Dua belas tahun silam, tepat di tanggal ini, aku menuliskan sebuah resolusi. Entah mengapa dahulu, di setiap awal tahun aku sering menuliskan resolusi hidup, yang kemudian di tempel pada mading kamar. Kebiasaan itu, kini memudar setelah menikah. Ada 10 poin dalam resolusi itu, poin pertama hingga kesembilan seputar peningkatan iman dan taqwa serta pekerjaan. Poin kesepuluh adalah menikah. Poin yang awalnya hanya sekedar iseng, karena rasanya sulit terealisasi, mengingat saat itu kedua kakakku belum menikah.
Pada saat itu, kebetulan beberapa teman dekatku sudah menikah. Ingin sekali aku mengikuti jejak mereka. Di tambah ibuku yang sering mengeluh di setiap malam minggu. Ia geram melihat kedua anak gadisnya yang tak pernah 'di-apelin' sedangkan tetangga di sebelah rumah yang punya anak gadis selalu mendapatkan tamu pria di malam minggu.
"Ya udah lis, kalau lo udah siap, ajuin biodata lo sama guru ngaji lo." Kata teman seperjuanganku, teman bersama dalam menapaki jalan hijrah.
"Tapi gue masih belum bisa ta'aruf lim, kayanya gue ga bisa sama orang yang ga gue kenal. Gue mau nikah ya paling ngga sama temen sekolah atau kakak kelas gitu, yang emang udah gue kenal sebelumnya." Kataku.
"Ya kan, lo juga ga langsung ujug-ujug nikah kali, ta'aruf itu kan kenalan dulu, kalau lo ga suka, ya ga jadi." Kata temanku.
Entah mengapa di tahun itu, keinginanku untuk menikah sangat besar. Aku memasrahannya pada Allah. Semakin membenah diri, berusaha menjadi insan yang baik dalam hal agama dan budi pekerti. Karena satu hal yang ku yakini, bahwa Allah akan memasangkan orang baik dengan yang baik dan juga sebaliknya.
Aku sering bangun di pertiga malam, memohon padaNya untuk diberikan yang terbaik. Malam itu, aku bermimpi, mimpi yang terasa begitu nyata. Di dalam mimpi itu, aku di peluk dengan seorang pria yang tak terlihat wajahnya. Tubuhnya tinggi, tidak gemuk dan tidak kurus. Aku merasa nyaman bersandar pada dada itu dan rasanya masih sama saat terbangun. Seolah itu bukan mimpi tapi kenyataan.
Kemudian, aku coba mengingat postur tubuh itu, mengingat siapa dahulu pria dengan postur tubuh itu yang pernah menyukaiku. Tiba-tiba aku mengingat seseorang, dia yang pernah dekat denganku sejak SMP, pernah menyatakan suka padaku dan meminta menjadi pacarnya. Namun aku memang tidak suka berpacaran, akhirnya aku menolaknya untuk saat itu dan meyakinkan diri bahwa dia untuk masa depan saja. Hingga akhirnya, komunikasi kami terputus, ketika kami mulai kuliah.
Aku memberanikan diri untuk datang kerumahnya dan bertemu dengan kakaknya. Lalu, memberitahu bahwa ia sudah menikah dan tidak lagi tinggal bersama orangtuanya. Aku pulang dengan wajah sedih, sudut mataku sudah mulai menggenang dan akhirnya tumpah pada saat aku sedang mengemudikan motor. Lucu sekali, ketika mengingat itu.
Kembali, aku memasrahkan diri pada-Nya. Memohon dan meminta yang terbaik. Akhirnya, aku terima tawaran teman untuk ta'aruf. Satu, dua, tiga, empat, lima kali aku dikenalkan dengan beberapa teman dari teman suaminya atau sepupunya. Namun, masih tidak ku temukan yang benar-benar menggetarkan hati. Padahal dari kesemua ikhwan (sebutan pria muslim) itu, tidak ada yang menolak, hingga aku di musuhi beberapa teman yang memperkenalkanku pada teman suaminya.
Sampai akhirnya, aku bertemu seorang pria dan terasa ada yang berbeda sejak pertama kali bertemu. Dari kesekian pria yang pernah bertemu ketika ta'aruf, kali ini ada yang beda. Ada sedikit rasa yang tak dapat di artikan. Ia pun merasakan hal yang sama. Kemudian, komunikasi kami berlanjut.
"Aku ga pacaran kak, kalau kakak suka sama aku, aku mau nya langsung nikah," ucapku pada saat dia menyatakan rasanya padaku.
"Kalau gitu, aku mau ketemu bapak. Kapan kira-kira?" Jawabnya.
"Sabtu sore, bagaimana?" Kataku.
Dan dia langsung menjawab, "oke."
Amazing, ia mampu meluluhkan hati bapakku yang sekuat baja. Menebar pesona hingga ibuku langsung menyukai. Dan kedua kakakku pun mengizinkan untuk dilangkah. Entah ia memakai sihir apa? Padahal sebelumnya ada pria yang datang memintaku tetapi bapakku seolah enggan untuk merestui.
"Lis itu masih kecil, terus kakaknya yang perempuan juga belum menikah." Selalu itu alasan bapakku.
Namun, kali ini semua terasa begitu mudah.
Persis, di akhir tahun 2009 kami menikah. Resolusi terakhir yang bisa teralisasi di detik-detik menutup tahun. Setelah resepsi pernikahan selesai, kami istirahat di kamar. Ia memelukku erat, persis seperti pelukan yang ada di mimpiku kala itu. Sangat mirip dan dengan postur tubuh yang sama.
MaasyaaAllah...
"Cinta akan selalu menemukan jalannya." Batinku.