Setelah Menikah
"Cinta adalah apa yg tak masuk akal, dalam ruang penuh musik dan perayaan paling ramai sekalipun, aku masih mampu mendengar detak jantungmu."
Aku tersenyum, seraya menatap mata sayu lelaki yang sangat aku cintai, mas Alfath. Tiap kali mendengar kata-kata manisnya selalu mampu membuat hatiku berdebar. Bahkan meski waktu sudah merubah segalanya namun ternyata cinta itu masih tetap ada.
"Masuklah Mas, nanti Dinda mencarimu."
Hatiku seperti terisis ketika mengucapkan satu nama, Dinda. Nama wanita yang kini sudah resmi menjadi istri mas Alfath.
Kami sama-sama terdiam, hening, seolah suara hiruk pikuk perayaan pernikahan di dalam sana tidak kami dengar.
"Percayalah Ran, tidak selamanya aku bersama Dinda. Jadi tunggulah aku, aku berjanji akan menikahimu." jawab mas Alfath dan aku hanya mampu tersenyum getir.
Memang tidak ada yang lebih manis didunia ini selain janji. Janji yang sama seperti janji yang diucapkannya beberapa tahun lalu, janji yang hingga kini belum sempat ia lakukan, menikahiku.
Mas Alfath mendekat dan mencium bibirku sekilas, lalu turun dari dalam mobilku dan segera masuk ke acara pernikahan itu lagi.
Aku tersenyum getir.
Malam ini mas Alfath terlihat sangat tampan ketika menggunakan baju pengantin seperti itu, tapi sayangnya bukan aku yang menjadi pengantinnya.
Air mataku mengalir meski bibirku diam terkunci, menangis tanpa suara. Terus aku memperhatikan langkah mas Alfath yang semakin lama semakin menjauh dan hilang diantara kerumunan orang-orang.
"Aku sangat mencintaimu Mas." lirihku sendiri dan hanya didengar oleh telingaku sendiri.
Aku tidak menyalahkan mas Alfath atas pernikahannya dengan Dinda, karena itu semua memang bukan keinginannya.
Sejak awal aku menjalin kasih dengannya pun aku sudah tahu, jika mas Alfath sudah dijodohkan dengan Dinda.
Tapi kami pikir, cinta kami bisa merubah segalanya. Namun tidak, 8 tahun kami bersama nyatanya tak merubah apa-apa. Kini mas Alfath tetap menikahi Dinda, karena itu adalah wasiat ibunya.
Aku kembali menangis, hatiku hancur seperti diremat dengan sengaja.
Tok tok tok
Tok tok tok
Aku terkisap dan segera menoleh kearah sumber suara, kaca mobilku ada yang mengetuk.
Sayup-sayup ku dengar bapak-bapak itu berkata Maju Maju dengan gerakan tangan yang mengusir.
Aku melihat kearah belakang, ternyata ada juga mobil yang ingin masuk ke acara pernikahan itu. Dengan buru-buru, aku mulai membuka rem dan memasukkan gigi mobil, segara menyingkir dari perayaan ini.
Pergi bersama hatiku yang remuk redam.
Menyusuri jalanan kota Jakarta dalam kesunyian, bukan kota ini yang sunyi. Melainkan hatiku sendiri.
Aku terus melaju tanpa arah dan tujuan, hingga ponselku bergetar dan menampilkan 1 notifikasi pesan masuk dari kakakku, Mas Fahmi.
Pulang!!!
Katanya dalam pesan itu, lengkap dengan 3 tanda seru.
Aku melihat sekeliling, ternyata sudah cukup jauh aku meninggalkan kota, sepertinya akan butuh waktu 2 jam untuk sampai di rumah.
Tepat jam 1 malam, mobilku berheti tepat di depan rumah, belum sempat aku turun ternyata pintu rumah sudah dibuka kasar oleh mas Fahmi.
Aku turun dan mas Fahmi berjalan cepat menghampiriku, sementara mbak Tika istrinya mencoba menghentikan langkah itu.
Plak!
Satu tamparan mas Fahmi berhasil mendarat dengan sempurnya di pipiku. Terasa pedih dan panas sekaligus.
Aku menunduk dan memegangi pipi, sementara air mataku sudah mengalir tanpa permisi.
"Mas! apa yang kamu lakukan! keterlaluan kamu Mas!" cerca mbak Tika, ia pun mendekapku masuk ke dalam pelukkannya.
"Jangan kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan tadi." Mas Fahmi buka suara dan terdengar sangat dingin penuh dengan amarah.
"Sudah ku bilang, berhenti menemui Alfath, dia sudah menikah KIRAN!" bentak mas Fahmi tanpa ampun dan aku makin terisak dipelukan mbak Tika.
"Mas cukup! kita masih diluar, malu kalau sampai ada orang yang mendenger." cicit mbak Tika penuh permohonan.
"Hari ini pasti berat untuk Kiran, jadi tolong, jangan tambah lagi bebannya."
Mas Fahmi terdiam, pun aku yang tak berani buka suara.
"Terserahlah!" ucap mas Fahmi dan segera berlalu masuk ke dalam rumah.
Ku rasakan mbak Tika mengelus punggungku, memberiku kekuatan.
"Ayo masuk Ran, ini sudah sangat larut malam."
Setelah mengatakan itu mbak Tika menarikku, membimbingku untuk segera masuk ke dalam rumah.
Ya, aku memang tinggal bersama mas Fahmi dan Mbak Tika. Kedua orang tua ku sudah meninggal dan kini tinggal aku dan mas Fahmi saja yang tinggal di kota ini. Semua kerabatku tinggal di Lampung, jauh dari kami.
"Kamu baik-baik saja Ran?" tanya mbak Tika, saat sudah sampai di kamar ku.
Kami berdua duduk disisi ranjang, mendengar pertanyaan mbak Tika itu membuatku gamang sendiri. Aku pun tidak tahu, aku baik-baik saja atau tidak.
"Kamu yang sabar, yang ihklas, Alfath bukan jodohmu."
Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan mbak Tika. Jodoh? jodoh itu apa? apakah Jodoh itu adalah pasangan kita sampai maut memisahkan? apa artinya aku dan mas Alfath masih saja bisa berjodoh? bukankah kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti? bisa saja mas Alfath akan segera bercerai dengan Dinda, seperti yang pernah ucapkan padaku.
"Ran?" panggil mbak Tika dan aku langsung tersadar dari lamunanku sendiri.
"Kamu istirahatlah, mbak tinggal."
Aku mengangguk kecil, kemudian memperhatikan kepergian mbak Tika hingga ia menutup pintu.
Aku kembali termenung, masih teringat dengan jelas semua kenangan manisku bersama mas Alfath. Kala kami tertawa bersama, bergandengan tangan dan membicarakan masa depan, dan saat ia mencium bibirku saat sedang merindu.
Aku kembali menangis, aku tersungkur duduk dilantai dan bersandar pada ranjang.
Pikiranku makin tak terkendali, ketika menyadari malam ini mas Alfath akan menghabiskan malam bersama Dinda, malam pertama mereka.
"Ya Allah." Aku memukul dadaku sendiri yang terasa sesak, nyeri, sakit sekali.
Biarlah, malam ini aku tak punya harga diri, menangisi suami orang lain dan bahkan masih berharap bisa memilikinya lagi.
Biarkan malam ini aku berdosa karena menginginkan kehancuran rumah tangga orang lain.
Biarkan malam ini aku mencaci maki dan berkata kasar sesuka hati.
"Ya Allah." ucap ku lirih berulang kali, rasanya hanya dengan menyebut nama-Mu aku bisa merasa sedikit tenang.
"Kenapa? kenapa ya Allah?"
Pertanyaan tanpa jawaban, kenapa aku harus mengalami cerita seperti ini. Kenapa aku harus merasakan sakit ini?
Cukup lama aku menangis, kini air mataku sudah kering dan bahkan suaraku pun sudah habis.
Ku angkat wajahku dan melihat jam di dinding, jam 3 dinihari.
Kenapa malam ini berjalan begitu lama? tanyaku sendiri dan tak ada pula yang bisa menjawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 203 Episodes
Comments
andi hastutty
Penasaran
2024-10-03
0
copai
Hadiroh
Selalu keren
2024-06-16
0
Dessy Rinda
br baca eposide 1 aja udh bgs jln ceritanya...keren bngt kak lunox's
2024-06-11
0