Kata sebuah lirik lagu, “boleh kamu namai itu rumah selama ada mereka yang kamu cinta.”
Aku dulu mengira itu cuma kalimat manis—jenis kata-kata yang enak didengar tapi gampang dilupakan. Sampai suatu hari, aku berdiri di tengah hidupku sendiri, lelah, kosong, dan tidak tahu harus pulang ke mana.
Di situlah aku bertemu Kalingga.
Ia tidak datang sebagai penyelamat. Tidak membawa janji besar, tidak pula menawarkan masa depan yang dibungkus rapi. Ia hanya hadir—utuh, sederhana, dan tenang. Tapi justru dari situlah semuanya bermula.
Aku sudah lama terbiasa hidup dengan mode bertahan. Menjadi gadis yang dingin, seperlunya saja peduli, dan terlalu sering pura-pura kuat. Aku belajar sejak kecil bahwa berharap terlalu banyak hanya akan berakhir kecewa. Maka aku membangun dinding, satu demi satu. Tidak tinggi, tapi cukup rapat untuk membuat siapa pun ragu masuk.
Kalingga tidak mencoba merobohkan dinding itu.
Ia berdiri di depannya, menunggu. Tidak mendesak, tidak bertanya kenapa aku begini. Ia hanya ada. Dan anehnya, itu lebih menenangkan daripada semua usaha orang-orang sebelumnya.
Aku ingat pertemuan pertama kami. Tidak dramatis. Tidak ada hujan, tidak ada tatapan berlama-lama seperti di film. Kami hanya duduk bersebelahan, berbicara hal-hal ringan, tertawa di bagian yang seharusnya, dan diam tanpa canggung. Tapi dari sana, aku tahu—ada sesuatu yang berbeda.
Kalingga mendengarkan dengan cara yang jarang aku temui.
Bukan mendengarkan untuk membalas, bukan untuk menghakimi, bukan untuk memberi solusi cepat. Ia mendengarkan seperti seseorang yang benar-benar ingin mengerti, bukan sekadar tahu.
Pelan-pelan, aku mulai bercerita. Tentang hari-hari yang melelahkan, tentang rasa hampa yang sering datang tanpa sebab, tentang keluarga yang seharusnya jadi rumah tapi justru sering menjadi sumber luka. Aku tidak menceritakan semuanya sekaligus—aku terlalu takut. Tapi Kalingga tidak menuntut lebih.
“Aku di sini,” katanya suatu hari.
Kalimat pendek. Tapi entah kenapa, dadaku terasa lebih lapang.
Sejak itu, keberadaannya menjadi sesuatu yang konsisten.
Bukan yang intens dan melelahkan, tapi stabil. Seperti cahaya lampu di teras rumah—tidak silau, tapi selalu menyala saat malam.
Aku menemukan satu rumah yang tidak semua orang beruntung memilikinya.
Kalingga tidak pernah mengklaim diriku. Ia tidak berkata bahwa aku harus begini atau begitu. Ia membiarkanku menjadi diriku—dengan segala kekacauan, ketakutan, dan kekanak-kanakan yang kadang muncul tanpa aba-aba.
Aku sering marah tanpa alasan jelas.
Sering diam terlalu lama.
Sering menarik diri tepat saat seharusnya aku mendekat.
Dan Kalingga… tetap tinggal.
Suatu malam, setelah hari yang terasa terlalu berat, aku datang kepadanya dengan mata merah dan kepala penuh. Aku tidak membawa cerita yang runtut, hanya potongan emosi yang tumpah satu per satu. Aku menangis tanpa suara, mencoba menahan diri seperti biasa.
Tapi ia mendekat, menarikku ke pelukannya—lembut, tanpa tergesa.
“Menangislah,” katanya.
“Di depanku, kamu boleh hancur.”
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa lemah karena menangis.
Pelukannya tidak seperti tempat berlindung sementara. Ia seperti rumah yang pintunya tidak pernah benar-benar tertutup. Aku bisa datang kapan saja, dengan kondisi apa saja, dan tidak perlu menjelaskan terlalu banyak.
Di situlah aku sadar: Kalingga bukan seseorang yang datang untuk mengubahku. Ia datang untuk menemaniku menjadi diriku sendiri—versi yang paling jujur.
Aku pernah menolak cintanya.
Bukan karena aku tidak merasakan apa-apa. Justru sebaliknya. Aku terlalu takut. Takut berharap, takut kehilangan, takut semuanya hanya akan berakhir seperti sebelumnya. Aku bilang padanya bahwa aku tidak siap, bahwa aku tidak bisa memberi apa yang ia inginkan.
Ia hanya mengangguk.
Tidak pergi.
Tidak berubah dingin.
Tidak memaksaku merasa bersalah.
Ia tetap hadir dengan cara yang sama.
Di situlah aku tahu, cinta Kalingga tidak bersyarat pada balasan. Ia mencintai bukan untuk memiliki, tapi untuk menjaga. Dan itu—itu membuatku lebih gemetar daripada penolakan apa pun.
Hari-hari bersamanya berjalan seperti aliran air. Tidak selalu indah, tapi selalu jujur. Ada tawa, ada diam, ada obrolan panjang sampai lupa waktu, ada pula hari-hari di mana kami hanya duduk tanpa berkata apa-apa.
Dan semuanya terasa… cukup.
Kalingga sering berkata bahwa hidup tidak harus selalu dimenangkan. Kadang cukup dijalani. Ia mengajarkanku untuk berhenti memaksa diriku kuat setiap saat. Untuk mengizinkan diriku lelah. Untuk percaya bahwa tidak apa-apa meminta tolong.
Aku belajar banyak darinya—bukan lewat nasihat panjang, tapi lewat caranya memperlakukanku.
Ia lembut dalam tutur, tapi tegas dalam batas.
Ia sabar, tapi tidak membiarkan diriku terus menyakiti diri sendiri.
Ia diam, tapi kehadirannya selalu terasa.
Perlahan, aku berubah. Bukan menjadi orang lain, tapi menjadi versi diriku yang lebih berani merasa. Aku mulai percaya bahwa kasih sayang tidak selalu datang dengan syarat. Bahwa rumah tidak harus sempurna—cukup aman.
Keluarganya menerimaku dengan hangat. Tanpa pertanyaan berlebihan, tanpa penilaian. Untuk pertama kalinya, aku merasakan bagaimana rasanya disambut tanpa harus membuktikan apa pun.
Dan di sana, aku menangis lagi.
Bukan karena sedih, tapi karena lega.
Jika aku tidak bertemu Kalingga hari itu, mungkin aku masih gadis yang memilih dingin karena takut terluka. Masih mengira bahwa bertahan sendirian adalah satu-satunya cara hidup. Masih menganggap pulang sebagai sesuatu yang melelahkan.
Tapi sekarang, aku tahu.
Pulang bisa berarti seseorang yang menunggumu tanpa jam.
Seseorang yang tidak pergi saat kamu rumit.
Seseorang yang tidak menyuruhmu cepat sembuh, tapi duduk menemanimu saat kamu belum sanggup apa-apa.
Hari ini, aku tidak lagi bertanya ke mana aku harus kembali.
Aku tahu arah pulangku.
Dan namanya…
Kalingga.