Mendung pertanda akan turun hujan. Matahari berhenti memancarkan sinarnya. Awan hitam menyelimuti sinar sang surya itu. Air mulai berjatuhan tak tertahankan. Orang-orang berlari mencari tempat peneduhan, kendaraan berhenti menunda perjalanan. Hujan. Ya kata yang penuh makna sebagai anugrah yang Tuhan berikan. Hujan membawa kebahagian namun tak dipungkiri hujan mampu membawa kesedihan karena hujan dapat menyisakan kenangan. Ya kenangan bagi mereka yang kehilangan.
“Yah kok hujan sih?” kata aku sambil menatap langit.
“Eh iya dong. Kita berhenti dulu ya, hujannya deras aku gak mau kamu sakit,” kata dia.
Aku dan dia berhenti sejenak, berteduh di depan sebuah pertokoan yang telah ramai orang berteduh menunggu hujan reda. Bajuku hampir basah sepenuhnya begitu pun dengan dia. Aku menatap ke langit, menyaksikan butiran air jatuh ke bumi. Gemericik air yang begitu indah berhasil membuat perasaanku tenang. Gelapnya langit tak bisa membuatku berhenti memandang hingga tak disadari dia menatapku sejak tadi.
“Serius amat liat langitnya sampai aku dicuekin.”
Aku terkejut mendengar suaranya. “Ih kamu ngagetin aja deh,” ucap aku sambil mencubit pipinya.
“Papaw kamu dingin gak? Mau minum yang hangat-hangat?”
“Boleh.”
Papaw. Ya panggilan sayang Bhakti padaku. Aku menyukai panggilan itu walaupun itu panggilan kucing peliharaannya. Namun wanita mana yang tidak bahagia mendapat panggilan sayang dari lelaki yang dicintainya. Benar sekali, Bhakti lelaki yang aku cintai.
***
“Permisi kak.” Seketika suara pelayan mengejutkanku dari kenangan setahun yang lalu. Aku tersenyum sekaligus mengucapkan terimakasih padanya. Secangkir tiramisu dan roti bakar telah tersaji dihadapanku. Café Vanilla menjadi tempatku singgah sore ini. Tempat aku dan dia bertemu setiap akhir pekan. Tentu saja ini akan mengingatkanku pada setahun yang lalu.
***
“Bhakti kamu mau pesan apa?”
“Aku pesan kopi tapi gak usah pake gula.”
“Serius kamu? Nanti pahit dong,” tanya aku heran.
“Kalo pahit ya tinggal liat kamu aja yang manis.”
Mendengar ucapan Bhakti seperti itu aku tersenyum sekaligus malu. Mungkin saja wajahku sudah merah saat itu. Bhakti memanglah lelaki yang romantis. Dia tidak pernah kehilangan sekata pun untuk membuatku tersenyum. Itulah salah satu alasan aku begitu mencintainya.
***
Satu jam sudah aku duduk di café itu tanpa aku sadari jika hujan telah reda sejak tadi. Aku segera membuka ponsel dan memesan ojek online untuk pulang. Ojek online menjadi teman setia kemanapun aku pergi selama di Bandung. Bandung memanglah tujuanku sejak duduk dibangku SMA. Berkuliah di perguruan tinggi favorit menjadi suatu kebanggaan bagiku. Di sinilah aku mengenalnya. Dua insan berbeda dipertemukan dalam ruang yang sama dan aku ditakdirkan untuk mencintainya. Namun satu hal tak terduga, Bhakti memutuskan pindah kuliah karena meraih beasiswa di kampus lain sehingga membuat aku dan dia sulit untuk bertemu.
“Kak sudah sampai,” ucap tukang ojek online dengan suara beratnya. Suara tukang ojek itu memecah lamunanku. “Terimakasih pak,” kataku dengan lembut.
Tok. Tok. Tok. Aku mengetuk pintu karena lupa membawa kunci kamar kos. Aku tinggal bersama Syavira teman sekampusku. Kami bertemu saat pengenalan kehidupan kampus dan memutuskan tinggal bersama.
“Iya sebentar,” terdengar suara Vira dari dalam. “Na kamu baru pulang? Maaf ya lama bukainnya tadi abis dari toilet dulu.”
“Iya gak apa-apa kok. Kamu udah makanmakan?” kataku sambil merebahkan badan.
“Udah kok tadi. Oh iya kamu abis darimana sih?” tanya Vira penasaran.
“Café Vanilla,” jawabku singkat. “Lagi?” tanya Vira dengan wajah tak percaya. Aku pun mengangguk.
“Na, mau sampai kapan kamu mikirin dia terus? Udahlah lupain dia, toh dia juga belum tentu mikiran kamu.” Aku hanya terdiam mendengar Vira berkata itu. Vira orang yang tahu akan hubunganku dan Bhakti. Bahkan ketika aku dan Bhakti putus, Vira menjadi orang pertama yang mendengar isak tangisku.
***
Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam. Jarum jam terus berputar layaknya kehidupan. Hidup tak selamanya berjalan mulus. Badai akan selalu menerpa silih berganti layaknya batu kerikil yang menyulitkan pengemudi. Begitu pun dengan cinta. Tak selamanya cinta membuat kita bahagia. Kadangkala cinta membuat kita terluka, entah itu karena kehilangan atau penghianatan. Hari semakin malam tetapi mataku belum terpejam. Kumerasakan kehilangan dihatiku saat ini. Menyimpan rasa yang tak pernah pudar. Menahan rindu yang belum tersampaikan. Pikiranku seketika terbawa pada setahun yang lalu. Dimana aku dan dia mengakhiri semuanya.
***
Saat itu aku baru saja selesai kuliah. Ada pesan masuk dari Bhakti ingin menemuiku. Perasaanku senang saat itu, akhirnya aku bertemu dia kembali. Tiba di kantin aku melihat dia yang tengah duduk. Aku menghampirinya dan Bhakti menatapku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
“Hai Be, kamu dari tadi disini?”
“Ngga, aku baru datang pas chat kamu.”
“Kenapa? Ada yang mau kamu omongin?”, tanya aku dengan gugup.
Bhakti menatapku dan satu kalimat terlontar dari mulutnya, “Kamu bisa gak sih menghargai orang lain?”
Jantungku berdegup kencang. Dunia terasa berhenti berputar. Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Bhakti yang seperti itu. “Apa maksudnya?”
“Kamu tau kan kita sekarang berjauhan, beda kampus, kamu tau kan kalo aku gak suka kalo kamu on off WA, tapi kenapa kamu lakuin itu? Aku chat kamu, kamu read doang, aku chat lagi, WA kamu udah off. Kamu itu kenapa sih? Aku ini dianggap apa sama kamu?”
Aku terdiam, berusaha menahan air mata. Baru kali ini aku melihat Bhakti marah seperti itu. Hanya satu kata yang terucap dari mulutku, “maaf”.
“Maaf Be, waktu itu aku emang lagi sibuk. Aku menghargai kamu selama ini. Aku mengganggap kamu ada.”
“Kamu bilang sibuk? Hey aku juga sibuk tapi aku masih bisa kok bales chat kamu. Dan satu lagi, apa selama ini kamu menyukai lelaki lain selain aku?” tanya Bhakti dengan ketus.
Perasaanku saat itu hancur. Mengapa Bhakti bisa berkata seperti itu. Seolah dia tahu jika aku menyukai lelaki lain selain dirinya.
“Be aku selalu ini gak pernah menyukai lelaki lain selain kamu. Kamu tau kan aku sayang kamu, gak mungkinlah aku menyukai lelaki lain.”
“Udah ya, suatu hubungan akan berakhir bukan karena orang ketiga tapi karena runtuhnya kepercayaan.”
“Maksudnya kamu gak percaya sama aku?”
“Maaf aku gak bisa lanjutin hubungan ini. Kalo kita ditakdirkan berjodoh pasti kita bertemu lagi. Makasih buat semuanya. Kita udahan.”
Air mataku menetes di pipi. Aku tidak percaya hal yang paling ditakutkan terjadi. Aku dan Bhakti berakhir begitu saja. “Be kamu gak bisa kaya gitu, maaf kalo selama ini aku salah sama kamu. Aku gak mau kita udahan. Aku sayang kamu,” ucapku lirih.
“Maaf aku gak bisa. Aku pergi, jaga dirimu baik-baik.”
***
Malam berganti siang. Matahari memancarkan sinarnya. Aku hampir saja telat karena tidur terlalu malam. Hari ini perkuliahan terakhir disemester 3 dan minggu depan aku akan ujian. Tentu saja banyak yang mesti dipersiapkan agar mendapat hasil yang memuaskan. Aku pergi ke Café Vanilla usai perkuliahan. Menikmati waktu luang ditemani secangkir tiramisu. Aku duduk ditempat biasa, tempat di mana aku dan Bhakti duduk bersama. Saat itu terdengar suara lelaki memanggilku.
“Tina,” panggil lelaki itu sambil melambaikan tangan.
Aku mencari sumber suara yang tidak asing ditelingaku. “Padil.”
“Hai! Udah lama ya kita gak ketemu,” sapa Padil dengan ramah.
“Hai! Padil gimana kabarnya? Kuliah lancarkan?”
“Aku baik, kuliah lancar kok cuma ya gitu pusing maklumlah ngitung mulu. Kamu sendiri gimana kabarnya?”
“Aku baik,” jawabku singkat.
“Bolehkan aku duduk di sini?”
“Bolehlah gak ada yang larang juga.” Kami berdua tertawa.
Padil teman dekatku di kampus. Padil juga teman dekat dengan Bhakti. Sama halnya dengan Bhakti, Padil memilih pindah kampus karena ada tujuan yang harus dia raih. Sejak saat itu kami tidak pernah bertemu.
“Tina masih suka ke sini?” tanya Padil serius.
“Iya,” jawabku dengan wajah menunduk. Aku tahu pasti setelah ini Padil akan melarangku untuk mengingat Bhakti.
“Mau sampai kapan kamu mikirin dia terus? Ini udah setahun loh, dia juga gak ngasih kabar lagi kan setelah udahan itu,” ucap Padil prihatin.
“Iya Dil aku tahu itu. Tapi aku yakin dia pasti kembali.” Aku menjawab dengan yakin.
“Kamu seyakin itu kalo dia bakal kembali?”
“Iya aku yakin dia akan kembali. Ini hanya soal waktu, aku harus sabar menunggu waktu yang tepat.”
“Aku gak bisa berbuat banyak untuk hubungan kalian, tapi aku akan selalu berdoa agar kalian kembali bersama seperti dulu.” Handphone Padil berdering pertanda ada pesan masuk. “Udah ya Na aku harus pulang, udah dipanggil sama doi.” Aku tertawa terbahak-bahak mendengar kalimat Padil yang terakhir.
“Yaudah sana pulang doi udah nyariin kan?” ledek aku. Aku berlanjut berkata, “Dil makasih ya udah selalu dukung aku buat kembali sama Bhakti.”
“Santai, kaya ke siapa aja, kita kan temenan harus saling dukung,” jawab Padil sambil pergi meninggalkanku. Setelah pertemuanku dengan Padil, aku tidak mengunjungi kembali Café Vanilla karena fokus dengan ujian.
***
Ujian akhir semester telah berlalu dan saatnya aku menikmati liburan. Aku berencana untuk pulang ke Jakarta, begitu pun dengan Vira, dia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Selama di Jakarta banyak tempat yang aku singgahi. Aku memang menyukai travelling, sejauh apapun tempatnya pasti aku tuju.
Hari ini hari minggu, tepat dengan hari ulang tahunku. Aku sudah merencanakan untuk pergi ke pantai, menikmati derasnya ombak, menikmati angin yang berhembus kencang dan berjalan di atas pasir yang putih. Aku berjalan menyusuri pantai. Sesekali memotret untuk dijadikan kenangan. Hingga akhirnya aku tiba di jembatan untuk menyusuri ke tengah laut. Begitu banyak sekali orang disekelilingku sampai akhirnya aku menemukan sosok lelaki yang tidak asing bagiku. Lelaki itu sendiri, dia melihatku. Sosok berkulit putih dengan tubuh tidak terlalu tinggi. Benar, aku mengenali lelaki itu. Perlahan dia berjalan mendekatiku, begitu juga denganku perlahan berjalan mendekatinya. Tibalah kami saling mendekat, diam, menatap satu sama lain. Jantungku berdegup dengan cepat. Tatapan mata itu sama persis ketika dia mengungkapkan perasaannya padaku. Tanpa kusadari dia memelukku. Pelukan yang begitu hangat. Air mataku langsung jatuh ke pipi.
“Bhakti,” ucapku dengan suara lirih.
Dia memelukku erat sampai dadaku sesak dibuatnya.
“Bhakti apa kamu baik-baik aja? Kemana kamu selama ini?”
Bhakti melepas pelukannya. Dia menghapus air mata yang jatuh dipipiku. Dia berkata, “Aku di sini baik-baik aja. Gimana dengan kamu?” Aku menjawab, “Aku begitu merindukanmu. Setahun sudah aku menahan rindu ini.” Bhakti terdiam dan terus menatapku.
“Aku selalu memikirkanmu siang dan malam. Mengharapkan kamu kembali. Aku masih ingat cerita kita setahun yang lalu. Begitu juga aku ingat ulang tahunmu dan hari ini hari ulang tahunmu.” Aku tidak bisa berhenti menatapnya. Kemudian dia berkata, “Selamat ulang tahun, aku mencintaimu.”
Tangisanku semakin menjadi. Bhakti kembali memelukku dengan erat lebih erat dari sebelumnya. Aku begitu bahagia karena apa yang kuharapkan saat ini terjadi. Sosok lelaki yang aku cintai kembali. Aku mencintaimu, Bhakti.