Nadine, wanita berumur 26 tahun yang sedang dipusingkan dengan pertanyaan "Kapan, nikah?". Terkadang sering banget muak mendengarnya, menjadi alergi yang kambuh setiap mendengar pertanyaan keramat itu.
Karena tak kunjung menikah, orangtuanya nekat menjodohkan dia dengan seorang pria berumur 23 tahun. Berondong? IYAP! Gila bukan? Anak kecil mau nikah sama Nadine? Itu bukan tipe Nadine, jelas! Bocah 23 tahun bisa kasih makan dia apa nanti?
Ternyata, bocah 23 tahun itu adalah anak pertama yang meneruskan perusahaan orangtuanya. Jadi, ternyata emang keluarga konglomerat. Nadine benar-benar gak ngerti lagi deh, kenapa bisa orangtuanya menjodohkannya dengan bocah 23 tahun itu sih? Bisakah jadi pemimpin? Lucu ya, dipimpin sama yang lebih muda.
Tapi, siapa sangka? Bocah bukan sembarang bocah! Setelah menjalankan tiga hari pernikahan, Nadine dapat merasakan sisi dewasa dari pria itu. Tapi tetap saja, bukan dia yang Nadine mau.
"Kak, aku udah masak. Makan dulu, nanti lanjut lagi" kata pria itu, dengan suara yang lembut penuh kehati-hatian.
Nadine yang sedang mengetik di laptop, jemarinya seketika berhenti. Pandangannya mengarah kearah Gevan, pria yang sudah menjadi suaminya.
"Nanti."
Gevan itu memang yang selalu memasak makanan kalau Nadine sedang sibuk. Pria itu juga rajin mengerjakan pekerjaan rumah tangga, walau pria itu tidak kalah sibuknya dengan Nadine.
Gevan terdiam, memandang Nadine yang selalu cuek dengannya. Mau seberapa besar usahanya, apakah Nadine melihat itu?
Gevan mengangguk, dia langsung keluar dari kamar mereka. Ya, meski satu atap, satu ranjang, rasa canggung itu masih tetap ada.
Nadine melihat pria itu keluar kamar, Nadine menghela nafasnya. "Gue bukan gak tau terimakasih, tapi emang gue sibuk." Gumam Nadine, lanjut mengetik di laptop nya.
Tiba-tiba selang beberapa menit, pria itu datang membawa nampan berisi makanan dan minuman yang sudah dia siapkan tadi. Dia taro di meja depan Nadine.
"Kalau kakak ada waktu, makan dulu. Kalau engga suka, bilang sama aku, nanti aku beliin di tempat lain." Ucap Gevan, sudut bibirnya naik sedikit. Tatapannya tulus mengarah ke Nadine.
...
"Kak, baju kerja kakak udah aku siapin di meja. Aku berangkat dulu ya? Maaf gak bisa makan bareng, aku buru-buru soalnya. Aku berangkat, kak"
Detail kecil tentang Nadine selalu menjadi urusan Gevan, sekalipun dia sedang buru-buru–tetapi dia masih sempat-sempatnya menyiapkan pakaian kerja Nadine.
Terkadang, hal kecil bagi kita, itu akan menjadi besar bagi oranglain. Orang mana yang masih peduli mentingin kenyamanan orang lain, disaat dirinya sedang tidak nyaman juga? Ketulusan yang Gevan kasih, dan kecuekan yang Nadine balas.
Gevan selalu peduli hal kecil tentang Nadine, dan itu adalah hal yang paling suka dia lakuin. Dia suka ketika, Nadine tersenyum tipis ketika dia bantu, meski tak pernah ada kata "terimakasih" Gevan rasa, sekedar Nadine mau Gevan bantu aja itu cukup baginya.
...
"Kak, boleh Gevan minta waktunya sedikit aja?"
Gevan menatap Nadine dengan senyum tulus, matanya penuh harapan yang jarang dia tunjukkan ke Nadine. Cowok itu keliatan tidak baik-baik saja.
Nadine menghela nafas, dia duduk di nya. Berjarak dikit, dia menatap lurus–tidak menatap mata pria itu sama sekali.
"Ngomong aja."
Gevan terdiam sejenak, dia menundukkan kepalanya, menghela nafas berat. Sekedar ingin berbicara, tapi entah kenapa rasanya begitu lama dia pertimbangkan.
"Aku rasa gak bisa aku diam terus, aku pengen ngobrol terus terang sama Kakak. Aku mau nanya, kakak sebenarnya nyaman gak sama aku? Kakak ngerasa gak bebas gak hidup bareng aku? Karena, setiap aku lihat... Kakak selalu cuek, tertutup, aku gak bisa tau kalo kakak itu nyaman atau engga? menurut aku, kenyamanan satu sama lain itu penting. Kalau kakak gak nyaman, kakak bilang ya sama aku? Kita perbaiki bareng-bareng." Ucapnya, tulus dari hati yang selama ini dia pendam.
"Seumur hidup itu terlalu lama buat terus kayak gini kak, aku pengen kita sama-sama enjoy ngejalaninnya. Kalau kakak mau mundur, aku gapapa..." Gevan membuang muka.
Nadine melihat itu, entah kenapa rasanya dia tidak suka dengan kalimat itu? Seperti rasa sesak yang entah kenapa tidak nyaman. Nadine terdiam cukup lama, dia menatap wajah pria itu. Rasa bersalah muncul dibenaknya. Apakah dia selama ini berlebihan? Dia akui, dia kurang menghargai usaha Gevan yang selalu ingin dekat dan mencairkan suasana mereka.
"Kenapa Lo ngomong gitu? Lo udah capek sama gue? Lo mau itu?!" Nada berbicaranya sedikit meninggi , matanya menatap lurus mata lelaki itu. Ada getaran samar yang jarang terlihat.
Percayalah, dia gak suka ucapan itu! Dia tidak pernah kepikiran untuk mundur, tapi emang cara jalannya sedikit lambat.
Gevan langsung menoleh cepat, dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Engga gitu, aku cuma ngerasa kak Nadine selalu risih kalo deket aku. Aku cuma mikir, aku harus kayak gimana lagi sih kak? Bingung kadang, aku udah berusaha ngelakuin semua yang aku bisa dan aku rasa kakak bisa hargai itu, atau setidaknya kakak beri aku respon yang baik. Tapi ternyata kakak cuma diam, cuek dan ketus. Kadang capek juga, ngerasa effort sendirian kak. Aku gak maksa kakak buat cinta sama aku, aku cuma pengen kakak jujur sama aku. Biar jelas, kakak tuh maunya apa?"
DEG
Nadine terdiam, tanpa sadar tetesan air lolos dari matanya. Dia langsung menepisnya, dia tidak suka air itu lolos didepan Gevan. Tapi dia juga tidak kuat, selama ini dia selalu tahan segala hal.
Nadine menghela nafasnya, membuang muka. "Lo gak tau? Seberapa pengennya gue peluk Lo kalo gue pulang kerja? Gue capek, jujur gue juga capek sama semua yang terjadi. Gue bukan orang yang gampang mengekspresikan perasaan, gue lahir sebagai anak perempuan pertama, punya adek 2 yang menaruh harapan besar ke gue, yang harus gue perjuangin masadepannya. Dengan ekonomi yang kurang baik. Gue kebiasaan menahan dan berjuang sendirian, kebiasaan kuat. Tapi ternyata setelah gue pikir-pikir, gue sekarang udah punya Lo... Gue udah punya tempat buat bersandar, tapi kadang gue pikir--" ucapnya terpotong akibat isak tangis yang berhasil lolos, dia benci itu, tapi mau gimana lagi? Sudah terlanjur.
Gevan yang melihat itu, refleks mendekat–mengelus punggung wanita itu. Wanita kuat yang menjadi istrinya. Dia pun jadi merasa bersalah karena tidak bisa menopang bareng-bareng semua beban yang dirasakan istrinya.
"Kak..."
Nadine terisak. "Gue juga sering diam-diam nangis, Van. Gue gak sekuat itu, gue cengeng, gue masih anak perempuan yang haus kasih sayang itu... Udah lama gue gak ngerasain itu, makanya setiap Lo baik dan perhatian sama gue–gue suka diam. Karena gue bingung harus gimana, satu sisi gue ngerasa rindu dengan perhatian ini, gue seneng!! Tapi gue bingung ngeresponnya gimana..."
Gevan menatap wanitanya, yang sedang mencurahkan isi hati yang selama ini disimpannya rapat-rapat.
"Mulai sekarang, izinin aku buat ikut nanggung apa yang kakak rasain. Kalau kakak capek, bersandar sama aku. Kalau kakak pengen nyerah, pegang aku. Jadiin aku pegangan kakak, kalo ada masalah berbagai sama aku. Gak akan aku biarin kakak nanggung semuanya sendiri..."
---
Cerita dari: Petrichor_petch🌧️🍃