Derap kaki tentara mengiringi untaian gendang yang sedang ditabuh, semua lelaki bertubuh tegap itu seolah lupa, bahwa negara ini sedang menghadapi penjajah, mereka menari bersama para Penari cantik, sungguh gerak gemulai Penari Pangi Topeng itu membuat keseluruhan tubuh dan wajah mereka yang meski tertutup topeng masih bisa terlihat sangat mempesona.
Para Tentara yang penat dan lelah dengan peperangan, disuguhkan kesenangan sesaat, tahun itu adalah tahun di mana Jepang menguasai Negara ini, tahun 1944. Tahun kelam bagi bangsa ini, Tanah Jawa adalah sasaran yang telah lama mereka bidik, untuk dijadikan tempat penyediaan kebutuhan untuk seluruh operasi militer di Asia Tenggara dan Sumatera akan menjadi sumber minyak yang utama.
Negara ini memiliki banyak sekali sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, untuk itu, maka semua orang yang berani dan kuat, harus menjaga Negara ini dari jajahan bangsa lain.
“Heiii! heiii!!!" Semua Tentara yang turun dan ikut berjoget berteriak dengan kencang, mungkin melepas rasa sakit dari kehilangan banyak rekan.
Sementara Daksina bersama 3 rekan lainnya terus menari, melakukan gerakan-gerakan indah dengan selendang dan topengnya, seperti sebuah keharusan baginya, menghibur Tentara yang saat ini telah memiliki banyak rasa sakit, atas penjajahan yang kejam.
Tahun itu tentu belum dikenal Tari Jaipong atau Tari Topeng, karena Tari Jaipong baru ada sekitar tahun 70an, tapi Daksina sudah diajarkan oleh nenek dan uyutnya Tari Pangi Topeng, gerakannya mirip Jaipong, sungguh indah dan mengedepankan liukan tubuh yang cukup erotis, tapi wajah cantik penarinya harus ditutup topeng.
Daksina dan para perkumpulan Penari di bawah pimpinan pamannya menyakini bahwa, setiap penari harus memakai topeng berbentuk iblis hitam, agar menjadi sebuah peringatan, bahwa yang Indah ini tidak bisa seenaknya dijamah, karena jika seorang berani mendekati Penari dan menjamah tubuhnya, Penari itu akan berubah menjadi setan yang menakutkan, melahapmu dengan kebrutalan yang menyakitkan, ini hanya sebuah filosofi, tentu para Penari tidak akan benar-benar menjadi pembunuh, itu hanya agar, lelaki yang melihat gerak gemulai nan erotis itu, tidak merendahkan penarinya, tapi menganggap, Penari adalah pelaku kesenian, bukan wanita murahan.
“Daksina!” seseorang memanggilnya sesaat setelah dia selesai menutup tariannya dan hendak kembali ke tenda para Penari.
“Aa, kok telat sih?” ternyata kekasihnya, seorang Tentara yang sangat tampan.
“Istri Aa sakit Neng, jadi harus jaga dia dulu, Aa kan udah lama nggak pulang, kangen anak-anak.” Lelaki itu mengecup kening Daksina, mereka sudah berada di dalam tenda yang sengaja dikosongkan, sehingga tidak ada yang melihat.
“A, mau sampai kapan kita begini? eneng udah nggak tahan, udah Aa pulangnya lama, pas pulang nggak ketemu, atuh kangen Aa." Wanita itu bersandar manja.
“Sabar ya Neng, kan Aa selalu bilang, kalau kita tidak boleh menyakiti istri Aa walau kondisinya sakit-sakitan dan tidak bisa mengabdi pada suami, dia masih memiliki hati, Aa takut, kalau dia nanti menjadi sakit hati dan sedih.”
“Terus Aa nggak pikirin eneng? nahan kangen, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, pas pulang malah nggak bisa ketemu lama, harus ngumpet-ngumpet pula!"
“Aa!!!” dari luar tenda terdengar suara wanita berteriak memanggil lelaki yang sedang bersama Daksina, si perempuan penari itu.
“Suara Citra! pokoknya kamu nggak boleh keluar, jangan keluar apa pun yang terjadi, mengerti!” Jana sang Tentara itu berkata.
“Tapi A, eneng takut.” Daksina memegang tangan kekasih gelapnya.
“Citra jauh lebih menakutkan, kau tahu kan siapa ayah dan ibunya? Aa mohon, bersabarlah.” Jana melepas pegangan Penari itu dan keluar dari tenda.
“Aa ngapain di sini?” Citra bertanya, dia sedang memegang obor ditangannya, memang untuk mencapai tempat ini, dia harus menerobos hutan kecil yang gelap, maklumlah, suasana perang membuat Tentara Negara ini harus berhati-hati, sehingga posisi tenda barak mereka pun harus berada di tempat tersembunyi.
“Kan kamu tahu, ada acara di sini, Aa cuma mau mampir sebentar aja.” Jana berusaha bersikap tenang, menutupi bahwa ada seseorang di tenda itu.
“Didinya, aya eta belis (di sana ada setan itu)?” Citra Istri Jana bertanya, matanya memerah, wajahnya pucat, dia memang sedang sakit parah, tapi memaksakan diri untuk berjalan cukup jauh, untuk membuktikan rumor menyakitkan itu.
“Ari Citra ngomong naon (Citra ngomong apa)?” Jana masih berusaha menguasai keadaan.
“Aa jahat, abdi gering siga mayit (aku sakit kayak mayat), Aa malah di dieu jeng belis (Aa malah di sini sama setan).” Citra menangis, lalu dia terbatuk, saat batuk, di sudut bibirnya ada darah yang tersembur akibat batuknya itu.
“Citra tenang heula nyak, Aa anterkeun ka imah (Citra tenang dulu ya, Aa anterin pulang), Citra kudu istirahat.” Jana mencoba menggapai bahu istirnya itu, tapi Citra menolak, lalu mengarahkan obor yang dia pegang pada wajah suaminya, seketika lelaki itu kaget, berteriak dan berlari ke segala arah karena api mengenai tepat pada bagian wajah, dia lalu menjatuhkan tubuh ke tanah dan mengusap wajahnya di tanah, pelatihan militer membuatnya cukup cekatan menghadapi api.
Citra yang telah hilang akal, lelah karena sakitnya dan pengkhianatan suami, yang membuat dirinya malu. Sebagai keturunan ningrat, Citra berani menentang orang tuanya untuk menikah dengan Tentara biasa, tanpa restu, sehingga pengkhinatan merupakan kejahatan Jana yang sulit termaafkan, Citra sudah meninggalkan kemewahan dalam keluarganya untuk pergi bersama sang pujaan hati, sayang, pujaan hatinya malah berlabuh pada pelukan Daksina, sang Penari.
Sementara suaminya sedang mencoba mematikan api di wajahnya, Citra berlari ke tenda dan melempar obor itu, sambil berteriak, “Nyingkah maneh, tong balik deui! (Pergi kau, jangan kembali lagi!)”
Setelahnya, ada teriakan perempuan dari dalam tenda yang terbuat dari kain itu, api melahap tenda itu dengan cepat, semua orang sibuk mematikan api di sana, karena itu adalah areal yang penuh pepohonan, semua yang ada di sana mudah terbakar, api cepat sekali merambat ke berbagai arah, sementara Citra masih di luar tenda, menatap tenda yang baru saja ia bakar, menikmati teriakan, erangan dan kesakitan, sang calon madu.
Saat akan meninggalkan tempat itu, Citra mendengar suara sayup-sayup, rintihan, tapi juga umpatan dari dalam tenda yang dia bakar, di mana Daksina masih ada di dalamnya, terperangkap kobaran api.
“Dur ... labaaa ... Dur ... labaaa .... “ Citra berbalik dan melihat kembali ke arah tenda Daksina, dari kejauhan dia bisa melihat, ada tangan gosong yang mencoba menggapai-gapai, mencari pertolongan, terlihat sekali bahwa, untuk berdiri pun, Daksina sepertinya tidak mampu, hanya tangan gosongnya saja yang berhasil keluar tenda, memohon bantuan, anehnya, Citra tidak tersenyum sedikit pun, ia menangis setelahnya, karena ia tahu, bukan Penari itu yang salah, sedari awal ....
...
40 TAHUN KEMUDIAN
Negara ini telah merdeka dan sedang mencanangkan swasembada beras pada tahun 1984, agar dapat memenuhi semua kebutuhan beras seluruh wilayah, maka Presiden Soeharto saat ini selalu mendukung seluruh Petani untuk memproduksi beras berskala nasional.
Namaku Diah umurku 21 tahun, seorang perempuan yang riang dan mudah bergaul, begitu kata ibuku, aku anak bungsu dari 2 bersaudara, kakakku berumur 23 tahun namanya Euis, kami dua anak perempuan yang sangat kompak, ayah dan ibu adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, ibuku Perawat dari rumah sakit Negara, sedang ayahku adalah kepala gudang Bulog, hidup kami sangat nyaman, aku dan kakakku bersekolah dengan baik, makan dengan baik dan memiliki hunian yang besar, aku bersyukur atas itu semua.
Tapi, berbeda dengan kakakku, dia seseorang yang sangat pendiam, pemalu dan jarang sekali bicara, malu bertemu orang, jikapun harus berbicara, dia akan memilih kata yang singkat,.
Aku tidak masalah dengan sifatnya itu, kami keluarga, aku harus melindunginya, makanya setiap kali di sekolah, dia selalu berjalan di belakangku dan memegang tanganku dari belakang, menundukan kepalanya, jika ada yang menegur, dia hanya mengangguk dan aku akan mengalihkan pembicaraan agar orang itu fokus padaku.
Kami memang kakak adik, tapi ibu memilih untuk menyekolahkan kami berbarengan, katanya aku harus menjaga kakaku yang pemalu ini, ibu takut kalau kakakku sekolah tanpa aku dampingi, dia akan depresi karena harus bertemu banyak orang setiap hari, kakaku tidak keberatan telat sekolah, karena menurutnya, bersamaku jauh akan lebih aman.
[Sini.] aku menganggukkan kepala, seolah berkata seperti itu pada Euis, hari ini acara arisan keluarga,seluruh keluarga berkumpul, seperti biasa kakakku tadinya tidak mau keluar, tapi Ibu akhirnya menggeret dia keluar kamar, setelah itu sudah pasti, dia mojok dekat meja, kebingungan harus apa.
Aku melotot padanya, karena dia terlihat sangat tidak nyaman, ibuku wanita lembut, tapi kalau ada anaknya yang membuat dia malu, langsung insting harimau betinanya keluar, kalau Euis kena marah, aku pasti juga kena.
Akhirnya kakakku berlari dan langsung duduk di belakangku, seperti biasa.
“Kan udah gue bilang dari tadi, lu keluar bareng gue Is, malah ngamar aja.” Aku memang tidak memanggilnya kakak, kami sepakat melakukan itu, katanya Euis juga takut teman sekolah mengejek dia, karena kan umurnya lebih tua, makanya kami saling memanggil nama.
“Da, teu hoyong kaluar (orang nggak mau keluar).” Euis menjawab.
“Ari maneh! hayang dicarekan ku ibu (kamu tuh! mau dimarahin ibu)?” aku berbisik mengatakannya, tapi penuh penekanan.
“Olot datang.” Bibi kami masuk dan memberitahu bahwa nenek kami datang, semua langsung berdiri, ini adalah kali pertama olot datang ke sini, dia tadinya tidak pernah pergi ke mana pun, tapi hari ini berbeda, katanya dia harus bertemu dengan ibuku, makanya dia datang.
Keluarga kami memang masih kental dengan adat istiadat, olot adalah seseorang yang harus kami sambut bak Ratu dari keluarga ini, aku kurang suka dengannya, karena dia terlalu kolot, selalu saja marah untuk hal-hal sepele ketika kami berkunjung ke rumahnya dulu, kata ibu, wajar, nenek kami memang begitu, keras dalam mendidik.
Olot masuk ke dalam rumah, semua menyalaminya dan mengantarnya untuk duduk di dalam rumah, kami semua duduk di bawah, olot mulai menanyakan kabar kami satu persatu, semua orang sibuk bercerita, aku yang memang periang dan suka berbicara, ikut dalam kerumunan itu, hingga lupa, bahwa Euis tidak lagi di belakangku.
Kami terus bercengkrama, hingga tiba-tiba terkagetkan oleh suara tabuhan gendang, datangnya dari arah belakang olot, spontan kami mencoba mencari sumber suara itu, gendang itu begitu kencang suaranya, disusul suara gong, kecrek, rebab, sehingga semakin lama nada suaranya menjadi sebuah alunan yang cukup enak didengar.
“Loh, kok, radionya nyala.” aku langsung berdiri hendak mematikan radio itu, karena olot jelas tidak menyukai suara seperti itu di acara kami ini, aku berdiri dan ....
Kungsi baheula pasini...
Basa urang, tepung teuteup nu mimiti
Urang geus, ngedalkeun jangji
Kembang ros kayas sisi cai, jadi saksi
Ka kuring kungsi bebeja...
Pajar urang, ulah rek aral subaha
Margi pasini baheula...
Pangharepan diganti hujan cimata
Duh panutan, teungteungin..
Anjeun geus, ikhlas ninggalkeun
Jati, kasilih ku junti...
Kembang ros kayas nu jadi panglipur ati
Sinden mulai bernyanyi, lagu tari Jaipong, aku tahu karena lagu ini pernah menjadi pertanyaan pada ujian sekolah kami dulu.
Belum habis kekagetan kami pada suara radio yang tiba-tiba menyala, dari arah kamar, Euis berlari, dia berlari ke arah olot, setelah sampai di depan olot, dia meregangkan kakinya, mmenekuk lutut itu hingga membentuk siku, melebarkan tangannya, meliukkan tubuh ke arah kiri dan mulai menari, tariannya mengikuti irama dari radio yang tiba-tiba menyala.
“Euis!!!” Ibu ku berlari dan mencoba menghentikan kakaku, tapi gagal, ibuku tidak mampu membuat kakakku berhenti menari, ibuku yang tadinya akan menarik kakakku, seketika terdiam, lalu duduk bersila menghadap kakakku, seolah tersihir oleh tariannya, bukan hanya ibuku, tapi semua orang yang di dekat kakak dan nenekku itu, semua terdiam melihat kearahnya, wajah mereka seperti orang yang linglung dan terkesima.
Harus kuakui, dia terlihat begitu lihai dan cantik, padahal masih memakai piyama saat menari, tatapan tajamnya, seperti seorang penari profesional, gerakannya gemulai seperti orang yang sudah terbiasa menari, Euis kakakku sungguh terlihat, berbeda!
Ada apa dengan Euis? kenapa dia berani sekali menari di depan olot? ke mana sifat malunya? Jangankan menari, menatap orang saja dia enggan.
“Ada apa denganmu, Is?”
Aku maju mendekati kakaku yang masih asik menari diahadapan semua orang, saat jarak kami mulai dekat, kakiku berat, bukan hanya kaki, seluruh tubuhku tidak mampu bergerak, aku memandang kakakku, Tuhan ....
Euis berubah menjadi wanita lain, wanita itu terlihat gosong, aku melihat kakinya tidak memakai alas, sebagian kulitnya rontok, seperti habis terbakar, lalu tangannya memiliki bentuk yang tidak jauh beda dengan kakinya, saat pandanganku naik makin ke atas, wajahnya tepat melihatku, wajah itu begitu mengerikan, sebagian tengkorak pada pipinya menonjol keluar, jidadnya mengelupas menyisakan kulit kering yang menghitam, dia terus menari tapi menatapku dengan tajam, aku sungguh ketakutan, tapi aku tidak bisa bergerak sedikit pun, Tuhan tolong kami.
Tiba-tiba, wanita gosong itu berhenti menari, wajahnya masih menatapku, perlahan dia mendekat, berjalan kearahku, pelan tapi pasti, dalam hitungan beberapa detik dia akan sampai padaku.
Aku terus menatapnya, sungguh aku sangat takut entah apa yang akan dia lakukan, saat sudah di depanku, tangannya berusaha mengapaiku, jarinya tepat mengenai lengan kananku, panas, panas sekali, terasa seperti tersundut rokok, dulu sekali aku pernah merasakan tersundut rokok ayahku, tak sengaja saat ayah meletakan puntung rokoknya yang belum mati padahal sudah selesai dihisap.
Jarinya lama kelamaan, masuk ke dalam lenganku, wujudnya yang terlihat nyata, berubah menjadi bayang-bayang, seperti ruh, jarinya mulai masuk ke dalam lenganku, kakinya tidak berjalan lagi, tapi melayang, perlahan dia masuk ke dalam tubuhku, wajahnya tepat di hadapanku, kami saling bertatap, aku sekuat tenaga mencoba melawan, kututup mataku, berdoa semua ayat pengusir setan yang aku hapal.
Tapi tubuh ini masih sangat terasa berat, sangat berat, keringatku mengucur deras, aku terus melawan, dan ....
“Yah, ngapain kamu berdiri, ngalamun?” aku kaget dan melihat ke arah belakang, ibu! Aku reflek melihat ke arah depan, semua orang sedang mengobrol dengan nenek, duduk di bawah lesehan, sementara nenek duduk di bangku, tidak ada orang yang bersila, tidak ada wanita gosong itu, dan ibu yang tadi bersila dan terpukau melihat Euis menari, tiba-tiba ada di belakangku, menepuk bahuku, ada apa ini!
“Yah, hayu atuh tong ngalamaun wae (Yah, ayu, jangan ngelamun mulu).” Aku mengangguk dan berjalan, mencari Euis.
Euis masih duduk di pojok, dibelakang dekat lemari hias, aku menatapnya, dia tersenyum ke arahku, aku berjalan mendekatinya.
“Is, tadi ... itu ... kamu .... “ aku bertanya.
“Ari maneh, kunaon? (kamu kenapa?),” Euis bertanya.
“Tadi tuh tiba-tiba ada suara, lagu jaipong gitu, trus kamu nari, semua orang liatin kamu nari.”
“Ngomong naon maneh? (ngomong apa kamu?”
“Is, da bener ini mah, abdi teh ngaliat maneh nari Jaipong (Is, beneran, aku tadi ngeliat kamu nari Jaipong).”
“Maneh minum obat naon nepika ngahayal teu jelas, abdi teu mungkin nari, gelo maneh! (Kamu minum obat apa, sampai mengkhayal nggak jelas, saya nggak mungkin nari, gila kamu)”
“Is, abi teu boong, da bener, tadi teh .... (Is, aku nggak bohong, beneran tadi .... )”
Aku mencium bau gosong yang menyengat dari arah dapur, semua orang juga sama, mereka ribut, karena takut kabel yang koslet, sehingga menciptakan bau yang menyengat ini.
“Yah, eta tingali di dapur, masak naon si Teteh nepi ka bau kiyeu (Yah, itu liat di dapur, si Teteh masak apa, sampai bau kayak gini).”
Aku reflek berlari ke dapur, ku lihat ayah ikut berlari, saat sudah di dapur, aku melihat ayam panggang kami gosong, si Teteh baru aja masuk dapur dari pintu belakang yang tembus ke jalanan.
“Teh, iye bau gosong, kunaon kompor teu dimatikeun, bahaya sia! (Teh, ini bau gosong, kenapa kompor nggak dimatikan, bahaya tau!” aku marah ke asisten rumah tangga kami, dia pasti keluar pacaran lagi.
Ayah lalu mengangkat teflon panggang kami dari kompor minyak, aku berlari mengambil kain dan membasahinya, setelah itu memberikan pada ayah, ayah lalu menutup kompor minyak kami dengan kain basah itu, seketika apinya mati.
“Sia dari mana!” aku kembali bertanya pada asisten rumah tangga kami.
“Eta, gula jeung garam teh abis, abi beli heula ka warung Teh Diah. (Itu, gula sama garam abis, saya beli dulu ke warung).”
“Yah, ngges, era, aya tamu. (Yah, udah, malu ada tamu).” Ayah memperingatkanku untuk menahan amarah, aku melotot ke arah asisten rumah tangga yang bernama Lilis itu.
Ayah menarik aku, dia takut kalau aku ngamuk, di keluarga ini memang aku yang paling galak, berbeda dengan Euis, ayah dan ibu selalu membiarkanku menyelesaikan masalah di keluarga kami, makanya kalau ada apa-apa, ibu selalu berteriak memanggilku.
“Kunaon? (kenapa).” Ibu bertanya.
“Eta si Teh Lilis, kaluar, poho keur masak ayam bakar. (Itu teh Lilis, keluar, lupa lagi masak ayam bakar).”
“Ngges, eta Olot mau makan, sajiin dulu.”
Nenek mau makan, aku harus menyediakan untuknya, nenek tidak bisa makan daging apa pun, dia bilang jijik kalau melihat daging, jadi begitu tahu nenek mau ke sini, kami menyiapkan makanan yang hanya berisi sayuran dan umbi-umbian, dia juga tidak mau melihat daging-dagingan saat makan di meja makan, jadi kami semua, makan duluan tadi, agar Nenek tidak perlu melihat kami makan ayam bakar.
“Olot makan heula nyak (Nenek, makan dulu yuk),” aku memanggil nenek untuk makan, dia kesulitan berdiri, aku berlari untuk bisa memapahnya.
“Kamu memang yang paling baik, yang paling kuat dan paling paham.” Nenek tersenyum saat mengatakannya, aku terbiasa memang menjadi tumpuan keluarga, itu semua untuk menutupi kekurangan Euis, kalau aku tidak bisa menyelesaikan masalah, mereka akan menyuruh Euis, aku takut Euis akhirnya menjadi terganggu, aku tidak mau Euis dihina dan menjadi semakin terpuruk karena sifatnya.
Aku mendudukkan nenek ke meja makan, menyajikan makanan yang sudah kuhidangkan di piringnya, lalu dia mulai makan.
“Ari Diah, tadi kunaon? (Diah kenapa).” nenek bertanya.
“Eta si lilis lupa matikeun kompor, Lot. ( itu si Lilis lupa matiin kompor, Nek).”
“Bukan itu, kamu kenapa tadi bengong?”
“Saha? abi? Bengong?” Aku memang merasa tidak bengong atau melamun seperti saat ibu tadi menegurku dengan memukul bahu.
“Liat naon? (lihat apa?).”
Aku ingin memberitahu, tapi aku takut, anggaplah aku memang tadi berkhayal atau kecapean, makanya halusinasi.
“Teu, teu liat nanaon Lot, enak teu? Iyeu Diah nu masak, keur Olot. (Nggak, nggak liat apa-apa Nek, enak nggak? ini diah yang masak, untuk Nenek).”
“Da masakan Diah mah paling enak, Diah mah siga Olot, muka na, masakan na, sikap na. (Masakan Diah mah paling enak, Diah mah kayak nenek, mukanya, masakannya, sikapnya).” Nenek membelai rambutku.
Dari belakang nenek aku melihat sesosok perempuan berlari, dia berlari dari arah ruang makan ke dapur, sosok itu seperti ....
“Olot, Diah ka dapur heula nyak, rek ngambil cai, keur Olot. (Nek, Diah mau ke dapur dulu ya, mau ambil air buat nenek).”
“Sok atuh. (Iya).”
Aku lalu berdiri dan mengikuti arah larinya sesosok itu, saat sudah sampai dapur, aku melihat sosok itu ada di depan pintu belakang, dia tersenyum, bukan, dia menyeringai, semua wajah dan tubuhnya persis seperti tadi kulihat, gosong dan menakutkan, aku mundur takut kalau dia akan masuk ke tubuhku lagi, tapi saat aku mundur, aku melihat dia menunjuk ke arah meja dapur, tempat kompor yang tadi sempat terbakar, saat menengok ke arah kompor itu, aku berteriak.
“Astagfirullah!!!” aku melihat kepala nenekku ada diatas wajan yang gosong, hanya kepalanya saja, kepalanya terbakar, sementara wajahnya terlihat ketakutan.
Aku terus beristigfar sambil jongkok, tubuhku gemetar, aku masih melihat kaki sosok perempuan gosong itu di pintu belakang, aku ingin lari, tapi lagi-lagi tubuhku terasa berat, Tuhan tolong aku.
Kepalaku terasa dingin, aku merasa seseorang membelai kepalaku, aku menoleh.
“Euis!” aku berdiri dan memeluknya.
“Kenapa? kok kamu jongkok, kayak ayam yang mau di potong aja.”
Euis tidak pernah berkata sekasar itu, aku melepas pelukannya dan sadar bahwa, perempuan gosong itu yang sedang aku peluk, seketika seluruh tubuhku panas, terasa terbakar, aku berteriak sekencang mungkin agar ada yang mendengarku dan mau menolongku.
Semua orang datang dan mencoba menenangkanku, tapi aku kepanasan, seluruh tubuhku panas, ayah datang dan menarik tanganku, mengikatnya, dari jauh aku melihat Euis, aku memohon padanya melalui mataku, aku ingin dia menolongku, tapi Euis saat itu tidak bergeming sedikit pun, dia hanya ... tersenyum! Dia tersenyum melihat adiknya tersiksa, lalu dia pergi, dari kejauhan aku seperti melihat bahunya bergetar, bergetar seperti orang yang tertawa terbahak-bahak tanpa suara.
Lalu semua gelap ....
...
“Sudah waktunya Diah, kita akan memulai ritual.” Olot berdiri di bawah kakiku, aku melihatnya mengenakan kebaya serba hijau, sanggul yang rapih, disampingnya ada ibuku, dia memakai kebaya yang sama, ayah dan seorang bibiku, kakak dari ibu, mereka semua mengenakan pakaian serba hijau.”
Tangan dan kakiku terikat, ada apa ini?
“Olot, ada apa ini?” aku bertanya.
Olot duduk di sampingku, dia lalu bercerita tentang Daksina dan Aki Jono, suaminya sekaligus kakekku itu.
“Kenapa aku diikat Lot?” aku bertanya.
“Durlaba, kata terakhir yang dia ucapkan, arti kata itu adalah sial dan sebuah santet, rupanya Daksina setan itu melakukan perjanjian dengan iblis agar menjadi Penari yang hebat, pantas banyak pria yang bertekuk lutut padanya.” Aku melihat Olot seperti wanita yang lain, dia sama sekali tidak terlihat anggun seperti biasanya, ibu dan ayahpun sama, mereka terlihat serius sekali.
“Lot, aku kenapa diikat!” Dia belum menjawab pertanyaanku.
“Kau akan mati kalau tidak kami ikat.”
“Maksudnya?”
“Aku punya 5 anak, lalu kenapa hanya tinggal 2 saja? semua mati bunuh diri, kau tahu bagaimana mereka bunuh diri? membakar dirinya sendiri, persis seperti yang aku lakukan pada Daksina.”
“Aku tidak akan bunuh diri! aku .... “
“Kau melihatnya kan? dia menari dan menampakkan dirinya padamu bukan?” Olot bertanya.
“Ya, betul.”
“Itu baru awal, nanti dia akan mulai menguasai tubuhmu, sejengkal demi jengkal, dia akan mengambil alih tubuhmu, kau harus melakukan ritual ini, kita harus melakukan ini.”
“Ritual apa?!”
“Ritual Amerta Tungga, kau harus mati, untuk sementara.” Olot mulai menggores pisau pada nadiku, mengeluarkan darahku dari goresan itu, aku tidak merasakan sakit sama sekali.
“Sayang, dengar ibu, ini satu-satunya cara agar kau selamat, percaya, tidak ada ibu yang mau anaknya celaka, lihat ini.” Ibu memperlihatkan pergelangan tangannya, goresan dalam di sana, sama persis seperti goresanku, hanya sedikit memudar saja karena waktu.
“Ibu sudah membius lokal lenganmu, kau tidak akan merasakan sakit, setelah kau sekarat, kita akan memutus santetnya karena setan yang melakukan perjanjian dengan Daksina meninggalkan tubuh yang sekarat, jadi sekarang, yang perlu kau lakukan adalah jangan tertidur, kami mengikatmu karena mencegah setan itu mengambil alih tubuhmu, mengerti?” Ibu berkata padaku, suaranya terdengar sayup, memang tidak terasa sakit, tapi aku merasa mengantuk sekali dan lemas.
“Diah!!!” Ibu mengguncang tubuh dan menampar wajahku, aku terkejut dan membuka mata, tadi aku mengantuk sekali.
Aku melihat Olot mengeluarkan sebuah keris, menaruhnya ke dalam kendi yang berukuran sedang, kendi itu beralaskan nampan yang terbuat dari kaleng berwarna hijau, diatas nampan itu ada bunga 7 rupa, baunya seperti kita ada di kuburan.
Olot mendekatkan nampan itu, dia menaruhnya di atas kepalaku dan mulai merapal, aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan.
Ka Rama nu ngayuga
Ka Ramana nu ngayuga
Ka Ramana nu ngayuga
Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis Si Alya
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking,
Sir suci,
Sir adam,
Sir Muhammad,
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring ala
NYINGKAH SIA IBLIS JAHANAM!!! (Pergi kau iblis jahanam!!!)
Setelah Olot mengucapkannya, keris itu terlihat tegak, berdiri di dalam kendi, lalu Olot menarik kerisnya dan menutup kendi.
Tubuhku terasa semakin lemas, tapi aku tidak boleh tertidur, aku harus berusaha, agar aku tidak tertidur lagi.
“Sayang, sudah selesai, sekarang ibu jahit luka kamu ya, trus kita akan transfusi darah, kamu anak ibu yang paling hebat.” Aku benci ketika ibu mengatakan itu, Euis pun hebat, terlepas dari itu semua, ibu memang seorang perawat yang sangat ahli, aku percaya dia tidak akan bermaksud mencelakaiku.
“Bu, Euis mana?” aku bertanya.
“Nanti kita ketemu sama dia ya, sekarang kamu harus fokus ke keselamatan diri kamu dulu.”
Ikatanku mulai dilepas, aku sungguh mengantuk, kata ibu aku sudah boleh tidur, karena tubuhku stabil.
...
“Kita mau kemana bu?” aku bertanya, sudah 3 hari ini aku tidur terus di ranjang, memulihkan keadaan, baru hari ini aku diperbolehkan keluar kamar, Olot juga sudah pulang, dia sehat dan dari kejadian ini aku menjadi lebih mengenalnya, dia tidak segalak dan seotoriter seperti semua orang bilang, tidak semenakutkan yang Euis prasangkakan, hinggak enggan bertemu dengannya.
“Bertemu Kakakmu Euis.” Ibu mengendarai mobilnya sendiri, ayah sudah harus bekerja, maklum dia memang pekerja keras.
“Kok ketemu Euis pake mobil, emang kemana dia?” aku bertanya.
“Nih udah sampai.” Ibu keluar dari mobil, aku mengikutinya.
“Kok ke sini bu?” aku mengejarnya, protes, walau siang hari tempat ini sungguh tetap menakutkan.
Ibu berjalan lurus ke depan, aku mengejarnya, dia terus jalan, menyusuri satu tempat ke tempat lain, melihat kearah bawah dan akhirnya berhenti pada satu arah.
“Ini.” dia menunjuk satu nisan, bertuliskan nama Euis Khadijah, aku menatapnya dengan marah.
“Apa maksudmu! ini kuburan! kenapa kakakku ada di sini!” aku membentak ibuku, aku benar-benar marah, kakakku Euis masih hidup! aku masih bersamanya beberapa hari yang lalu.
“Euis meninggal saat umurnya 2 tahun, 3 tahun sebelum kau lahir.”
“Kau bohong! Kau bahkan menyeretnya keluar saat acara keluarga kemarin karena dia tidak mau keluar!” aku mencoba membantahnya, ini gila! kakakku masih hidup.
“Aku mengeluarkan ini,” ibu mengeluarkan boneka dari tasnya, “kau akan histeris saat boneka ini dijauhkan darimu, kau bilang ini adalah kakakmu, dia bahkan sudah meninggal jauh sebelum kau lahir, bagaimana mungkin dia masih ada!” Ibu menangis lalu terjatuh di tanah perkuburan kakakku, perempuan yang aku kira hidup bersamaku.
“Lalu siapa yang bersamaku selama ini, kalau kau bilang kakakku sudah mati!”
“Iblis Daksina! dia hendak mencelakai keluarga kita, maka dari itu, mulai saat ini, kau akan tinggal bersama Olot, kau akan berhenti sekolah dan menjadi pewaris ilmu Olot, dia akan mengajarkanmu bagaimana mengendalikan ilmu warisan turun termurun kita.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kelak kau akan mengerti Diah, bahwa di dunia ini, yang hidup bukan hanya manusia, binatang dan tumbuhan, ada ‘mereka’ yang tak terlihat yang mungkin saja bermaksud jahat, kita sebagai pewaris ilmu turun temurun, akan menjadi Kharisma Jagat, penjaga bumi ini dari serangan jahat mereka.”
Ibu lalu menuntunku kembali ke mobil untuk segera pergi ke rumah Olot, aku takut, tidak mengerti tapi aku tahu, ibu tidak akan melukaiku, ini pasti yang terbaik untukku.
TAMAT.
_______________________________
Catatan Penulis :
Penasaran sama Kharisma Jagat? Mampir ke akunku ya, ada Novel Online judulnya KARUHUN, udah tamat, di sana kamu akan tahu apa itu Kharisma Jagat, genrenya HOROR dan Romantis, ati-ati ketagihan.
Terima Kasih.