Namaku Dirya. Usiaku dua puluh tahun, lebih beberapa bulan.
Aku anak ke tiga dari dua bersaudara. Eh, tiga bersaudara. Entahlah, aku bingung dengan penyebutan ini. Aku anak ke tiga, saudaraku ada dua. Kedua kakakku sudah berumah tangga.
Sudah dua tahun jadi beban keluarga selepas lulus dari Sekolah Menengah Atas. Aku memutuskan untuk mencari sebuah pekerjaan. Dengan bermodalkan selembar Ijazah SMA, aku berkeliling kota mencari lowongan pekerjaan yang biasanya ditempelkan di tembok-tembok pinggir jalan.
"Ah, kebanyakan minimal lulusan S1. Jangankan S1, S teler saja aku belum nyobain," keluhku.
Ku lanjutkan langkah menyusuri tembok-tembok bisu yang tak mau memberitahuku dimana ada lowongan pekerjaan untuk seorang gadis lulusan SMA.
"Nah, ini ada untuk lulusan SMA. Tapi penampilan harus menarik. Berarti harus bisa dandan. Ah, pakai pensil alis saja aku nggak bisa. Skip." Aku berjalan lagi lebih jauh.
Setelah merasa lelah dan kehausan, aku berhenti di sebuah warung pinggir jalan. Memesan es teh dan sepiring nasi soto. Mengisi perut sebelum melanjutkan pencarian. Padahal kalau dipikir-pikir, kan bisa cari lowongan kerja lewat biro jasa. Tapi itu jelas ada biaya.
"Nyari kerjaan, Nduk?" Seorang bapak-bapak menyapaku.
"Eh, iya, Pak. Kok Bapak bisa tahu?" Aku mengernyitkan dahi.
"Ya, Nduknya bawa Ijazah. Biasanya lagi cari kerja."
"Iya, Pak. Sulit sekali cari kerjaan yang pakai Ijazah SMA."
"Oh, kebetulan ada tetangga Bapak yang butuh pekerja tanpa Ijazah, Nduk." Aku merasa mendapat angin surga dengan perkataan si Bapak.
"Beneran, Pak?" tanyaku bersemangat.
"Beneran, Bapak bisa antarkan ke rumahnya kalau mau," tawar si Bapak.
"Tapi pekerjaan apa, Pak? Saya tidak punya keahlian pekerjaan berat," lesuku.
"Hahaha... Tidak berat ini. Hanya jadi babysitter katanya."
Raut wajahku terasa berubah jadi ceria.
"Wah, bener nih, Pak? Saya mau, Pak kalau begitu. Bisa Bapak antar saya ke sana?"
"Oh, bisa bisa. Kamu selesaikan dulu makannya baru Bapak antar."
"Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Pak..." seruku sambil mengambil tangan si Bapak dan menciumnya. Sebagai rasa terima kasih, aku inisiatif membayarkan makanan pesanannya. 'Gak papa, nanti kalau sudah kerja, dapat gantinya,' batinku.
Akhirnya, setelah selesai makan, si Bapak mengantarkanku ke sebuah rumah besar dan terlihat mewah. Pagarnya tinggi menjulang di hadapanku. Beberapa buah mobil tampak terparkir di halaman depan rumah.
"Ini rumahnya, Pak?" tanyaku.
"Iya, ini rumahnya, Nduk. Sebentar, ya." Si Bapak memencet bel yang menempel di dinding pagar.
Tak lama, seorang penjaga keamanan alias security datang membukakan pintu pagar.
"Eh, Pak Komar. Ada perlu apa, ya, Pak? Kebetulan Ibu lagi ada di rumah. Biar saya sampaikan," kata si security ramah.
"Ini loh, Mas. Saya antarkan orang yang mau kerja. Katanya Ibu nyari pekerja baru buat jadi babysitter." Pak Komar menunjukku.
"Kalau begitu mari masuk, Pak sekalian sama Adeknya."
"Baik, Mas Lim. Ayo, Nduk kita masuk ketemu Ibu pemilik rumah." Pak Komar mengajakku masuk. Aku mengikutinya.
Kami berjalan melewati deretan mobil mewah. Taman-taman bunga menghiasi sekeliling rumah bercat hijau itu. Aku terkagum melihatnya.
"Mari masuk, Pak. Ibu sudah menunggu di dalam," kata Pak Lim. Kami pun mengikuti Pak Lim menuju ruang tamu. Seorang wanita, kisaran usia lima puluh tahunan, duduk di sofa beludru bersama seorang pria muda. Pria yang tampan.
"Selamat siang, Bu. Saya Komar saudaranya Korim." Pak Komar menyalami si ibu, aku mengikutinya.
"Oh, Pak Komar, ya. Silakan duduk," persilakan si Ibu. Kami pun duduk di depannya.
"Jadi, kamu yang akan melamar pekerjaan sebagai babysitter anakku?" tanya si Ibu padaku.
"Benar, Bu. Saya sangat butuh pekerjaan itu," jawabku.
Si Ibu tampak menelisikku dari atas ke bawah.
"Baiklah, saya butuh seorang perawat untuk anak saya ini," kata si Ibu sambil mengelus lengan putranya di sampingnya.
'Putranya yang itu yang butuh perawat?' batinku terkejut.
___***___
Bersambung