Bagian 1: Sang penjelajah yang kehilangan jangkar
Alam semesta tidak mengenal kata kasihan, dan waktu adalah penguasa yang paling tiran. Bagi Elias, waktu bukan lagi garis lurus yang membosankan, melainkan sebuah labirin kaca yang pecah berantakan. Ia adalah seorang Chrononaut—penjelajah waktu—proyek rahasia pemerintah yang dirancang untuk memperbaiki sejarah. Namun, dalam setiap lompatan yang ia lakukan, ada harga mahal yang harus dibayar: ingatannya perlahan memudar, kecuali satu nama yang ia ikat kuat-kuat di dasar jiwanya.
Aera.
Aera adalah satu-satunya alasan Elias tetap waras di tengah kekacauan dimensi. Ia adalah seorang gadis pelukis dengan tawa yang terdengar seperti denting lonceng di musim semi. Mereka bertemu di tahun 2024, di sebuah taman kota yang dipenuhi bunga jacaranda yang berguguran. Elias yang datang dari tahun 2300, awalnya hanya berniat mengamati sebuah peristiwa sejarah kecil, namun ia justru terjebak dalam pesona mata cokelat Aera yang selalu tampak penuh harapan.
Namun, cinta mereka adalah sebuah anomali. Sebuah kesalahan dalam sistem alam semesta.
Malam itu, di balkon apartemen Aera yang sempit, aroma cat minyak dan kopi menyeruak di udara. Aera sedang melukis langit malam, sementara Elias memperhatikannya dari belakang. Elias tahu, menurut catatan sejarah yang ia pelajari di masa depan, malam ini adalah malam terakhir sebelum sebuah tragedi besar melanda kota ini.
"Kenapa kamu selalu menatapku seolah-olah aku akan menghilang, Elias?" tanya Aera tanpa menoleh, kuasnya masih menari di atas kanvas.
Elias mendekat, memeluk pinggang Aera dari belakang. Ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher gadis itu, menghirup aroma vanilla yang menjadi favoritnya. "Karena di duniaku, segala sesuatu memang menghilang, Aera. Hanya kamu yang terasa nyata."
Aera berbalik, meletakkan kuasnya. Ia menyentuh rahang Elias dengan lembut. "Kalau begitu, jadikan malam ini abadi. Jangan pikirkan besok."
Elias menarik Aera ke dalam ciuman yang mendalam, sebuah ciuman yang terasa seperti perpisahan sekaligus perlawanan terhadap takdir. Di bawah cahaya lampu kota yang mulai berkedip karena gangguan energi dari mesin waktu di pergelangan tangan Elias, mereka berdua tenggelam dalam perasaan satu sama lain. Setiap sentuhan terasa seperti usaha untuk saling mengukir di dalam ingatan, karena Elias tahu, saat ia melompat lagi, sel-sel otaknya akan terkikis oleh radiasi temporal.
Keesokan harinya, sejarah terjadi tepat seperti yang tertulis. Sebuah ledakan reaktor nuklir di pinggiran kota mengirimkan gelombang kejut yang akan meratakan segalanya. Elias memiliki waktu tiga menit untuk kembali ke masa depan atau ia akan ikut hancur.
Ia berlari menembus kerumunan orang yang panik, mencari Aera di studionya. Saat ia tiba, gedung itu sudah mulai runtuh. Ia menemukan Aera terjebak di bawah reruntuhan kayu.
"Elias! Pergi!" teriak Aera, darah mengalir dari keningnya yang cantik.
"Tidak! Aku bisa membawamu! Aku bisa melompati waktu bersamamu!" tangan Elias gemetar hebat saat ia mencoba mengaktifkan modul darurat pada alatnya.
"Sistem tidak bisa membawa dua orang, Elias," sebuah suara robotik dari pergelangan tangannya bergema dingin. "Kelebihan beban akan menghancurkan kalian berdua di dalam lubang cacing."
Elias menangis histeris. Ia berlutut di samping Aera, menciumi tangan gadis itu yang tertutup debu. "Aku tidak bisa membiarkanmu mati. Aku akan kembali. Aku akan mengubah sejarah ini. Aku akan mencoba seribu kali sampai aku menemukan garis waktu di mana kamu selamat!"
Aera tersenyum lemah, sebuah senyuman yang menghancurkan hati Elias berkeping-keping. "Jangan, Elias. Jangan siksa dirimu. Jika kamu terus kembali, kamu akan kehilangan dirimu sendiri. Kamu akan lupa siapa aku."
"Aku tidak akan pernah lupa!" teriak Elias. Ia memberikan satu ciuman terakhir yang penuh dengan rasa sakit, rasa bersalah, dan cinta yang putus asa pada bibir Aera yang mulai mendingin. "Aku akan mencarimu di setiap abad, Aera. Aku berjanji."
Dengan sisa energi yang ada, Elias menekan tombol aktivasi. Cahaya biru menyilaukan menelan tubuhnya tepat saat atap gedung itu runtuh menimpa Aera.
Elias kembali ke tahun 2300 dalam keadaan hancur secara mental. Namun, ia tidak berhenti. Ia melakukan perjalanan waktu berkali-kali.
Lompatan ke-10: Ia mencoba memperingatkan pemerintah tentang ledakan itu, namun ia justru dianggap mata-mata dan dipenjara. Ia melihat kota itu hancur lagi dari balik terali besi.
Lompatan ke-50: Ia berhasil menyelamatkan Aera dari gedung, namun dalam garis waktu itu, Aera meninggal karena kecelakaan mobil beberapa jam kemudian. Alam semesta seolah-olah bersikeras bahwa Aera harus mati.
Lompatan ke-100: Fisik Elias mulai menyerah. Rambutnya memutih, matanya mulai rabun, dan yang paling parah—ingatannya mulai bolong. Ia ingat ia harus menyelamatkan seseorang, tapi terkadang ia lupa siapa nama gadis itu. Ia hanya ingat aroma vanillanya.
Setiap kali ia bertemu Aera di masa lalu, ia akan mencintainya lagi dengan intensitas yang sama. Mereka akan bercinta, mereka akan berciuman di bawah hujan, mereka akan berbagi rahasia, dan Elias akan selalu berakhir dengan menciumi mayatnya atau melihatnya terbakar.
Sekarang, di lompatannya yang ke-150, Elias berdiri di taman yang sama di tahun 2024. Ia melihat Aera yang sedang melukis. Aera menoleh, tapi matanya tidak mengenali Elias. Di garis waktu ini, mereka belum pernah bertemu.
Elias mendekat dengan langkah gontai. Ia ingin memeluknya, ia ingin menciumnya sampai habis nafasnya, tapi ia sadar—setiap kali ia masuk ke hidup Aera, ia hanya mempercepat penderitaannya sendiri.
"Maaf, apa kita pernah bertemu?" tanya Aera dengan ramah.
Elias terdiam. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia melihat tangannya sendiri yang mulai terlihat transparan—efek samping dari terlalu banyak melakukan perjalanan waktu. Ia sedang sekarat secara eksistensial.
"Tidak," bisik Elias, suaranya pecah. "Aku hanya pengembara yang tersesat."
Elias berbalik pergi. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah memiliki, melainkan membiarkan orang tersebut hidup meski tanpa dirinya. Ia memutuskan untuk melakukan satu lompatan terakhir ke masa sebelum reaktor itu dibangun, untuk menggagalkan proyek tersebut secara total dari akarnya, meski itu berarti ia akan terhapus dari sejarah dan tidak akan pernah bertemu Aera sama sekali.
Ia akan kehilangan memori tentang ciuman mereka, tentang aroma vanilla itu, dan tentang nama Aera.
"Demi kamu," bisik Elias pada kehampaan. "Biar aku yang menanggung semua luka ini, asalkan kamu bisa melihat matahari esok pagi."
Dengan satu sentuhan terakhir pada alatnya yang sudah retak, Elias memicu ledakan energi temporal yang akan menghapus keberadaannya dari seluruh garis waktu. Sebelum ia menghilang sepenuhnya menjadi debu bintang, ia seolah merasakan kecupan lembut di pipinya, dan suara Aera yang berbisik di angin: "Terima kasih sudah mencintaiku di setiap waktu."
Elias menghilang. Kota itu selamat. Aera hidup panjang, menikah dengan orang lain, dan memiliki anak cucu. Namun, setiap kali ia melihat bunga jacaranda gugur atau mencium aroma hujan, ia akan merasa ada sesuatu yang hilang dari jiwanya—sebuah lubang berbentuk seorang pria yang tidak pernah ada, namun pernah mencintainya melampaui batas semesta.
Bagian 2: Labirin memori dan ciuman terakhir
Elias tidak benar-benar mati. Namun, ia juga tidak benar-benar hidup.
Akibat tindakannya menghapus diri dari sejarah, Elias terjebak di The In-Between—sebuah dimensi kosong yang berwarna putih tanpa akhir, tempat sisa-sisa garis waktu yang terhapus berkumpul. Di sini, waktu tidak berjalan. Oksigen tidak ada, namun ia tidak butuh bernapas. Yang ada hanyalah kesunyian yang memekakkan telinga dan fragmen ingatan yang melayang-layang seperti serpihan kaca tajam.
Namun, cinta memiliki gravitasinya sendiri. Karena intensitas perasaan Elias, proyeksi kesadaran Aera dari berbagai garis waktu yang gagal ikut terseret ke sana.
Di tengah keputihan yang tak berujung itu, Elias melihat sebuah objek yang familiar: sofa tua dari apartemen Aera dan sebuah kanvas yang belum selesai. Di sana, duduklah Aera. Ia bukan Aera yang selamat di dunia nyata, melainkan "sisa" dari Aera yang mencintai Elias.
"Elias?" suara Aera bergema, terdengar seperti melodi yang rusak namun indah.
Elias berlari, menjatuhkan dirinya di hadapan Aera. Ia memeluk lutut gadis itu, menangis sejadi-jadinya. "Maafkan aku... aku menghapus kita. Aku menghapus setiap detik yang kita miliki agar kamu bisa hidup."
Aera turun dari sofa, bersimpuh di depan Elias. Ia mengangkat wajah pria yang sudah terlihat sangat lelah itu. "Kamu bodoh, Elias. Kamu memberiku hidup, tapi kamu mengambil jiwaku. Apa gunanya matahari jika aku tidak tahu mengapa hatiku merasa hampa setiap kali melihatnya?"
Elias tidak bisa menahan diri lagi. Ia menarik tengkuk Aera dan menciumnya dengan sebuah keputusasaan yang meluap-luap. Ciuman itu terasa berbeda di dimensi ini; ada rasa logam, rasa dinginnya ruang angkasa, tapi juga ada kehangatan api yang membara. Mereka saling memangsa satu sama lain dalam ciuman itu, seolah-olah jika mereka berhenti sekejap saja, keberadaan mereka akan menguap menjadi atom.
Mereka merebahkan diri di lantai dimensi putih yang dingin. Di sini, tidak ada hukum fisika. Elias bisa merasakan setiap jengkal kulit Aera seolah itu adalah terakhir kalinya tangan itu berfungsi. Ia menciumi bahu Aera, memberikan tanda-tanda kecil yang ia tahu akan hilang dalam hitungan menit.
"Sakit sekali mencintaimu di tempat seperti ini," bisik Aera di tengah napas yang memburu. Tangannya masuk ke sela-sela rambut putih Elias. "Rasanya seperti memeluk bayangan."
"Maka jadikan aku nyata untuk malam ini saja," balas Elias parau.
Ia kembali mencium bibir Aera, kali ini lebih lembut, lebih dalam, mengeksplorasi setiap sudut dengan lidahnya seolah sedang menghafal rasa yang akan ia bawa ke keabadian. Aera mendesah pelan, air mata mengalir dari sudut matanya, membasahi pipi yang kemudian dicium oleh Elias dengan penuh pengabdian. Di ruang hampa ini, mereka bercinta bukan hanya dengan tubuh, tapi dengan sisa-sisa eksistensi mereka yang semakin menipis. Setiap sentuhan fisik terasa seperti sengatan listrik yang mengingatkan mereka bahwa mereka pernah "ada".
Namun, The In-Between mulai menolak kehadiran mereka. Ruangan itu mulai berguncang. Fragmen-fragmen putih mulai retak, memperlihatkan kegelapan abadi di luarnya.
"Kamu harus pergi, Aera. Kesadaranmu harus kembali ke tubuhmu di dunia nyata," ujar Elias sembari berusaha berdiri meski kakinya terasa berat seperti timah.
"Tidak tanpa kamu!"
"Aku tidak punya tempat lagi di dunia nyata, Sayang. Aku adalah anomali. Jika aku kembali, semesta akan hancur lagi. Aku harus tinggal di sini agar kamu tetap aman di sana."
Elias mendorong Aera menuju sebuah rekahan cahaya yang mulai terbuka—pintu menuju dunia nyata tahun 2025.
"Tunggu!" Aera menarik kerah baju Elias, memberikan satu ciuman terakhir yang paling panjang. Itu adalah ciuman yang mengandung semua rasa sakit dari 150 kali kematian yang disaksikan Elias. Ciuman yang penuh dengan rasa syukur dan perpisahan yang menghancurkan. Bibir mereka tertaut sangat erat, seolah mencoba menyatukan dua jiwa menjadi satu agar tidak perlu berpisah.
"Cari aku di dalam mimpimu," bisik Elias tepat di telinga Aera sebelum ia mendorong gadis itu sekuat tenaga ke dalam cahaya.
Aera terbangun di tempat tidurnya di tahun 2025 dengan sentakan hebat. Pipinya basah oleh air mata. Ia tidak ingat siapa Elias. Ia tidak ingat tentang mesin waktu atau ledakan nuklir yang tidak pernah terjadi.
Namun, saat ia bercermin, ia melihat sebuah bekas kemerahan kecil di lehernya—seperti bekas kecupan yang sangat nyata—yang perlahan memudar dan menghilang saat ia menyentuhnya. Ia merasakan kerinduan yang sangat hebat, sebuah rasa sakit di dada yang tidak bisa dijelaskan oleh medis manapun.
Di ujung semesta, di dalam dimensi putih yang kini mulai runtuh menjadi hitam, Elias duduk sendirian. Ia memegang sebuah kuas tua milik Aera yang tertinggal. Ia tersenyum, meski tubuhnya mulai hancur menjadi partikel cahaya.
Ia telah kalah dari waktu, tapi ia menang dalam cinta. Ia menjadi rahasia terbesar semesta; seorang pria yang mencintai seorang gadis begitu besar hingga ia rela tidak pernah ada, hanya agar gadis itu bisa terus bernapas.
Elias memejamkan mata, membayangkan ciuman terakhir itu, dan akhirnya... ia menjadi sunyi.
Bagian 3: Reinkarnasi dan debu bintang yang bertemu kembali
Tahun 3025. Stasiun Ruang Angkasa 'Neo-Terra'.
Seribu tahun telah berlalu sejak Elias menghapus dirinya dari sejarah. Peradaban manusia telah berpindah ke bintang-bintang. Bumi yang lama sudah menjadi legenda, namun jiwa-jiwa yang pernah ada di sana terus berputar dalam siklus reinkarnasi yang tak terbatas.
Di sebuah dek observasi yang menghadap ke nebula berwarna ungu keemasan, seorang insinyur mesin waktu muda bernama Ian sedang termenung. Ian selalu merasa ada yang salah dengan hidupnya. Ia sering bermimpi tentang seorang gadis yang melukis di bawah pohon yang tidak pernah ia lihat seumur hidupnya. Ia sering terbangun dengan rasa rindu yang begitu menyesakkan, seolah separuh nyawanya tertinggal di dimensi lain.
"Melamunkan masa lalu lagi, Ian?" suara seorang wanita mengejutkannya.
Ian menoleh. Di sana berdiri Ara, seorang kurator seni yang baru saja dipindahkan ke stasiun ini untuk mengelola galeri artefak Bumi kuno. Saat mata mereka bertemu, sebuah getaran aneh merambat di tulang belakang Ian. Itu bukan sekadar rasa tertarik; itu adalah rasa pengakuan. Seperti melihat cermin yang sudah pecah selama seribu tahun dan kini tiba-tiba utuh kembali.
"Aku merasa... kita pernah bertemu," ujar Ian tanpa sadar. Kalimat klise itu terdengar sangat tulus saat ia yang mengucapkannya.
Ara tersenyum, dan jantung Ian seolah berhenti berdetak. Senyum itu—senyum yang sama yang menghantui mimpinya. "Mungkin di kehidupan lain? Atau mungkin di antara lipatan waktu?" canda Ara, meski matanya terlihat berkaca-kaca tanpa alasan yang jelas.
Mereka menghabiskan malam itu dengan berbicara. Ara menunjukkan koleksi lukisan kuno yang ia bawa. Salah satunya adalah lukisan rusak yang ditemukan dari reruntuhan sebuah kota kuno; lukisan tentang langit malam dengan sapuan kuas yang kasar namun penuh perasaan.
"Ini aneh," bisik Ara sambil menyentuh kanvas itu. "Setiap kali aku melihat lukisan ini, aku merasa ingin menangis. Aku merasa seolah aku sedang menunggu seseorang yang berjanji akan kembali, tapi aku lupa siapa."
Ian mendekat. Tanpa bisa ditahan, tangannya bergerak menyentuh pipi Ara. Ara tidak menghindar. Sebaliknya, ia memiringkan kepalanya, menikmati sentuhan tangan Ian yang terasa begitu familiar. Memori dari ribuan tahun yang lalu—tentang dimensi putih, tentang ledakan nuklir, tentang aroma vanilla dan debu—mulai merembes masuk ke kesadaran mereka secara perlahan, bukan sebagai ingatan yang jelas, tapi sebagai perasaan.
Di bawah pancaran sinar bintang yang menembus kaca kristal stasiun, Ian menarik Ara mendekat. Ruangan itu sunyi, hanya ada suara dengung pelan dari mesin penyaring udara.
"Aku tidak tahu siapa aku dulu," bisik Ian, suaranya parau oleh emosi. "Tapi aku tahu siapa aku sekarang. Aku adalah seseorang yang telah mencarimu selama seribu tahun."
Ara melingkarkan lengannya di leher Ian, air mata mulai jatuh di pipinya. "Dan aku... aku adalah seseorang yang tidak pernah berhenti merindukanmu, bahkan saat aku lupa namamu."
Ian menunduk dan mencium Ara. Ciuman itu meledak dengan segala rasa sakit, kesepian, dan penantian yang telah tertimbun selama berabad-abad. Ini bukan lagi ciuman perpisahan seperti di dimensi The In-Between. Ini adalah ciuman kepemilikan. Ian menciumnya dengan intensitas yang seolah ingin menyatukan kembali atom-atom mereka yang pernah terpisah.
Sentuhan bibir mereka terasa seperti kunci yang membuka gembok waktu. Ara mendesah di sela ciuman itu, tangannya meremas jaket Ian, menariknya lebih dekat seolah takut pria itu akan menguap menjadi debu bintang lagi. Mereka berciuman di depan hamparan alam semesta yang luas, membuktikan bahwa cinta yang tulus adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dihapus oleh hukum fisika maupun paradoks waktu.
Malam itu, mereka tidak berpisah. Di dalam kamar observasi pribadi Ian yang remang, mereka menyerah pada gravitasi perasaan mereka. Ian melepaskan seragamnya, dan Ara membiarkan gaun tipisnya jatuh ke lantai.
Di atas tempat tidur yang menghadap langsung ke lubang hitam di kejauhan, mereka saling mengeksplorasi. Ian menciumi setiap inci tubuh Ara—dari kening, kelopak mata, hingga turun ke leher tempat "bekas" masa lalu pernah ada. Ciuman mereka menjadi lebih liar, lebih berani, dan penuh gairah. Mereka bercinta dengan cara yang sangat emosional, seolah-olah tubuh mereka sedang berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti kata-kata.
"Jangan pergi lagi," rintih Ara di tengah desahannya, saat Ian membenamkan wajahnya di dada Ara, menghirup aroma yang—secara ajaib—masih beraroma vanilla dan cat minyak.
"Aku tidak akan kemana-mana, Gendis... eh, Ara," Ian mengoreksi namanya secara otomatis, meski nama kuno itu sempat terucap karena memori bawah sadarnya. "Aku di sini. Selamanya."
Pagi harinya (atau apa pun sebutan waktu di ruang angkasa), mereka berdiri di jendela besar melihat matahari baru terbit di cakrawala planet tetangga.
Ian memeluk Ara dari belakang, dagunya bertumpu di bahu gadis itu. Di pergelangan tangan Ian, ada sebuah jam tangan mekanik kuno yang tidak pernah berdetak, peninggalan dari "leluhurnya". Tiba-tiba, jam itu berdetak satu kali. Tik.
Seolah-olah alam semesta akhirnya memberikan restunya. Garis waktu yang rusak telah pulih. Pengorbanan Elias di masa lalu telah lunas.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Ara sambil menggenggam tangan Ian.
"Aku berpikir bahwa waktu adalah penemu yang hebat," jawab Ian sambil mengecup pelipis Ara. "Dia memisahkan kita untuk menunjukkan seberapa kuat kita bisa bertahan, lalu dia mempertemukan kita lagi untuk menunjukkan bahwa akhir yang sedih hanyalah awal yang tertunda."
Mereka tersenyum. Di luar sana, bintang-bintang tetap bersinar, tapi bagi mereka berdua, cahaya yang paling terang ada di sini, di dalam pelukan satu sama lain. Cerita yang dimulai dengan angst yang menghancurkan, kini berakhir dengan melodi manis yang tidak akan pernah usai.
TAMAT.
Penutup dari Penulis
Terima kasih telah mengikuti perjalanan Elias/Ian dan Gendis/Ara. Ini adalah akhir yang paling adil bagi mereka: sebuah kesempatan kedua di dunia yang lebih damai.