Aku sedang asyik bermain dengan Rasya, saat terdengar seseorang mengucapkan salam. Istriku Laras, bergegas membukakan pintu.
"Siapa, Ma?" tanyaku melihat raut wajah istriku yang tampak kurang senang.
"Biasa, Paman Yanto," jawabnya sambil berlalu.
Kutinggalkan Rasya yang masih asyik bermain, lalu beranjak ke ruang tamu.
Rupanya paman datang membawa kejutan. Jika biasanya datang ke sini bersama istrinya, kali ini beda. Entah ada angin apa, paman datang mengajak Bang Robi beserta istri dan keempat orang anaknya.
"Silahkan duduk, Paman. Bang Robi apa kabar?" pertanyaan yang sebenarnya hanya basa-basi karena perasaanku mendadak tak enak menerima kedatangan mereka.
"Begini, Ilham, kedatangan Paman kesini sebenarnya hendak meminta tolong sama kamu," ujarnya membuka pembicaraan.
Tebakanku benar. Dalam kurun waktu dua bulan, ini adalah kali ke-3 paman datang meminta bantuan. Semenjak karirku melesat naik, paman yang biasanya tak pernah berkabar mulai sering datang.
"Robi baru saja kena PHK, dan keluarganya diusir dari kontrakan. Tadinya mau ikut tinggal di rumah Paman, tapi 'kan kamu tau sendiri sudah ada Bayu sama Kinar." Paman menelan ludah, kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Maksud Paman, tolong izinkan Robi beserta anak istrinya tinggal di sini sementara waktu. Kalau bisa, sekalian cariin kerjaan di kantormu."
Aku menghembuskan napas kasar. Terdiam sejenak, tak tau harus menjawab apa.
"Jangan lupa, dulu waktu ibumu susah siapa yang menolong?"
Fiuh! Selalu itu saja yang diungkit, lagi dan lagi. Memang benar, dulu waktu kecil, paman pernah menolong kami. Saat itu ibu yang seorang janda miskin terpaksa menjual rumah demi membayar hutang tinggalan bapak sebelum meninggal. Selama setahun, kami menempati salah satu kamar kost paman secara gratis. Rupanya hutang budi itu sekarang dijadikan senjata oleh paman hingga aku tak berkutik.
Dahulu Paman Yanto termasuk keluarga terpandang, tapi karena gemar judi seluruh hartanya habis dan hutangnya di mana-mana.
"Ilham bicarakan dulu sama Laras." Aku melangkah gontai menuju kamar.
Beruntung, Laras istri yang baik dan pengertian. Meskipun dengan berat hati ia mengizinkan Bang Robi sekeluarga tinggal di rumah kami.
Benar kata ibu, hidup itu jangan terlalu sering menerima kebaikan orang lain. Nanti ketika sukses kamu akan disibukan dengan urusan membalas budi. Karena sejatinya, pertolongan yang pernah mereka berikan itu, dianggap sebagai hutang yang harus dibayar.
***
"Bang, ini ada lowongan security di kantor Ilham," ucapku sepulang kerja.
Bang Robi langsung mendelik mendengar tawaranku.
"Apa, security? yang benar saja kamu, Ham! aku ini sarjana, masa iya jadi security. Minimal jadi staf gitu lah."
"Yang dibutuhkan baru itu, Bang. Perusahaan belum menambahkan staf baru."
Aku geleng-geleng kepala tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Sudah seminggu mereka numpang di sini, tapi sepertinya Bang Robi tak ada inisiatif untuk mencari pekerjaan. Setiap hari kerjaannya hanya nonton TV dan tiduran di kamar.
Kelakuan Mbak Sumi juga tak jauh berbeda dari suaminya. Ia menganggap dirinya sebagai tamu yang harus dilayani oleh tuan rumah, sehingga tak perlu membantu pekerjaan rumah.
"Sekalian cuciin baju Mba ya, Laras!" perintahnya pada istriku.
Sebenarnya aku kasihan pada Laras. Semenjak ada keluarga Bang Robi di sini, ia selalu tampak kelelahan. Saat pulang kerja sore hari, Laras bahkan belum mandi karena masih harus berkutat dengan tumpukan piring kotor. Padahal biasanya ia selalu menyambutku dengan penampilan cantik dan wangi.
"Mereka itu rakus, Pa! berapapun yang Mama masak pasti cepat habis. Capek, harus bolak-balik masak!" sungutnya kesal.
"Mama capek, Pa! keponaknmu itu nakalnya minta ampun. Setiap hari rumah jadi mirip kapal pecah, mending Mbak Sumi mau bantu beresin!" omelnya lagi.
Pantas saja, sejak ada mereka pengeluaran membengkak dua kali lipat. Sebenarnya tak mengapa kalau hanya urusan makan, tapi sikap mereka yang bisa dibilang tak tau diri membuat kami risih. Laras mulai sering bertanya kapan mereka akan pergi. Aku sendiripun bingung. Keberadaan mereka benar-benar menjadi beban, tapi untuk mengusir, jelas tidak mungkin.
***
"Papa, bangun sudah siang. Papa nggak kerja?" aku terlonjak mendengar suara Rasya.
Sinar matahari menembus tirai kamar. Sudah hampir jam 7, tapi kenapa Laras tak membangunkanku? ia bahkan masih menggulung diri di dalam selimut. Padahal biasanya, Laras yang bangun paling pagi.
Aku beringsut mendekatkan diri ke tubuh Laras, lalu mendekapnya dari belakang. Niat untuk membangunkan seketika buyar karena badan Laras panas dan menggigil, dari mulutnya mengucapkan sesuatu seperti orang bergumam. Aku meraba dahinya dengan punggung tangan, panas. Laras demam. Ini pasti akibat kelelahan harus mengerjakan pekerjaan rumah dua kali lipat dari biasanya.
Kubiarkan Laras terlelap. Bergegas ke kamar mandi lalu bersiap membawa Laras ke rumah sakit. Sedikit tergesa-gesa mengeluarkan mobil dari garasi. Mbak Sumi keheranan melihat sikapku yang terburu-buru.
"Mau kemana, Ham? Laras mana, kok belum masak. Tuh anak-anak Mbak sampai kelaparan!"
"Laras sakit, Mbak. Ini Ilham mau bawa ke rumah sakit," jawabku berusaha sabar dengan sikapnya.
"Halah ... paling cuma pura-pura, Ham. Istrimu itu memang manja!"
Ucapannya benar-benar membuatku meradang. Kali ini Mbak Sumi sungguh keterlaluan.
"Jangan bicara sembarangan, Mbak! Laras itu benar-benar sakit, dan kalianlah penyebabnya!" aku tak mampu lagi menahan emosi.
Mendengar keributan antara aku dan Mbak Sumi, Bang Robi keluar dari kamar.
"Oh, jadi kamu sudah berani bentak istriku, Ham? dasar nggak tau diri kamu! lupa ya, kalau kamu punya utang budi sama kami, hah?!"
Tangan Bang Robi melayang hendak menampar, tapi segera kuhempaskan.
"Hutang budi yang mana? asal kalian tau semua hutang budiku sudah lunas! biaya rumah sakit Bayu lima belas juta, kalian pikir siapa yang bayar? biaya pernikahan Kinar dua puluh juta, apa paman tidak memberi tau kalian siapa yang bayar, hah?!" bentaku tak kalah sengit.
Seketika Bang Robi dan Mbak Sumi terdiam menunduk tak berani menatapku lagi. Mungkin mereka tak menyangka aku akan berani melawan seperti ini.
"Sudah! aku tak sanggup menampung kalian lagi! ini aku cuma punya uang tiga juta, silahkan ambil. Terserah kalian mau kemana!"
Aku mengambil lembaran uang berwarna merah dari dompet sebanyak tiga puluh lembar, lalu kuhamburkan di hadapan mereka.
Jika mereka marah dan merasa tak terima, biar sajalah. Bagaimanapun sebagai kepala keluarga harus melindungi hak anak dan istriku. Sekarang, yang harus dilakukan adalah segera membawa Laras ke rumah sakit. Semoga, sepulang dari rumah sakit nanti, para benalu itu sudah enyah dari rumah ini.
Terkadang, bukan kacang yang lupa kulitnya. Akan tetapi, justru orang-orang yang sebenarnya hanya memberi sedikit bantuan meminta balasan lebih. Sedangkan ibu, orang yang benar-benar berjasa menjadikan anaknya seperti ini, bahkan tak pernah meminta apapun. Ibu cukup merasa puas, melihat anaknya tersenyum dan bahagia.
TAMAT.