Karya : 1.Ayu WULANDARY
2.Nabila Syafira
3.Timotea Alodia
Pada masa yang sangat lama, jauh sebelum negeri Banjar dikenal orang, di tepian Sungai Nagara berdirilah sebuah kerajaan megah bernama Negara Dipa. Sungai itu luas dan dalam, airnya berkilau di bawah cahaya bulan, menjadi urat nadi kehidupan rakyat di sekitarnya.
Raja pertama kerajaan itu adalah Empu Jatmika, seorang tokoh sakti yang datang dari tanah Jawa, dari negeri Kediri. Ia bukan keturunan bangsawan, melainkan seorang pandita yang memiliki ilmu tinggi dan kebijaksanaan. Bersama dua putranya, Lembu Amang dan Lembu Mangkurat, ia membangun negeri baru dengan susah payah, menebas hutan, mendirikan istana, dan membuka sawah bagi rakyatnya.Negara Dipa pun tumbuh makmur. Namun, menjelang akhir hayatnya, Empu Jatmika berpesan kepada kedua putranya dengan suara bergetar:
“Anak-anakku, dengarlah baik-baik. Aku bukan darah raja. Aku hanyalah orang biasa yang diberi kuasa oleh dewa untuk menegakkan negeri ini. Karena itu, janganlah kalian memerintah dengan mengaku sebagai raja sejati. Raja sejati hanya akan lahir bila dunia air dan langit bersatu. Bila saat itu tiba, seorang putri akan muncul dari buih sungai. Dialah yang akan membawa darah bangsawan sejati ke tanah ini.”
Setelah Empu Jatmika wafat, kedua putranya memimpin bersama. Namun waktu berjalan, dan rakyat mulai resah. Mereka menginginkan seorang raja yang benar-benar diakui oleh dewa.Untuk itu, para pendeta dan ahli nujum kerajaan berkumpul. Mereka memutuskan melakukan upacara pemanggilan roh penguasa air di tepi Sungai Nagara, tempat yang dianggap suci.
Tujuh malam lamanya upacara dilakukan. Mereka membakar dupa, melantunkan mantra, dan menabur bunga setaman di permukaan air. Di malam ketujuh, ketika kabut turun tebal dan bulan bersembunyi di balik awan, tiba-tiba air sungai bergolak.Buih-buih putih muncul dari dasar sungai, berputar seperti pusaran kecil, makin lama makin besar hingga menutupi permukaan air. Lalu dari dalam buih itu muncullah sinar lembut kebiruan, dan perlahan menampakkan sosok seorang gadis.Ia muncul duduk di atas buih, wajahnya bercahaya lembut, rambutnya panjang menjuntai sampai air, dan matanya jernih bagai permata laut. Kulitnya bening, dan setiap langkahnya di atas air meninggalkan jejak cahaya. Rakyat yang menyaksikan berlutut penuh takjub.
“Aku adalah Putri Junjung Buih,” ujarnya, suaranya seperti angin yang menyentuh dedaunan. “Aku datang dari dasar dunia air, dari alam yang dijaga oleh makhluk suci. Aku diutus untuk menyatukan langit dan bumi, air dan darat. Aku akan membawa keseimbangan bagi negeri ini.”
Mendengar itu, Lembu Mangkurat segera berlutut di hadapannya. Hatinya tahu bahwa inilah yang dimaksud oleh ayahnya. Dengan penuh hormat, ia berkata,
“Wahai putri suci, engkaulah anugerah dari para dewa. Jika engkau berkenan, jadilah permaisuriku, agar negeri ini mendapatkan darah bangsawan sejati.”
Putri Junjung Buih tersenyum. “Aku akan menjadi permaisurimu,” katanya lembut, “namun dengan satu syarat: aku tak ingin orang banyak melihat wajahku tanpa izin. Aku adalah titisan suci, dan cahayaku bukan untuk semua mata.”Maka rakyat pun menyetujui. Diadakanlah pesta besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Gamelan ditabuh, tari topeng Banjar dimainkan, dan sungai dihiasi bunga-bunga hanyut. Lembu Mangkurat dinobatkan sebagai Raja Negara Dipa, dan Putri Junjung Buih menjadi Permaisuri Agung.
Di bawah kepemimpinan mereka, Negara Dipa mencapai masa keemasan. Negeri itu menjadi pusat perdagangan di tepian Sungai Barito. Para pedagang dari Jawa, Makassar, dan Tiongkok datang membawa sutra, rempah, dan logam. Rakyat hidup makmur, sawah subur, dan air sungai selalu jernih — seolah dijaga oleh roh air yang ramah.
Namun, ada hal yang misterius dari sang permaisuri. Ia jarang menampakkan diri di depan umum. Hanya sang raja dan beberapa pendeta yang boleh menemuinya. Dikisahkan bahwa jika seseorang mencoba mengintip wajahnya, ia akan buta atau pingsan karena sinar yang terlalu terang.Suatu hari, seorang prajurit muda yang sombong ingin membuktikan bahwa ia berani melihat sang putri. Ia mengintip dari sela tirai istana ketika sang permaisuri sedang berjalan. Seketika matanya menjadi gelap dan tubuhnya roboh tanpa nyawa. Sejak saat itu, tak seorang pun berani melanggar larangan tersebut.
Tahun-tahun berlalu. Putri Junjung Buih kemudian melahirkan seorang anak laki-laki, yang kelak menjadi Raden Aria Gegulingan, raja penerus tahta Negara Dipa. Ia tumbuh bijak dan gagah, dan dari keturunannya lahir raja-raja Kerajaan Negara Daha, lalu kemudian berdirilah Kesultanan Banjar, yang memerintah Kalimantan Selatan berabad-abad lamanya.Namun, legenda menyebutkan bahwa setelah melahirkan anaknya, Putri Junjung Buih perlahan menghilang. Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung di langit, air Sungai Nagara kembali beriak lembut. Sang permaisuri, dengan pakaian putih berkilau, berjalan menuju tepi air.
“Tugasku di dunia telah selesai,” bisiknya lembut. “Keturunanku akan menjaga tanah ini. Jika suatu hari rakyat Banjar lupa pada asal-usulnya, panggillah aku di air yang tenang. Aku akan datang dalam buih, sebagaimana dulu aku lahir darinya.”
Raja dan rakyat hanya bisa menyaksikan dengan haru ketika tubuh sang putri perlahan diselimuti kabut dan lenyap ke dalam air. Hanya buih-buih kecil yang tersisa di permukaan sungai, berkilau seperti bintang yang jatuh ke bumi.
Sejak hari itu, rakyat Banjar percaya bahwa Putri Junjung Buih tidak mati, melainkan kembali ke alamnya — menjadi penjaga sungai dan pelindung negeri Banjar. Kadang, saat air sungai memantulkan cahaya aneh di malam purnama, orang tua Banjar akan berkata kepada anak-anaknya:
“Jangan membuat marah air. Itu tempat Putri Junjung Buih bersemayam.”
Demikianlah kisah Putri Junjung Buih, legenda yang mengalir bersama air Sungai Nagara — air yang menjadi saksi lahirnya kerajaan besar dan keturunan raja-raja Banjar. Ia bukan hanya dongeng tentang keindahan, tetapi juga pesan tentang kesucian asal, hormat pada alam, dan asal mula kebesaran negeri Banjar.
Dan hingga kini, ketika buih kecil muncul di permukaan sungai setelah hujan reda, orang Banjar tua masih berbisik:
“Itu tanda, Putri Junjung Buih sedang tersenyum, menjaga tanah leluhur kita.”