Aku menulis ini untukmu—yang sering merasa terluka, bahkan oleh hal-hal yang tak pernah benar-benar berniat menyakitimu.
---
Ada seseorang yang setiap malam berbicara dengan dirinya sendiri di depan cermin. Bukan untuk mengagumi, tapi untuk memastikan bahwa ia masih ada. Ia belajar tersenyum agar orang lain tak bertanya terlalu jauh, belajar diam agar tak menambah beban siapa pun. Padahal di dalam dadanya, ada retakan kecil yang terus melebar.
Ia bukan lemah. Ia hanya terlalu sering menahan.
Setiap luka datang bukan karena ia tak berusaha, melainkan karena ia selalu mencoba menjadi cukup—cukup sabar, cukup mengerti, cukup kuat—untuk semua orang. Hingga suatu hari, ia lupa bagaimana caranya cukup untuk dirinya sendiri.
Ia pernah ingin marah, tapi memilih memaafkan. Pernah ingin pergi, tapi memilih bertahan. Pernah ingin berteriak, tapi hanya menghela napas panjang. Dunia melihatnya baik-baik saja, sementara ia belajar hidup dengan rasa perih yang tak punya nama.
Dan jika hari ini ia berkata, “Maaf untuk semuanya yang telah terjadi,” itu bukan karena semua salahnya. Itu karena ia memiliki hati yang terlalu luas, yang bahkan menampung kesalahan orang lain.
Untukmu, yang selalu merasa terluka:
Maaf karena terlalu keras pada diri sendiri.
Maaf karena sering menyalahkan hati yang hanya ingin dicintai.
Maaf karena bertahan di tempat yang tak lagi menghangatkan.
Tapi dengarkan ini pelan-pelan—luka bukan tanda kegagalan. Ia adalah bukti bahwa kamu pernah berani merasa. Dan suatu hari nanti, retakan itu akan menjadi jalan bagi cahaya masuk.
Kamu tidak rusak.
Kamu hanya sedang belajar pulang ke diri sendiri.