Oleh:cahya dwi saputra
Bab 1: Gadis Desa dan Kehidupan Sederhana
Di Desa Lembah Angin, pagi selalu dimulai dengan aroma tanah basah dan kicau burung. Di antara ladang jagung dan sawah hijau, tinggal seorang gadis bernama Sari. Rambutnya hitam panjang, sering diikat sederhana, dan matanya selalu bersinar penuh rasa ingin tahu.
Sari bukan gadis desa biasa. Ia ceria, pekerja keras, tapi selalu tenggelam dalam mimpi-mimpi kecilnya—terutama tentang seorang pria misterius yang tinggal di kastil di pinggir desa.
Namanya Arga. Orang-orang desa menyebutnya “Tuan Kastil Es” karena sikapnya dingin, jarang tersenyum, dan selalu tampak jauh dari dunia biasa. Arga adalah pewaris kerajaan bisnis keluarga yang kaya raya, mobil mewah, pesta glamor—tetapi juga perfeksionis, keras kepala, dan sering terlihat tak peduli pada orang lain.
Sari sering mengintip dari ladang ketika Arga menaiki kuda hitamnya, rambutnya tertiup angin, wajahnya tanpa ekspresi. “Kenapa ya… orang kaya itu selalu terlihat sempurna tapi dingin banget?” gumamnya sendiri sambil menatap bayangan Arga yang menghilang di jalan batu menuju kastil.
Tetapi Sari punya satu kekuatan: keberanian yang dibalut kejenakaan. Setiap kali ia melihat Arga, hatinya berdetak kencang, dan ia selalu menemukan cara untuk mendekat dengan alasan yang konyol—misalnya ingin “menyiram bunga kastil” atau “memastikan kuda Arga tidak lapar.”
Bab 2: Pertemuan Pertama yang Memalukan
Suatu hari, desa kedatangan kabar bahwa Arga akan turun ke pasar desa. Sari memutuskan, ini saatnya berani bertemu. Ia menyisir rambut, menata apron yang masih bau tepung roti, dan berjalan menuju pasar dengan langkah mantap tapi hati berdebar.
Di tengah keramaian, Arga muncul, tampak seperti tokoh dari majalah. Jas hitamnya rapi, rambut disisir sempurna, tatapan dingin menusuk mata orang sekitar. Semua orang tunduk hormat, tapi Sari berdiri kaku, bingung antara kagum dan grogi.
Sari: “Eh… Tuan Arga?”
Arga menoleh, ekspresinya tetap datar. “Ya?” suaranya dalam, terdengar dingin namun jelas.
Sari, yang biasanya luwes, tiba-tiba tersandung, menjatuhkan keranjang sayur yang pecah berantakan. Wortel, tomat, dan telur berhamburan ke tanah.
Sari: “Aduh! Maaf, Tuan!”
Arga menatapnya, diam beberapa detik, lalu menunduk dan mengambil wortel yang berguling. “Hati-hati.”
Sari merona. “Terima kasih, Tuan… eh… Arga.”
Arga mengangkat satu alis, tetapi tetap dingin. “Seharusnya kau tidak berlari di antara orang banyak.”
Sari menggigit bibir, mencoba menahan tawa malu. “Hehe… iya, Tuan. Aku… hanya ingin melihat… kuda Tuan… hehehe.”
Arga mendesah tipis, tapi kemudian… tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. Sari langsung merasa dunia ini seperti berhenti sejenak.
Bab 3: Latihan Aneh di Ladang
Hari-hari berikutnya, Sari menemukan alasan konyol untuk bertemu Arga. Suatu sore, ia sengaja “menemui” Arga di ladang dekat kastil, berpura-pura membantu Arga memetik apel.
Sari: “Eh… Tuan Arga, apel-apel ini terlalu tinggi. Biar aku bantu.”
Arga: “Kau tidak usah ikut campur.” Suaranya tetap dingin, tapi ada sedikit nada heran.
Sari mengangkat apel tinggi di tangannya, tiba-tiba tersandung tanah lembek, dan jatuh tepat di kaki Arga. Mereka berdua terdiam, lalu… Arga tertawa.
Sari terkejut. “Tuan…?”
Arga menepuk bahunya. “Kau… cukup lucu.”
Sari tersipu, hati berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu bahwa Arga, di balik dinginnya, sebenarnya menikmati kejenakaan gadis desa itu.
Bab 4: Festival Desa dan Drama Komedi
Musim festival tiba. Desa dipenuhi lampion, musik, dan tenda-tenda makanan. Sari bersemangat, mempersiapkan minuman jagung hangat untuk Arga.
Sari: “Tuan Arga, coba ini… aku buat khusus untukmu!”
Arga menatap cangkir itu, ekspresi datarnya seperti batu, tapi kemudian… menyeruput dan mengangkat alis. “Enak… tapi terlalu manis.”
Sari mengerutkan dahi. “Eh? Tapi aku… aku buat dari resep nenek!”
Arga hanya tersenyum tipis, membuat Sari ingin menjerit karena bahagia.
Festival berlanjut dengan lomba-lomba konyol. Arga, yang biasanya dingin, dipaksa ikut lomba tarik tambang oleh Sari. Ia menolak, tapi Sari menantang dengan senyum nakal:
Sari: “Kalau kau kalah, kau harus traktir seluruh desa!”
Arga menghela napas, tapi akhirnya ikut. Akhirnya, Arga kalah, dan warga tertawa riang. Ia menatap Sari, ekspresi dinginnya melembut. “Kau… cukup berani.”
Sari menepuk tangannya, bahagia luar biasa. “Iya kan? Aku tidak takut sama Tuan Kastil Es!”
Bab 5: Malam Romantis di Bawah Bintang
Beberapa minggu kemudian, Arga mulai mengundang Sari ke kastil, tapi bukan sebagai tamu, melainkan… partner kecil dalam aktivitas sehari-harinya. Misalnya, membersihkan perpustakaan, memberi makan kuda, atau bahkan sekadar minum teh sore bersama.
Suatu malam, mereka duduk di balkon kastil, menatap bintang. Angin dingin berhembus, dan Sari menggigil.
Sari: “Dingin ya… Tuan Arga.”
Arga menatapnya, kemudian membungkus Sari dengan selimut hangat. “Kalau kau kedinginan, jangan pura-pura kuat.”
Sari merona. “Hehe… terima kasih, Tuan… eh, Arga.”
Mereka duduk diam, menikmati malam yang tenang. Arga, yang biasanya dingin, berbicara pelan: “Kau… berbeda. Kau membuat segalanya terasa… lebih ringan.”
Sari tersenyum, jantungnya berdebar. “Aku… aku hanya gadis desa biasa.”
Arga menatapnya tajam, lalu tersenyum tipis: “Biasa? Kau… tidak biasa sama sekali.”
Malam itu, Sari merasa dunia seakan milik mereka berdua.
Bab 6: Konfesi di Festival Bunga
Desa mengadakan festival bunga musim semi. Sari menyiapkan kue untuk Arga, tapi kue itu secara tidak sengaja jatuh ke tanah. Ia panik, tapi Arga hanya tertawa ringan.
Arga: “Kau selalu… ceria, meski salah langkah.”
Sari memandangnya. “Tuan Arga… aku… sebenarnya… aku suka padamu… sejak pertama kali melihatmu di ladang jagung.”
Arga menatapnya diam, lalu menghela napas. “Sari… aku… juga.”
Wajah Sari langsung memerah, mata berbinar. “Eh? Tuan Arga… serius?”
Arga mengangguk, tetap dingin tapi mata berbinar lembut. “Serius. Kau… membuat hatiku… tidak lagi es.”
Bab 7: Akhir Bahagia dan Komedi Penutup
Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang. Arga tidak lagi sepenuhnya dingin, tapi tetap perfeksionis. Sari tetap ceria dan sedikit konyol, tapi selalu membuat Arga tersenyum.
Nana, teman Sari dari desa, sering ikut campur dengan komentar lucu: “Eh… Tuan Arga… jangan terlalu serius! Gadis desa ini sudah terlalu manis untuk kau dinginkan hatimu terus!”
Arga hanya menatap Nana, tersenyum tipis, dan berkata: “Dia memang manis… dan aku tidak keberatan.”
Sari menggenggam tangan Arga di pasar desa, tersenyum penuh cinta. “Jadi… kita bahagia sekarang?”
Arga menatapnya serius, lalu tersenyum: “Sekarang… dan selamanya.”
Desa Lembah Angin kembali damai. Gadis desa dan pria kaya itu, yang berbeda dunia, menemukan cinta mereka—dengan tawa, komedi, dan kebahagiaan sederhana yang abadi.