan gadis manis itu sedang duduk di bawah pohon jalutung.
Bunga-bunga jalutung berguguran di sekitarnya, beberapa bunga menyangkut di rambutnya yang tergerai panjang yang sengaja ia gulung. Bias-bias senja menambah indah sekitarnya seperti lukisan, sepertinya ia pernah melihat lukisan ini.
Dylan mencoba mengingatnya tapi ia lupa.
"Lili, maaf aku terlambat." Ucap Dylan
"Wah, ikannya besar-besar .... !" jawab Lili mengambil ikan dari tangan Dylan.
"Ayo, cepat pulang sudah sore ...." Ajak Lili
Dylan mengayuh sepeda ontel dengan cepat.
Matahari sudah mulai tenggelam, adzan magrib berkumandang.
Dylan memasukkan sepeda ke kolong bawah rumah panggung. Saat ia ingin mengunci pintu, ia melihat sebuah sepeda motor jaman dulu.
Dylan mengurungkan niatnya untuk menyentuh sepeda motor itu. Karena ia akan mandi, dan sholat magrib.
Ia tidak ingin Lili atau Mak Upik mengomel.
Setelah melakukan kewajibannya sebagai umat Islam.
Dylan mulai membantu Lili untuk memasak makan malam.
Walaupun, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana.
"Apa yang bisa aku bantu, Li?" tanya Dylan.
"Kamu bisa menyiangi ikan ini." Jawab Lili
"Bagaimana caranya?" Dylan bertanya kembali.
Lili memandang ke arah Dylan, menghembuskan nafasnya.
"Dasar ... Anak Mami!" sungut Lili
"Lihat, seperti ini! Kamu pegang begini, kamu sisik kulitnya, terus kamu belah begini buang kotorannya, selesai. Selanjutnya cuci bersih!" Lili mempraktikkannya.
"Aku akan membuat bumbunya. Jangan lupa mencucinya pakai air limau!" Tambah Lili.
"Siapa yang menangkap ikan ini, Cok?" tanya Mak Upik sambil melihat pekerjaan Dylan.
"Ucok, Mak." Jawab Dylan
"Akh, yang benar Cok! Tumben ...?Gimana cara kamu menangkapnya?" Lili tidak percaya.
"Selalulah ... kamu tidak percaya kepadaku?." Jawab Dylan datar.
"Emak percaya sama, Ucok." Jawab Mak Upik membela Dylan.
"Nah, ini Emakku yang luar biasa!" Dylan tanpa sadar memeluk Mak Upik dan Mak Upik membelai lembut kepala Dylan.
Lili melihat Dylan dan Mak Upik bagaikan pasangan ibu dan anak yang sebenarnya, Lili juga merasakan kebahagiaan dengan hadirnya Dylan di antara mereka.
Mereka menyantap makan malam dengan penuh suka cita.
Seperti biasanya, Dylan menemani Mak Upik menganyam tikarnya.
"Mak, memang dari zaman dulu PLN tidak pernah ada ya, Mak." Tanya Dylan.
"Dulu ada Cok, PLTD. Cuman kata Kepala Desa, 'sudah rusak'. Tidak ada yang bisa memperbaikinya." Jawab Mak Upik.
"Mengapa tidak mencari teknisi dari kota, Mak?" tanya Dylan.
"Biayanya, kata mereka, 'mahal', belum lagi peralatan-peralatannya, Cok." Ucap Mak Upik.
"Apakah mesin PLTD itu masih ada, Mak?" Tanya Ucok Lagi.
"Kata Sanjaya, 'Masih ada', Cok." Kata Mak Upik terus menganyam tikarnya.
"Kapan-kapan, ajak Ucok ke rumah Kepala Desa, Mak." Pinta Ucok.
Ia merasa kasihan melihat Mak Upik menganyam, bertemankan lampu teplok belum lagi besok pagi hidung akan hitam dibuat asapnya.
Walaupun, Dylan terkenal badung jarang pergi ke kampus itu semua karena ia mulai bosan ia sudah hafal semua materi pelajaran. Bahkan, ia sudah mempraktikkan sebagian pelajaran politeknik sipilnya.
"Mak, Ucok lihat ada sepeda motor di bawah Mak. Punya siapa, Mak?" tanya Dylan kembali.
"Ooo ... itu, punya Abah. Semenjak Abah tidak ada, motor itu tidak ada yang mengurusnya. Emak tidak tahu menahu soal sepeda motor." Jawab Mak Upik jujur.
"Mak ... besokkan hari Minggu , Ucok libur Mak. Bolehkah Ucok lihat sepeda motornya, Mak?" pinta Dylan.
"Boleh Cok, semua kunci-kunci dan alat pertukangan ada di bawah juga. Kamu carilah besok." Jawab mak Upik tersenyum.
Lili ke luar kamarnya membawa setumpuk kertas ujian, ia ingin memeriksa dan menilai hasil ujian muridnya.
Dylan hanya melihatnya mengamati semua tingkah laku Lili,
Dylan mendekat ia ingin membantu Lili.
"Sedang apa, Lili?" Tanya Dylan
"Kamukan bisa lihat? Pakai tanya lagi?!" Jawab Lili dengan juteknya.
Lili memegangi perutnya, ia berlari ke kamar mandi.
"Ada apa dengan Lili, Mak?" Dylan penasaran.
"Lili, sedang datang bulan, Cok." Ujar Mak Upik
Dylan hanya diam ia kurang begitu paham soal wanita.
"Apa ada ... obat pereda sakitnya, Mak." Dylan terus memandang kearah dapur.
"Sebaiknya, emak merebus kunyit, dan berbagai rempah dulu." Mak Upik bangkit.
"Sudahlah Mak, biar Ucok saja. Emak tinggal bilang apa-apa saja." Dylan pergi
"Kunyit, asam jawa, gula merah, direbus." Ucap Mak Upik.
Dylan mengingatnya, hanya saja ia tidak tahu rupa benda-benda yang disebutkan Mak Upik.
"Mak, yang namanya kunyit yang mana, Mak?" Dylan memberikan semua bumbu dapur kepada Mak Upik.
"Ini kunyit," Mak Upik memberikan kunyit, "Ini asam jawa", kembali Mak Upik memberikannya, "Ini gula merah," Mak Upik memberikannya juga.
"Iris-iris halus, dan rebuslah!" Perintah Mak Upik.
Dylan merebus semua bahan, setelah matang ia menuangkan ke dalam gelas.
Memberikan kepada Lili.
"Lili minumlah .... !" Lili bangun dari tempat tidur dan meminum ramuan dari tangan Dylan.
"Wajahnya pucat sekali ... apa begitu parah sakitnya? Kasihan, Lili!" batin Dylan sambil terus memperhatikan wajah Lili yang cantik.
"Terima kasih." Ucap Lili dan kembali tidur.
Dylan ke ruang tengah, di mana Mak Upik masih menganyam tikarnya.
Dylan mengambil semua kertas-kertas ujian murid membaca meneliti jawabanya, menceklis benar atau salahnya serta memberi nilai sesuai dengan benarnya jawaban
Diam-diam Mak Upik memperhatikan Dylan, Mak Upik selalu merasa Dylan bukanlah pemuda sembarangan.
Hanya saja Mak Upik selalu menghargai pribadi setiap orang, ia tidak akan ikut campur kecuali orang itu sendiri yang memintanya.
Wanita tua ini sangat bersahaja dan tidak pernah salah menilai kepribadian orang.
"Cok, sebaiknya kamu istirahat. Walaupun besok tidak bekerja. Alangkah baiknya ..., kalau kamu cukup tidur juga." Mak Upik mengingatkan Dylan.
Jam dinding kuno sudah berdentang dua belas kali malam sudah semangkin larut.
Suara pungguk terus menyayat hati merindukan rembulan, menambah pilu dan mencekamnya suasana malam.
"Iya, Mak." Dylan melangkah ke kamarnya begitu juga Mak Upik.
Malam dingin mengantarkan tidur dengan nyenyaknya. Di dusun ini tidak butuh AC ataupun pengharum ruangan. Semua serba sederhana.
Wangi bunga jalutung, mengalahkan wangi pengharum ruangan.
Bersambung...
Terima kasih buat pembaca yang sudah sudi, meluangkan waktunya. Author sangat membutuhkan komentar, like dan vote. Untuk penyemangat dan membuat karya lebih baik lagi author.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
The Taste Of Love👩🍳👨🍳
like😍
2021-10-08
0
Titik pujiningdyah
like mak
2021-10-01
0
𝔸𝕝𝕖𝕖𝕟𝕒 𝕄𝕒𝕣𝕊
5 like mendarat kakak cantik👍😘 😍😍
2021-09-12
0