Rekan kerjaku sekaligus teman satu ruangan adalah Mbak Silvi. Sama seperti aku, ia juga masih lajang. Namun, hubungan kami bukan sekadar teman biasa. Setelah hampir satu tahun bekerja bersama, kini ia lebih seperti kakakku sendiri. Kami saling menjaga, sering berbagi cerita kehidupan pribadi. Aku mempercayainya karena ia memiliki karakter yang kuat dan tidak mudah terpengaruh lingkungan.
“Kaak, berangkat!” seru Bagas, adikku, membuyarkan lamunanku.
“Oh iya,” jawabku sambil segera berpamitan pada Ibu. Kami pun melangkah keluar rumah.
Hembusan angin pagi menyapu wajahku. Rambut sebahu yang tergerai sesekali kuusap ke belakang karena menghalangi pandangan. Jalanan mulai ramai, kendaraan lalu-lalang, para orang tua tampak sibuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah.
Bayangan wajah ayah melintas di benakku—sudah beberapa tahun sejak terakhir kali beliau mengantarku ke sekolah. Saat itu aku masih SD. Kenangan itu takkan pernah kulupakan. Dulu, aku sering memeluk ayah erat-erat karena takut saat dibonceng di sepeda motornya. Kadang aku bahkan memejamkan mata saat ayah memacu motor agak kencang. Tangan ayah yang satu tetap mengemudi, sementara yang lainnya kadang ke belakang, memastikan aku tak jatuh.
Tepat pukul dua belas siang, waktunya istirahat. Aku dan Mbak Silvi keluar kantor untuk makan siang. Kantin kampus penuh sesak oleh mahasiswa. Kami pun memutuskan mencari tempat makan lain di sekitar kampus. Tiba-tiba suara klakson mobil membuatku terkejut. Mobil Kak Hilman berhenti di tepi jalan, jendelanya terbuka. Di dalam tampak Suci, Mbak Indah, dan Kak Fajar.
“Kalian mau ke mana?” tanya Kak Hilman.
“Mau cari makan yang enak,” jawab Mbak Silvi.
“Ayo ikut kami, ke tempat biasa,” ajak Kak Hilman.
“Kita ikut aja, Mbak. Bosan juga makan di sekitar sini terus. Kan rame-rame seru,” bujukku.
Akhirnya Mbak Silvi setuju, dan kami pun naik mobil Kak Hilman.
Mbak Silvi sebenarnya punya pacar—Kak Andi. Orangnya cukup temperamental. Ia tak suka jika Mbak Silvi terlihat bersama pria lain, meski hanya sebatas rekan kerja. Namun hari ini, entah kenapa ia tampak lebih santai. Tempat makan yang kami tuju tidak jauh dari kampus. Jika berjalan kaki, mungkin akan melelahkan. Tempat itu memang terkenal. Makanannya variatif: dari prasmanan nasi lauk lengkap, hingga bakso, mi ayam, dan gado-gado. Pengunjungnya selalu ramai, dan harganya pun terjangkau. Kami memilih meja lesehan yang cukup besar untuk enam orang. Mbak Silvi memesan mi ayam, sedangkan aku tetap dengan pilihan andalan: nasi putih, sayur, dan lauk. Menurutku, makan siang tanpa nasi seperti ada yang kurang.
Aku jadi teringat satu kejadian lucu. Dulu, ketika Mbak Silvi dijemput Kak Andi untuk makan siang, mereka mengajakku makan bakso terkenal di daerah ini. Rasanya memang enak, tapi satu jam setelahnya perutku kembali lapar. Akhirnya aku ke kantin dan beli nasi setengah porsi. Mbak Silvi sampai meledek, “Bodi sih mobil sedan, tapi muatannya kayak mobil puso.”
Selesai makan, kami kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan, aku dan Suci jadi bahan candaan karena sama-sama belum punya pacar. Suci baru saja putus, sedangkan aku memang memilih untuk tidak pacaran. Rasanya hati ini belum ingin membuka diri. Di keluarga, pacaran adalah hal biasa, tapi aku lebih memilih langsung ke jenjang pernikahan. Ada luka lama yang membuatku mengunci hati begitu rapat. Pukul satu kurang beberapa menit, kami kembali bekerja. Saat masuk ruangan, mataku tertuju pada dua batang cokelat yang terikat pita merah di atas mejaku. Di atasnya tertulis:
"Untuk Zakiah yang manis"
Aku celingukan, mencari tahu siapa pengirimnya. Tapi tak ada nama. Aku sempat menduga Imam dari fakultas lain. Ia memang pernah mengirim salam lewat teman, tapi sejak tahu aku menolak pacaran dan hanya ingin hubungan serius, ia tak pernah mencoba lagi.
Bu Ranti masuk ke ruangan.
“Kia, di mana Silvi?”
“Mbak Silvi sedang salat, Bu.”
“Nanti tolong bilang, ibu ingin bertemu dia di ruangan.”
“Siap, Bu.”
Kami biasa salat di ruang belakang yang disekat lemari arsip. Musala ada di lantai dasar, tapi karena antri dan cukup jauh, kami lebih nyaman di ruang ini.
“Kia, nggak salat?” tanya Mbak Silvi sambil melepas mukena.
“Lagi halangan, Mbak,” jawabku pelan, sambil masih menatap cokelat itu.
“Coba buka, siapa tahu ada namanya,” kata Mbak Silvi.
“Enggak penasaran,” ucapku, padahal sebenarnya... penasaran juga.
Akhirnya aku membuka pitanya. Di balik tulisan “Untuk Zakiah” tertulis:
"Dari pengagum rahasia"
“Wah, jadi tambah penasaran,” ujar Mbak Silvi tertawa kecil.
“Aku malah takut, Mbak. Ini halal nggak, jangan-jangan ada sesuatu.”
Mbak Silvi langsung mengambil satu batang, mengangkat satu kakinya, dan memutar cokelat itu di bawahnya.
“Buat netralin energi, takut ada sihirnya,” ujarnya sambil cekikikan.
Aku ikut-ikutan saja, antara percaya dan tidak. Tapi ya... lucu juga.
“Oh iya Mbak, tadi Bu Ranti nyariin.”
Pukul empat sore, waktunya pulang. Mbak Silvi mulai ritualnya: merapikan rambut, memakai bedak dan lipstik. Ia melakukan hal yang sama setiap selesai salat zuhur. Pantas saja dandanan Mbak Silvi selalu terlihat segar, tak berubah dari pagi hingga sore. Aku sendiri cukup dengan menyisir rambut. Bedak dan lipstik hanya kupakai saat berangkat kerja. Beberapa dosen dan karyawan sudah berkumpul di sekitar mesin fingerprint. Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.05, tapi mesin fingerprint masih di pukul 15.40. Biasanya waktu di mesin dan jam tangan sama, tapi kali ini selisihnya 25 menit. Jika absen lebih awal, gaji bisa terpotong.
“Jamnya ngaco,” kata Mbak Silvi cemas.
“Kita nunggu saja, Mbak, 20 menit lagi.”
“Aku harus pulang sekarang, Kak Andi udah nunggu dari tadi. Duluan ya Kia.”
Mbak Silvi tetap menempelkan jarinya di fingerprint. Mesin berbunyi, “Terima kasih.” Ia pun segera pergi.
Beberapa teman mulai gelisah. Suci disuruh Bu Dina menghubungi Ridwan dari bagian SDM. Ia yang pegang sistem fingerprint. Ridwan datang, lengkap dengan tas ransel. Suasana langsung riuh seperti pejabat datang ke acara besar. Ia memeriksa mesin, dan ternyata jamnya berubah karena mati listrik beberapa jam lalu. Fingerprint pun kembali normal. Sekarang pukul 16.10. Hanya selisih lima menit dari saat Mbak Silvi pulang. Tapi tetap saja ia tak bisa menunggu satu menit pun.
Suci menawariku ikut naik motornya, tapi Bagas datang tepat waktu. Kami pun pulang berdua. Anehnya, kali ini rute yang kami ambil berbeda.
“Gas, kok lewat sini?”
“Takut ketemu Linda, Kak.”
“Linda siapa?”
“Teman kuliah. Baru mau pendekatan.”
“Lah, terus kenapa?”
“Nanti dia kira Kakak pacarku. Bisa gagal sebelum mulai.”
“Ajakin ke rumah, kenalin ke Kakak.”
“Baru mau PDKT…”
“Bagusnya langsung nikah aja, Gas. Nggak usah pacaran.”
“Wah, mantap itu, Kak.”
Karena rute memutar, kami tiba di rumah dalam waktu 25 menit, padahal biasanya cuma 15. Bagas memang sering mengenalkan teman perempuannya padaku. Tapi belum ada yang bertahan lama. Terakhir, saat awal semester satu. Sekarang sudah semester dua, sudah ada yang baru lagi. Entah apa yang ia cari. Bagiku, hubungan bukan tentang banyaknya orang yang datang dan pergi, tapi tentang siapa yang bersedia menetap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Your name
Bisa pada tau gitu ya, hmm pasti ada yang ngegosip.
Menurut aku pilihan yang tepat sih menikah dulu sebelum berpacaran, Mala aku mendukung Zakiah yang ngk terpacu sama gengsi.
2021-12-27
1
Panggil saja Kanjeng Ratu🤪
semangat selalu
salam dari "memilih cinta yang sempurna"
2021-10-09
0
Mommy Gyo
hadir lagi thor salam cantik tapi berbahaya
2021-07-09
1