Insiden

Brukk!!

"Astaghfirullohal'adzim!" teriak Lala yang tidak sengaja melihat kejadian itu. Ia begitu syok.

Tubuhnya ikut-ikutan lemas melihat kejadian di depan matanya. Bagaimana tidak, kini tubuh sahabatnya itu sudah terjatuh tak sadarkan diri di teras masjid.

Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana bongkahan kayu itu jatuh menghantam tubuh Huma. Beruntung tidak mengenai bagian kepala. Hanya bagian bahu sebelah kanan saja yang terkena.

"Ya Allah, Mbak Huma!" Lala berlari cepat menuju Huma yang kini terbaring di lantai. "Mbak... Mbak...." Lala menggoyangkan tubuh Huma. Kepanikan tampak pada wajah Lala. Matanya mulai berkaca-kaca, khawatir dengan keadaan Huma.

******

"Eughh..." Lenguhan keluar dari mulut kecil Huma. Perlahan ia berusaha membuka mata.

"Aaww sakiit...." Huma memegang bagian belakang punggungnya yang kini terasa sangat nyeri.

Ia mengamati keadaan sekitar. Tak ada orang. Hanya ia sendiri yang kini terbaring di atas ranjang beralaskan kain putih. Terlihat gorden dengan warna yang sama mengitari ranjang tempat ia berbaring. Menciptakan ruangan kecil berukuran 2 x 3 meter. Tampak meja kecil berbahan besi berada di sampng kiri ranjang.

"Dimana aku?" tanya Huma. Ia mencoba bangkit, mendudukkan dirinya diatas ranjang. Berusaha turun, namun rasa sakit di punggungnya tak tertahankan.

"Mbak, Mbak Huma sudah sadar? Alhamdulillah.." Lala muncul dari balik gorden dan langsung saja memeluk Huma.

"Aaww sakit, La," ucap Huma, meringis kesakitan. Bagaimana tidak, tangan Lala kini berada di belakang punggung Huma yang sakit.

"Ehh maaf, Mbak, maaf." Lala tersadar akan perbuatannya. Segera melepas pelukannya dari Huma. Merasa bersalah.

"Kita dimana, La?" tanya Huma. Ia mengerutkan kening, masih belum mengenali ruangan yang kini ia tempati.

"Mbak lagi di ruang IGD rumah sakit, Mbak," jawab Lala.

"Rumah sakit?" tanya Huma.

"Iya, Mbak. Tadi kan Mbak Huma kejatuhan balok kayu di masjid. Mbak pingsan. Beruntung ada Mas Huda yang nolongin," ucap Lala menjelaskan, "Mas Huda tadi langsung membopong tubuh Mbak Huma loh, trus dibawa ke rumah sakit ini pake mobil tukang." Lala begitu antusias menjelaskan, tak memberi kesempatan kepada Huma untuk menjawab.

"Mas Huda siapa, La?" Huma masih bingung dengan semua penjelasan Lala. Ia memang ingat kejadian tadi di masjid saat ada balok kayu yang hendak jatuh menimpanya. Namun setelah itu, semuanya tak lagi ia ingat.

"Mas Huda itu tukang bangunan, Mbak, yang sore itu kita lihat di teras masjid pake baju koko. Yang tampan itu. Mbak ingat, 'kan?"

Huma berusaha mengingat siapa tukang bangunan yang dimaksud Lala itu. Apa mungkin pemuda itu?

"Sekarang aja Mas Huda masih nungguin di luar sama Mas Anang, temennya. Dia kelihatan panik banget sama keadaan mbak."

"Assalamu'alaikum." Sapa dua orang pemuda yang datang menemui Huma dan Lala di ruang IGD.

"Wa'alaikumussalam warohmatulloh," ucap Huma dan Lala berbarengan.

"Eh, Mas Huda," senyum Lala pada pemuda yang bernama Huda itu.

"Mbak, itu loh yang namanya Mas Huda, yang pake kaos merah," bisik Lala tepat di telinga kanan Huma. Huma hanya mengangguk, paham.

Huda membalas senyuman Lala, "Mbak Huma, gimana keadaannya sekarang? Udah mendingan? Atau masih sakit?" Kini tatapan Huda beralih ke arah Huma.

"Emm, udah mendingan kok, Mas," jawab Huma, berbohong. Sebenarnya punggung Huma masih terasa sangat sakit. Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak enak hati dengan kedua pemuda itu. Takut mereka khawatir dan merasa bersalah.

Huma melirik ke arah pemuda di samping Huda. Dia tukang yang tadi berada di atas lantai tiga. Wajahnya terlihat sangat takut, merasa bersalah mungkin.

"Alhamdulillah kalau sudah mendingan," ucap Huda, sedikit lega, "maafkan teman saya ini ya, Mba, gara-gara tadi nggak hati-hati, Mbak Huma jadi terluka," ucap Huda menunjuk pemuda disebelahnya.

"Iya, Mbak. Saya sungguh-sungguh minta maaf. Karena keteledoran saya, Mbak jadi masuk rumah sakit," ucap pemuda bernama Anang itu. Ia merasa sangat bersalah atas insiden barusan.

Di luar ruangan tadi, Anang baru saja dimarahi habis-habisan oleh Huda. Baru kerja dua hari di pesantren itu, Anang sudah membuat masalah serius. Huda selaku pemimpin proyek pembangunan menara masjid Ash-Shidiq tentu merasa tidak enak hati dengan abah kyai.

Apa yang nanti akan ia katakan jika abah kyai tau pekerjanya membuat salah satu santri abah kyai terluka. Apalagi santri tersebut merupakan gadis yang dua hari ini selalu membayangi pikiran Huda. Tentu saja, Huda tak bisa membendung amarahnya.

Anang hanya pasrah menerima amarah dari Huda. Memang ia yang bersalah. Kini ia takut jika gara-gara insiden ini, ia kehilangan pekerjaannya. Ditambah ia juga khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Huma.

"Emm, nggak papa kok, Mas. Namanya juga musibah. Sudah takdir dari Allah. Beruntung luka saya ngga terlalu parah kok. Mas masnya ngga usah merasa bersalah seperti itu. Saya ngga papa beneran," jawab Huma, menenangkan dua pemuda itu.

Huma sangat bersyukur bahwa luka di punggungnya hanya sekedar memar saja. Apa jadinya jika tulang punggungnya itu sampai retak atau patah terkena balok kayu tadi. Tentu akan menghambat seluruh aktivitas Huma.

"Tapi bagaimanapun juga, ini semua kesalahan kami, Mbak. Kami benar-benar minta maaf," pinta Huda. Raut mukanya tampak begitu bersalah. Ada kekhawatiran yang sangat di kedua bola matanya.

"Iya, Mas... sudah saya maafkan kok," jawab Huma. Sedari tadi ia hanya menunduk, tidak berani menatap kedua pemuda tersebut. Selain untuk menjaga pandangan, Huma juga tidak terbiasa bersitatap dengan yang bukan mahromnya.

"Terimakasih ya, Mbak," ucap Huda.

Huma tersenyum. Mengangguk. "Iya sama-sama, Mas."

"Permisi, Mas, Mbak. Demi menjaga kenyamanan pasien, penunggu pasien hanya boleh satu orang saja, sebaiknya Mbak atau Masnya yang lain menunggu diluar saja ya." Seorang perawat datang menegur mereka berempat.

"Eh iya, Sus, maaf ya, kami berdua yang akan keluar," ucap Huda, "Mbak Huma, kami berdua permisi dulu ya. Kalau ada apa-apa nanti bilang saja. Kami menunggu di luar," pamit Huda pada Huma.

"Iya, Mas," jawab Huma.

Huda dan Anang pergi keluar ruangan. Menyisakan Lala yang menemani Huma di dalam ruangan.

Hari itu juga, Huma sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tidak perlu rawat inap. Huma hanya diberi beberapa obat pereda nyeri dan krim oles untuk mengobati luka memar di punggungnya tersebut. Beberapa minggu saja mungkin sudah sembuh, kata perawat yang menjelaskan.

******

Huma pulang dari rumah sakit diantar oleh Huda menggunakan mobilnya. Sebenarnya Huma sempat menolak, namun karena Huda dan Anang memang sedari tadi menunggu mereka di rumah sakit, mau tidak mau mereka pun pulang diantar lagi oleh Huda. Lagian Huma dan Lala juga tadi buru-buru pergi ke rumah sakit. Jangankan uang, ponsel saja tidak bawa.

Jika tidak bersama Huda dan Anang, mereka akan naik apa dan mau bayar pakai apa. Beruntung semua biaya rumah sakit Huma ditanggung oleh Huda, sebagai bentuk tanggung jawab dan permintaan maaf katanya.

Di dalam mobil, suasana terasa sangat canggung. Mereka berempat duduk dalam diam. Huda berada di kursi kemudi, disampingnya ada Anang. Sementara Huma dan Lala duduk di kursi tengah.

Sesekali Huda melirik Huma dari kaca depan. Masih saja menunduk. Mungkin Huma sadar sedari tadi sedang diperhatikan oleh Huda lewat kaca depan.

"Kita mampir ke rumah makan dulu saja ya, Mbak. Sedari tadi Mbak-Mbaknya belum makan, 'kan?" tanya Huda, mencairkan suasana.

"Eh ngga usah, Mas, kita nggak lapar kok," jawab Huma.

"Kruyuk... kruyuk...." Terdengar bunyi perut kosong. Asalnya dari arah Lala. Huma menoleh padanya.

"Hehehe," ucap Lala. Ia menyengir kuda, sedikit malu.

"Tuh Mbak Lala aja lapar, iya 'kan, Mbak? Kita mampir makan dulu saja ya," ucap Huda, tersenyum mendengar suara perut Lala.

"Nggak papa wis, Mbak. Ini juga udah jam setengah tiga. Kita terakhir makan kan tadi pagi. Kalau sampai pesantren, makanan di dapur juga pasti sudah habis," bisik Lala pada Huma.

"Tapi saya belum salat zuhur, Mas," ucap Huma. Ia tersadar, tadi ia dibawa ke rumah sakit sebelum zuhur dan baru sadarkan diri setengah jam lalu. Kini waktu sudah mendekati salat asar.

"Kita langsung pulang saja ya... lagian takut Abah Kyai nyariin," lanjut Huma.

"Tadi saya sudah titip pesan sama teman-teman Mbak yang ada di dalam masjid kok, supaya menjelaskan barangkali dicariin sama penghuni pesantren," ucap Anang.

"Kita mampir ke masjid terdekat saja dulu, habis itu baru ke rumah makan," ucap Huda.

Huma melirik ke arah Lala, mengangkat kedua alisnya. Seolah meminta pendapat dari Lala. Lala hanya mengangguk saja, paham dengan maksud Huma.

"Ya udah, Mas. Tapi saya salat dulu ya," ucap Huma.

"Siapp," jawab Huda.

Mobil pun segera menepi saat melihat masjid di pinggir jalan. Huma masuk masjid ditemani Lala. Sebenarnya Lala sudah salat, namun Lala masih khawatir dengan keadaan Huma jadi ia berniat mengantar Huma.

Sementara itu, Huda dan Anang memilih menunggu mereka dengan duduk di teras masjid.

"Bang... maafin saya ya," ucap Anang pada Huda.

"Nggak papa, Nang, namanya juga musibah. Maafin saya juga ya, tadi udah emosi banget sama kamu, hehe," balas Huda.

"Iya, Bang ...." Anang memainkan jari-jemarinya, ragu untuk bertanya pada Huda, "emm... sa-saya ngga dipecat kan, Bang?" tanya Anang, kini ia menunduk, memejamkan matanya, bersiap mendengarkan jawaban Huda.

Huda menoleh ke arah Anang, lalu menepuk bahunya. "Enggak lah," jawab Huda tersenyum.

"Saya tau, kamu masih butuh biaya buat pendidikan adik-adik kamu kan, nggak mungkin saya tega mecat kamu," jawab Huda.

Anang menatap Huda. Lega sekali rasanya. Ia tersenyum, lalu menciumi tangan Huda, "terima kasih banyak ya, Bang."

Huda yang melihat tingkat Anang langsung saja menarik tangnnya, "apaan sih, Nang, ngga usah sampe begitu juga."

"Sekali lagi terima kasih ya, Bang."

"Iya. Tapi ingat, jangan sampai kejadian ini terulang. Saya nggak jamin tetep mempekerjakan kamu jika kamu nggak hati-hati lagi," ucap Huda.

"Insya Allah, saya akan lebih giat dan hati-hati lagi dalam bekerja, Bang," ucap Anang.

Obrolan mereka terhenti saat Huma dan Lala keluar dari dalam masjid. Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk mencari rumah makan.

"Mbak Huma dan Mbak Lala suka masakan padang?" tanya Huda.

"Iya suka, Mas," jawab Lala.

Sementara Huma hanya mengangguk.

Mereka berhenti di depan rumah makan padang. Tidak terlalu besar, namun tempatnya nyaman dan sangat bersih. Setelah memesan beberapa makanan, mereka pun mulai makan.

"Drrrtt ... drrrtt ...." Terdengar bunyi ponsel. Milik Huda. Ia langsung mengangkat telepon miliknya.

"Assalamu'alaikum?" ucap Huda kepada benda pipih yang kini menempel di telinganya itu.

"Iya iya... Mas ngga lupa kok... tenang aja... iya Nailahku sayang... jangan ngambek gitu dong, nanti cantiknya ilang... iya iya... udah dulu ya... assalamu'alaikum," ucap Huda, mengakhiri pembicaraannya di dalam telepon.

Sayang? Huma begitu penasaran dengan siapa Huda telponan tadi. Apakah mungkin ia pacarnya? Atau bahkan istrinya? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menepis pemikiran itu dari kepala.

"Mbak, ngapain geleng-geleng kepala?" tanya Lala heran dengan tingkah Huma.

"Nggak papa, La, ayo cepet makanannya dihabisin biar cepat pulang," ucap Huma, berusaha mengalihkan pembicaraan.

---------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

Teten P S

Teten P S

ko santri pacaran nya gitu langsung cium sama pelukan siihhh ga seruuu harusnya bukan muhrim ga boleh gituuuu

2023-02-05

0

Qiza Khumaeroh

Qiza Khumaeroh

lanjutt

2022-04-16

0

Dian

Dian

thor katanya nga bawa ponsel humanya kok tiba" hp nya bunyi..

2021-08-07

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!